Sabtu, 07 Juni 2014

Menghargai Hasil Sendiri

Di hari terakhir pameran buku 1 Juni lalu, saya berkunjung ke Istora bersama suami dan Faiz, anak kami. Di sana, Faiz melukis kaos di stand Wisata Edukasi ditemani abahnya. Sementara saya berkeliaran mencari buku.

Faiz (4 tahun) memilih kaos bergambar Mickey Mouse. Karena sudah hari terakhir, kaos paling kecil yang tersedia berukuran M. Tak apalah yang penting dia senang. Karena sebenarnya, dia mau diajak ke pameran buku berharap bisa bermain perosotan, lompat balon, menempel di dinding ala Spiderman, dan naik kereta,-seperti yang dilakukannya ketika pameran buku di tempat yang sama dengan penyelenggara berbeda beberapa bulan sebelumnya.

Di rumah, Faiz juga sesekali bermain cat air. Kebiasaan dia adalah mencampurkan semua warna. Jadi, meskipun awalnya satu bentuk gambar diberi satu warna, pada akhirnya warna semua gambar akan serupa. Pasalnya ia campuradukkan warna-warna tersebut.

Begitu pula yang terjadi saat mewarnai kaos. Mickey Mouse pada akhirnya memiliki warna yang senada dengan gambar awan dan tanaman.

Ketika sedang mewarnai, abahnya bertanya, "Kenapa Mickey mukanya hijau?"
"Karena Faiz suka hijau."
"Kenapa awannya warnanya begitu?" (abu-abu)
"Karena sedang mendung, mau ujan."

Mewarnai Mickey berlangsung cepat lantaran empat warna yang diberikan -merah, kuning, hijau, biru- ia campurkan dan coretkan pada kaos. Maka ia meminta satu kaos lagi dengan gambar berbeda, Angry Bird. Lagi-lagi cat warna ia campurkan dan Angry Bird memiliki warna serupa Mickey Mouse. Yah sudahlah.

Sesampainya di rumah, Faiz ingin mengenakan kaos-kaos tersebut. Karena ia mudah gatal-gatal, maka saya menjanjikannya keesokan harinya agar kaos itu dicuci dahulu. Benar saja. Seperti ada alarm, esok harinya ia langsung menagih janji. Kaos Mickey Mouse ia kenakan dengan penuh percaya diri. Meskipun warnanya butek dan coretannya tidak rapi. Bahkan ukuran kaosnya sangat kebesaran. Saya menggulung lengannya dan melipat bagian bawah kaos. Begitu pun hari berikutnya giliran kaos Angry Bird. Dengan suka cita, ia bercerita dari mana kaos itu berasal dan siapa yang mewarnainya.

hm...keren! 
Menghargai diri sendiri ★★★


Jumat, 24 Januari 2014

Di Sini Banjirnya di Lantai Atas

Ada kejadian tak lazim saat bencana banjir melanda Jakarta kemarin. Jika biasanya air banjir meluap dari bawah ke atas, maka di rumah kami justru banjir terjadi di lantai atas saja. Catat, di lantai atas!

Ceritanya, satu malam suamiku pulang kerja. Saat itu sudah empat hari kita tidak terang-terangan. PLN mematikan arus listrik karena tetangga di sekitar kami, yang tinggal di daerah yang lebih rendah, sudah kebanjiran. Bervariasi, yang tertinggi merendam satu lantai rumah. Maka kamipun ikut terkena pemadaman. Suami yang hendak berganti pakaian mendekati lemari. "Lo, kok basah?" Separuh kamar kami tergenang air. Becek. Di luar hujan terdengar agak deras.

Maka pagi hari kasur kami yang berat itu saya berdirikan ke dinding kamar. Air yang menyerap perlahan turun. Saya juga menyetrikanya untuk mempercepat pengeringan. Di luar, langit tak bercahaya dan gerimis. Pengering rambut saya sudah tak memiliki panas yang kuat. Bukan pengering jadinya malah penghangat. Di bagian luar dinding dipasangi terpal. Kebetulan, tetangga di sebelah rumah sedang membangun rumah kos dua lantai. Mereka baru saja meratakan bangunan lama dan mulai membangun yang baru. Tepat di luar dinding kamar kami tak terdapat bangunan apa-apa. Alhamdulillah saya bisa mengeringkan dua kali, pagi dan sore saat genset dinyalakan untuk kurun dua sampai tiga jam.

Malam harinya saya baru mengeloni anak. Sekitar sepuluh sampai lima belas menit terdengar suara hujan sangat deras lalu berhenti. Tiba-tiba terdengar suara kakak ipar saya memanggil kakak ipar saya lainnya (kami hidup beramai-ramai dalam satu rumah). Di lantai bawah, di tempat penyimpanan helm yang persis di bawah tangga, terdapat aliran air dari atas. Diperkirakan air datang dari kamar mandi lantai atas yang bersebelahan dengan kamar tidur saya. Ternyata tidak. Air itu datang dari kamar saya. Air sudah semata kaki. Kasur kami yang memang tanpa ranjang itu kembali menyerap air. Lebih dahsyat dari sebelumnya.

Malam-malam kami kerja bakti. Saya ungsikan anak ke kamar kakak ipar. Kasur berat terpaksa diberdirikan lagi. Barang-barang yang memang tersimpan ala kadarnya (baca: berantakan di lantai)diangkut-angkuti ke luar kamar. Saya sibuk mengungsikan buku. Sebagian disimpan di bagian bawah lemari yang terbuat dari papan kayu buatan. Jadi kemungkinan rapuh atau menyerap air sangat besar. Alhamdulillah buku-buku itu aman.

Ternyata air datang dari pojok kamar yang berbatasan dengan tetangga. Air mengalir karena ada genangan di banguan sebelah dan mengalir ke kamar kami. Pasalnya ada lubang kecil yang timbul akibat proses merubuhkan bangunan. Belum lagi hujan angin yang semakin mempercepat rembesan dan aliran air dari luar ke dalam kamar.

Alhasil kembali saya mengeringkan kasur yang berat itu. Saya setrika lagi. Untungnya, listrik sudah menyala. Jadi saya bisa leluasa menyetrika kasur. Sampai saat ini matahari masih malu-malu bersembunyi di balik awan. Awan-awan senang bergerombol menutupi birunya langit. Angin masih setia menemani hujan.

Kamar kami perbaharui dari dalam. Kami cat ulang dengan menambahkan anti air di sisi yang bersebelahan dengan tetangga. Semoga tidak banjir lagi.

Apa rasanya enam hari tanpa listrik? Hm...silakan saja dibayangkan. Kami mengandalkan listrik untuk air bersih. Di rumah ini ada 15 jiwa. Sebesar apa kebutuhan kami akan listrik? Dan jika listrik tidak menyala maka... :)

Sabtu, 19 Oktober 2013

Si Manis dan Si U (Dongeng Duet Ibu dan Faiz)

Saya baru cabut gigi belakang. Jadinya enggan bannyak membuka mulut. Biasanya, saya membacakan buku cerita tapi kali ini saya ajak Faiz bercerita. Bukan "membacakan" buku cerita tapi bercerita sebelum tidur.

Inilah dongeng duet hasil tanya jawab:

"Faiz mau cerita tentang apa? Kambing?"
"Apa ya? Kucing aja deh!"
"Oke, ceritanya gimana?"
"Nggak tahu Faiz."
"Kucingnya warna apa?"
"Hitam."
"Namanya siapa?"
"Masa kucing pakai nama?"
"Iya, namanya siapa?"
"..."
"Kucing hitam bernama Si Manis."
"Hehehe Si Manis."
"Kucingnya suka makan apa?"
"Tulang!"
"Tulang apa?"
"Tulang ayam!"
"Kucing hitam bernama Si Manis suka makan tulang ayam."
"Kok kucing ga suka makan daging?"
"Oh, suka. Kan di pinggiran tulang ada dagingnya kecil-kecil."
"..."
"Selain tulang, kucing suka makan apa?"
"Apa ya?"
"I..."
"I..."
"Ikan. Kucing hitam bernama Si Manis suka makan tulang ayam dan ikan. Ia makan sangat lahap."
"Makanannya abis."
"Iya, habis tak bersisa. Habis makan, kucingnya ngapain?"
"Main!"
"Main apa?"
"Main golf!"
"Oke. Setelah makan, Si Manis bermain golf bersama...? Bersama siapa?"
"Bersama teman kucing!"
"Iya, namanya siapa?"
"Namanya..."
"Gimana kalau namanya... Eh, kucingnya warna apa?"
"Biru!"
"Oh biru, ya udah namanya Si Biru."
"Eh namanya U aja deh!"
"Ya udah. Setelah makan, Si Manis bermain golf bersama temannya bernama U. Mereka bermain golf di... Di mana?"
"Di lapangan sepak bola!"
"Mereka bermain golf di lapangan sepak bola. Terus?"
"Udah ah gitu aja."
"Setelah selesai bermain, mereka pulang lalu tidur."
"Hehehe."
"Di rumahku ada seekor kucing hitam bernama Si Manis. Ia suka makan tulang ayam dan ikan. Ia makan lahap sekali hingga habis tak bersisa. Setelah selesai makan, ia bermain golf bersama temannya si kucing biru bernama U. Mereka bermain golf di lapangan sepak bola. Setelah selesai bermain, mereka pulang ke rumah masing-masing lalu tidur karena kelelahan."
"Hehehe."

Itulah dongeng duet kami. Semoga Faiz suka sehingga ada duet-duet selanjutnya. Atau malah dia bisa bersolo dongeng hehe.

Rabu, 09 Oktober 2013

Sopan Dong, Miss!

Kemarin saya menonton acara The Apartment: Design Your Destiny. Ini adalah acara reality show pencarian bakat di bidang desain apartemen. Ya, ajang pencarian bakat sekarang sudah banyak jenisnya. Setelah menyanyi, bermain peran, memasak, dan sekarang mendesain.

Acara ini diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia. Sembilan grup yang beranggotakan masing-masing dua orang, diberi kesempatan mendesain sebuah apartemen. Tantangan berbeda di tiap episodenya. Mulai kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, kamar anak, dapur, taman. Mereka mencoba peruntungan menjadi designer amatir terbaik.

The Apartment ini sudah berhasil meloloskan dua pasangan designer amatir. Kali ini di session 3 ada peserta asal Indonesia. Mereka adalah Ines dan Jennifer. Jika peserta lain mencantumkan profesi atau status mereka di bawah nama yang tampil di layar kaca, Ines dan Jennifer mencantumkan "Miss Indonesia" dan "Runner Up Miss Indonesia". Mereka pemenang kontes tersebut tahun lalu.

Tantangan pertama mereka adalah mendesain kamar tidur yang romantis. Pemenangnya adalah Yvette dan Sonya. Kemudian tantangan ke dua mendesain kamar mandi. Saat sebelum berbelanja dan mulai bekerja, duo Miss Indonesia masuk ke apartemen Yvette dan Sonya tanpa permisi. Mereka ingin melihat seperti apa desain pemenang tantangan sebelumnya. Sontak si pemilik apartemen mengusir mereka dengan halus. "Sudah tiga detik, silakan keluar!" Si duo Miss ini pun menurut dan berdalih mereka hanya ingin melihat bukan mau mencontek. Lalu pemilik apartemen berkata ke arah kamera (artinya kepada pemirsa tentu saja) kurang lebih seperti ini, "Kami tahu di beberapa kebudayaan, hal seperti itu lazim. Memasuki properti orang tanpa diundang. Kebudayaan vampir."

Pedas ya jendral? Tapi saya setuju dengan Yvette dan Sonya. Jangankan untuk orang timur yang konon lebih santun dibandingkan orang barat. Orang-orang barat pun akan menilai sama bahwa duo Miss Indonesia itu tidak sopan. Apa sulitnya sih meminta izin terlebih dahulu? Kalaupun tak diizinkan, itu adalah hak pemiliknya. Tapi nyelonong bukanlah tindakan terpuji.

Yang menyebalkan buat saya, mereka menggunakan gelarnya dalam kompetisi tersebut. Seperti kita tahu jika gelar-gelar seperti itu dibawa ke luar negeri, akan menjadi identitas negara yang diwakilinya. Apapun prilakunya menjadi representasi prilaku orang-orang di negeri asalnya. Oke, jelas saya tidak sependapat dengan hal-hal seperti ini. Tapi begitulah adanya. Dan si duo Miss Indonesia ini berprilaku seenaknya sambil menyandang gelar itu.

Haduh...

Saya sih lebih senang bila mereka tak membawa gelar tersebut dalam kompetisi ini. Toh tak ada relevansinya.

Meski begitu, saya tetap mendukung mereka dalam mendesain apartemen. Menurut saya, duo Miss ini punya kemampuan yang baik. Akan lebih cantik lagi kalau tetap bersikap sopan ya Mbak...eh Miss...

Sabtu, 20 Juli 2013

Welcome Home Mr. Nice Guy!

AlhamdulillaaHirabbil'aalamiin... Setelah 45 hari akhirnya bapak sudah berada di rumah lagi. Terima kasih doanya kawan-kawan semua...

Jadi, begini ceritanya...

Tanggal 4 Juni 2013 bapak kami bawa ke RS Kebon Jati Bandung setelah sebelumnya nyaris 24 jam kejang-kejang karena tumor di otaknya. Dalam kondisi kejang, bapak kami angkut dengan ambulance. Setelah dari IGD, bapak dimasukkan ke ruang ICU.

Alhamdulillaah kejang bapak berkurang drastis. Bapak bisa segera sadar. Bapak masih dapat mengingat kami dengan baik. Kondisi kesehatan bapak secara keseluruhan terus dipantau. Diketahui bapak ternyata juga mengidap diabetes dan kondisi paru-parunya terganggu. Lainnya, sehat.

Dokter Benny AW SpBS menyatakan bapak harus segera dioperasi. Tumor di otaknya sudah membesar. Kami diminta berunding untuk menyiapkan diri, terutama mental. Dia menegaskan bapak akan menghadapi operasi dengan risiko besar. Kami sekeluarga harus ikhlash.

Selama menunggu kondisi bapak stabil, kesiapan kami pun menjadi tarik-ulur. Satu sisi ingin mengangkatnya tapi lain sisi tak ingin menghadapi operasi besar. Di sinilah kami perlu saling menguatkan. Kami pasrahkan pada Yang Maha Kuasa. Apapun putusanNYA, kami berupaya menerimanya sebagai yang terbaik.

Sejak bapak dinyatakan mengidap tumor di otaknya (dulu masih berupa flek yang terpisah di tiga titik), kami memang menghendaki operasi. Namun karena bapak sendiri yang mundur, kami tak kuasa memaksa. Kini setelah kurang lebih 11 tahun pasca diagnosa, ketiga titik sudah menyatu. Dokter menyatakan sudah seukuran mangga kecil. Mau tak mau harus diangkat. Berulang kali kami diminta siap dengan kondisi terburuk.

Kami juga mendapat beragam imbauan dari berbagai pihak agar mengupayakan pengobatan lain sebelum operasi. Tanpa diminta, banyak informasi pengobatan alternatif berdatangan. Kami diam saja dan tersenyum menolak. Duhai kawan dan kerabat yang berbaik hati, maafkan kami. Bukan kami tak menerima niat baik kalian. Cara-cara yang kalian tawarkan sudah pernah kami upayakan jauh sebelum bapak didiagnosa mengidap flek di otaknya. Lebih dari 20 tahun lalu (saat saya masih berseragam putih-merah) bapak mulai menunjukkan gejala gangguan kesehatan otak. Lantaran enggan dibawa ke dokter, kami pun menjalani bermacam pengobatan alternatif. Bahkan saat bapak sudah diketahui ada flek di otaknya dan dokter menyuruh operasi, kami masih berupaya dengan cara-cara itu lantaran bapak menolak operasi. Berharap ada yang bisa menyembuhkannya. Namun tidak. Ya, barangkali memang bukan jalan bapak mendapatkan kesembuhan via pengobatan alternatif.

Sejak 11 tahun lalu dr Benny AW SpBS sudah menyatakan kemungkinan seperti apa yang akan terjadi pada bapak bila tidak dioperasi. Jadi, kami tak begitu kaget ketika bapak suka kejang-kejang. Dia juga menyatakan tumor ini seiring waktu akan membesar.

Ada pula saran untuk mengganti operasi dengan meminum obat ini itu yang intinya menjaga agar bapak tak sering kejang. Memberitahukan bila kondisi bapak seperti memakan buah simalakama. Bila dioperasi, kemungkinan terburuk adalah kematian. Dan jika selamat, kemungkinannya adalah koma. Bila tidak dioperasi pun lama-lama bapak akan koma karena kejang-kejang tak bisa dihindarkan. Kondisi yang sama-sama tak menyenangkan. Dan bismillaah, kami sepakat bapak dioperasi. Ini adalah upaya kami untuk kebaikan bapak, kesembuhan bapak.

Kemudian dokter merujuk bapak untuk mendapat tindakan operasi di RSHS karena perlengkapan pasca operasi risiko tinggi di RS Kebon Jati tak memadai. Pindahlah bapak ke RSHS pada 17 Juni 2013. Setelah sehari di RGB, bapak ditempatkan di ruang rawat inap Bougenville.

Kami maklumi jika RSHS adalah rumah sakit pendidikan. Maka tak heran begitu banyak dokter residen yang menyambangi kami. Selain itu beragam dokter spesialis juga memeriksa bapak. Di sini pun bapak masih dalam observasi. Kondisi bapak naik turun bahkan pernah satu kali kejang lagi. Sampai kemudian bapak dinyatakan dalam kondisi stabil.

Pada Selasa (9 Juli 2013) pagi bertepatan dengan 30 Sya'ban 1434 bapak pun masuk ruang operasi. Nyaris 12 jam tim medis dengan ketuanya dr. Roland Sidabutar SpBS mengangkat tumor padat seberat sekitar 7 ons dari otak bapak. Lalu bapak mendapat perawatan di ruang ICU.

Inilah masa-masa kami dalam penantian panjang. Dokter sudah memberitahukan kemungkinan yang bisa terjadi. Jika melewati masa operasi, kondisi bapak bisa jadi menurun. Penglihatan, penciuman, pendengaran, serta memori bapak kemungkinan terganggu karena tumor terletak di bagian depan kanan otak. Diprediksi bapak akan siuman dalam kurun 2-3 hari dengan masa kritis satu pekan.

Namun Allah berkehendak lain. Dua hari kemudian bapak sadar. Kondisi fisiknya membaik walau emosinya tak terkendali. Alhamdulillaah hal itu tak berlangsung lama. Hari berikutnya bapak tak lagi emosional. Dan yang membuat kami haru, bapak masih ingat kami semua. Bukan hanya kami keluarga inti. Kerabat dan tetangga yang berkunjung pun sebagian besar masih diingat bapak. Penglihatan dan pendengaran bapak pun relatif baik. Hanya indera penciumannya saja yang memang sedari sebelum operasi sudah minim dayanya. Karena kondisinya yang membaik, bapak pun dipindahkan kembali ke ruang rawat inap.

Dokter residen maupun spesialis kembali menyambangi. Bapak diminta mengikuti perintah yang diajukan. Mengangkat tangan, mengarahkan mata, mengangkat kepala, menggeser badan, semua dapat bapak lakukan. Hanya saja kaki kiri bapak belum bisa digerakkan sendiri. Hal ini karena semasa bapak sering kejang, kaki kiri selalu menekuk. Tugas kami menggerak-gerakkannya sebagai stimulasi. Begitupun anggota tubuh yang lain agar optimal.

Maka pada Jumat (19 Juli 2013) bapak pun kembali ke rumah. Saat ini bapak dalam kondisi baik. AlhamdulillaaHirrabbil'aalamiin.. Tak terlukis bagaimana gembiranya kami bisa bersama-sama kembali di rumah. Puji syukur padaMU ya Allah..

Oh ya kami sempat diperlihatkan beberapa gambar saat pengambilan tumor. Namun kami tak diperkenankan mengcopy maupun melihat secara fisik seperti apa tumor yang berdampingan dengan bapak selama bertahun-tahun. Tak apalah. Itu kode etik kedokteran barangkali. Semoga bermanfaat untuk penelitian.

Terima kasih kepada kerabat dan kawan semua atas doa dan perhatiannya. Terima kasih juga untuk tim medis yang merawat dan mendampingi dalam proses pengobatan bapak selama di rumah sakit. Maaf, saya tak hafal namanya satu per satu. Yang pasti Allah tahu dan insya Allah dicatatkan sebagai amal soleh kalian. Aamiin..

Tugas kami masih panjang. Mohon doa agar kami terus memiliki kesabaran dan keikhlashan.

Welcome home, Mr. Nice Guy!

Jumat, 07 Juni 2013

Mr Nice Guy, We Love You

"Mr.Nice Guy"; begitu kalimat yang adikku tuliskan saat mengirimi sebuah foto via ponsel. Mataku membasah. Ini adalah entah kali keberapa dia mengirimiku foto lelaki yang kami panggil "bapak".

Beberapa di antaranya adalah foto yang tak pantas bagi saya untuk dibagikan. Sebagai gambaran, foto-foto itu memperlihatkan kondisi bapak setelah bergelut dengan rasa sakitnya. Terkadang bapak harus terantuk meja atau kursi atau langsung terjatuh ke lantai tanpa sempat bersangga pada apapun di sekitarnya.

Foto terakhir yang kuterima bapak sudah dipasangi berbagai macam selang dan kabel di ruang ICU rumah sakit. Penyakit bapak sudah pada puncaknya. Nyaris 24 jam dalam sehari bapak mengalami kejang. Ketika saya tiba di Bandung dan menengoknya langsung, kejang-kejang bapak sudah jauh berkurang. Bahkan siang tadi saya sempat berbicara dengan bapak. Alhamdulillaah bapak masih ingat saya dan menatap saya. Bapak juga sudah mulai bisa makan dan minum tanpa slang.

Saya sempat bertemu dr Benny AW SpBS yang menangani bapak. Setelah kunjungannya ke ICU, dr Benny menyatakan kondisi bapak relatif stabil. Jika sampai Ahad nanti kondisinya tetap stabil maka akan direncanakan operasi pengangkatan tumor otaknya yang konon sudah sebesar buah mangga kecil. "Ini risikonya besar, ya. Pembuluh darahnya banyak. Jadi saya lihat dulu, ya." Kata dokter.

Siapkah kami?

Sudah 11 tahun sejak pertama kali bapak didiagnosis mengidap tumor otak. Saat itu masih berupa flek di tiga titik pada otaknya. Kini ketiganya sudah menyatu.

Ketika itu kami semua sudah siap. Bahkan ketika dokter menyatakan kemungkinannya 50:50 pun, kami pasrah. Namun bila yang bersangkutan enggan menjalani operasi, kami bisa apa? Kami pun harus siap dengan kemungkinan terburuk yang sudah dikatakan dokter bila tak menjalani operasi.

Sebelas tahun bukan waktu singkat untuk bisa hidup berdamai dengan tumor otak. Kami salut dengan kesabaran dan kekuatan bapak menahan rasa sakitnya. Bapak kemudian mengajukan pensiun dini karena sudah tak bisa lagi produktif di kantor. Kondisi bapak perlahan menurun dengan semakin seringnya mengalami kejang.

Kami berupaya juga pengobatan alternatif. Ya, tak berjodoh. Tak ada perubahan apapun pada kondisi bapak. Akhirnya kami pun bersahabat dengan sel abnormal dalam diri bapak itu. Sampai kemudian bapak pasrah kami bawa ke rumah sakit.

Kami mohon doa dari semua kawan. Semoga diberi kelancaran proses menuju operasi, selama operasi, sesudah operasi. Semoga bapak diberi kekuatan dan kesabaran serta keikhlashan.

Bapak Adman Sanmihardja, kami semua menyayangimu...selalu...

Senin, 13 Mei 2013

Cerita di Balik Derita

Siapa sih yang ga kalut menghadapi anak sakit? Saya sudah pasti karena saya tergolong panikan. Kalau anak sakit, biasanya saya berusaha menenang-nenangkan diri. Memberi tahu diri sendiri jika anak saya baik-baik saja, tak mengalami sakit yang berat.

Sampai saat ini, sudah dua kali anak saya dirawat inap di rumah sakit. Pertama saat berusia 23 bulan (masih ngASI) dan kedua usia 38 bulan (sudah nyapih). Semoga tidak ada lagi "jajan" ke rumah sakit macam ini.

Saya tidak akan bercerita tentang masa sedih, galau, risau menghadapi anak sakit. Kurang lebih sama lah dengan rasa yang dialami banyak orang. Saya justru akan membagikan masa menyenangkan selama anak saya sakit. Benar, ada hal lucu yang membuat saya tertawa selama ia dirawat di rumah sakit.

Dua kali dirawat inap, dua kali pula ruangan tempat Faiz menginap penuh dwngan nyanyian. Saat pertama kali dirawat di rumah sakit di Bandung, lagu favorit Faiz adalah "Bintang Gede". Ini bukan lagu baru atau lagu ciptaan siapa-siapa. Ini adalah lagu yang liriknya sedikit diubah. Kata "kecil", "biru", dan "banyak" dalam lagu "Bintang Kecil" ciptaan Daljono diganti dengan kata "gede". Jadinya;
bintang gede di langit yang gede
amat gede menghias angkasa
aku ingin terbang dan menari
jauh tinggi ke tempat kau berada.

Pasien yang ada di seberang kami senyum-senyum tiap kali saya bernyanyi. Entah menertawakan liriknya yang ajaib atau suara penyanyinya yang aduhai :-P. Oiya, saat itu Faiz enggan bernyanyi tapi meminta ibunya menyanyikan lagu kesukaannya itu. Demi anak, apa sih yang nggak meski harus menahan malu. Hahaha...

Nah kali kedua jadi pasien rawat inap di Jakarta, Faizlah yang bernyanyi. Berulang-ulang ia menyanyikan lagu "Tik Tik Bunyi Hujan" ciptaan Ibu Sud dengan suara lantang. Tiga ibu pendamping pasien lain di ruangan yang sama sibuk menyuarakan "sssttttt". Maklum karena Faiz bernyanyi di tengah malam saat pasien lain beristirahat. Ketika itu, ia rajin bernyanyi kala matanya masih melek. Sampai-sampai seorang perawat bertanya.
"Ade pinter nyanyinya. Udah sekolah sih ya?"
"Belum." Jawab saya.
"PAUD, gitu?"
"Belum."
"Oh.."kata dia dengan wajah yang tampak bingung.

Sepulang dari rumah sakit, Faiz jadi punya kebiasaan baru. Dia minta makan nasi putih tanpa lauk apapun walau hanya secuil abon bahkan garam. Nasi putih saja. Dan saya sadari sekarang kalau dia merasa tak enak badan, menunya pun sama; nasi putih tok seperti beberapa hari lalu saat ia masuk angin. Lauk yang disertakan dalam piring utuh tak tersentuh. Konsumsi susunya pun berkurang drastis. Ia hanya minum air putih. Oh ya selama ini Faiz hanya menyukai dua jenis air saja; susu dan air putih.

Entah mengapa Faiz mutih begitu. Padahal selama sakit, ya saya tak berubah tetap menawarkan dan menjejali dia dengan beragam makanan seperti keadaan normal.

Barangkali itu cara dia menetralisasi tubuhnya. Bukankah orang-orang yang suka mutih untuk keperluan tertentu tujuannya untuk netralisasi diri? Faiz mungkin merasakan enak di badan usai memakan nasi putih dan minum air putih saja. Hanya saja saya heran karena di rumah nggak ada yang suka mutih untuk kepentingan apapun. Anakku cerdas ya tahu kebutuhan tubuhnya sendiri ;-)