Selasa, 09 Juni 2009
Kangen Bacaan SMP
Hari ini buka-buka blog beberapa orang, mulai dari yang dikenal sampai yang tidak. Ada satu orang yang menawarkan buku gratis dengan mengadakan kuis. Pertanyaannya adalah "Buku apa yang mengubah hidupmu?"
Terus terang, aku mengikuti kuis ini. Penasaran aja. Hehe.. Tapi bener-bener deh, susah jawabnya. Pasalnya, smpai saat ini, belum ada buku yang sebegitu mendalam berarti untukku. Mungkin terdengar sombong tapi begitulah kenyataannya. Segala jenis buku kulahap meski tidak sesering ibu pembuat kuis. Makna buku tersampaikan, sudah itu saja. pakah membuatku mengubah hidup? Rasanya itu membutuhkan banyak faktor, bukan hanya sekadar setelah membaca satu buku langsung hidupku berubah.
Kalau ditanya kapan mulai menyukai membaca buku, nah mungkin jawabannya waktu SMP. Waktu SD, iya juga sih, tapi bukunya yang masih banyak gambarnya ketimbang tulisannya. Plus pembaca setia majalah Bobo. Hehe..
Waktu SMP, entah kenapa (aku lupa kenapa aku sampai ke sana) aku mengunjungi perpustakaan sekolah. Seperti kebanyakan perpustakaan sekolah di Indonesia (saya kira begitu), kondisinya memprihatinkan. Ruangannya gelap, berdebu, bau buku lama karena memang jarang ditambah koleksinya, dan yang pasti sepi.
Aku yang memang menyukai suasana sepi, malah jatuh cinta dengan tempat itu. Aku malah mendaftar sebagai pustakawan dari kelasku. Di SMP-ku, setiap kelas diminta dua orang menjadi pustakawan untuk menjadi pengurus perpustakaan. Lebih tepatnya sih mengurus teman-teman sekelas yang hendak meminjam atau mengembalikan buku perpustakaan. Sudah pasti, pekerjaanku hanya diam di perpustakaan tanpa harus melayani siapapun. Toh jarang sekali ada yang berminat mengunjungi perpustakaan.
Sebagai pustakawan, aku mendapat kesempatan meminjam buku perpustakaan lebih banyak. Jika yang lain hanya boleh meminjam dua buku per peminjaman, aku empat buku. Semangatlah aku membaca buku. Herannya, buku-buku yang kubaca di sana adalah karya sastra Indonesia era pujangga lama dan baru. buku-buku seperti Salah Asuhan, Layar Terkembang, Belenggu, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Tak Putus Dirundung Malang, Bagai Pungguk Merindukan Bulan, dan lainnya, aku habiskan kala SMP. Sementara temanku yang lain lebih memilih berlangganan majalah Gadis, Aneka Yess, Kawanku, dan lainnya. Bukannya aku tak membaca majalah itu, tapi tidak menjadi prioritas utama.
Bagiku, senang saja membaca buku-buku itu. Bahasanya tidak biasa. Jadul, kalau kata anak-anak jaman sekarang. Dari tuturan penulis, imajinasiku terbawa ke era jaman penjajahan dan bagaimana perlakuan yang pribumi terima saat itu, baik mereka yang priyayi maupun jelata.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk adalah salah satunya. Buku tebal pertama yang kulahap habis dan membuatku tersenyum sekaligus sedih. Buya HAMKA menuliskannya dengan indah. Tokoh yang berada dalam novel itu tidaklah banyak namun penggambaran kesedihan, keceriaan, semangat, cinta pada Tuhan begitu indah. Saat itu saya tidak tahu siapa HAMKA. Namun seiring berjalannya waktu, saya kagum dengannya. Ulama yang sempat dipenjara namun di dalam keterpasungannya ia melahirkan tafsir Al Quran. Ulama yang tutur bahasanya baik (saya percaya itu karena sudah melihatnya dari novel yang saya baca). Tapi ya itu, seperti yang saya bilang di atas, buku ini tidak mengubah hidup saya tapi membuat saya senang.
Terus terang, sampai saat ini saya merindukan saat di mana saya begitu bersemangat membaca seperti halnya ketika SMP. Saya rindu bacaan-bacaan masa itu yang saya lupa judulnya. Beberapa sempat saya beli saat pameran tapi entah di mana saya menyimpannya. Mungkin di rumah ibu di Bandung. :D
Bagaimana saya bisa kembali menemuka semangat saya seperti halnya ketika SMP dulu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar