Rabu, 07 Oktober 2009

Jelang Hobi


Bagaimana sih memulai usaha? Rasanya ingin memiliki usaha sendiri. Kata orang-orang yang sudah sukses, niat adalah hal utama. Kemudian menentukan bisnis yang akan digeluti. Katanya lagi, jangan terpaku dengan apa yang sedang tren melainkan apa yang kita sukai. Nah ada satu hal yang saat ini sedang saya sukai tapi justru belum pernah saya lakukan. Bingung kan?

Sekarang ini saya sedang senang dengan menjahit, mengaplikasi, menyulam, membuat patchwork. Kalau soal mengumpulkan informasi bagaimana melakukannya, sudah saya lakukan. Tapi kalau soal memulai kesenangan saya itu, belum. Entah apa yang membuat saya enggan memulai. Barangkali rasa tidak percaya diri dan malas. Hehe..

Sewaktu SD, saya senang sekali mengerjakan kruistik. Bahkan saat mengisi waktu menjelang buka puasa, saya senang melakukannya. Tapi sayang, saya tidak gemar menyimpan benda-benda berharga. Jadinya hasil karya saya itu entah berada di mana sekarang. Bahkan buku-buku model kruistik yang saya punyai beberapa jilid lenyap begitu saja.

Kalau soal menjahit, bisa dibilang ”bisa nggak bisa.”. Sekadar menisik, membuat som, menjahit jelujur, tikam jejak, dan biku sih biasa ya. Kalau ada pakaian yang robek dan perlu ditisik, sering saya lakukan. Apalagi kalau memasang kancing. Mudah kan? Tapi kalau menjahit dalam artian membuat pakaian secara utuh, wah belum pernah saya lakukan lagi semenjak SMP.

Waktu saya duduk di bangku SMP, selama tiga tahun saya masuk ke kelas minat tata busana. Pernah kami diminta membuat sepasang piyama, rok sekolah, dan busana anak balita. Untuk piayama, saya melakukannya dengan tangan! Ya, saya belum bisa menggunakan mesin jahit dan kebetulan mesin jahit di rumah ketika itu sering macet jadi capek kalau saya harus mengengkolnya agar bisa berputar satu sampai tiga putaran saja. Karena tidak sabar, saya memilih untuk menjahitnya dengan tangan. Hasilnya tidak mengecewakan, cukup rapi.

Kalau membuat rok sekolah, saya lupa bagaimana prosesnya yang jelas rok itu selesai. Sementara pakaian balita, saya mendapatkan bantuan seorang kawan. Saya memilih pakaian baby doll yang ada kerutan di bagian dada. Karena kesulitan, teman saya yang memang jago menjahit membantu saya. (Terima kasih Lia, where are you now?) Ketika itu Lia memiliki seorang ibu yang memang berprofesi sebagai penjahit. Otomatis mesin jahit yang dimiliki lebih komplet fasilitasnya ketimbang mesin jahit ibu saya di rumah, apalagi mesin jahit di sekolah yang tua. Jadilah kerutan manis berhasil disematkan pada baby doll saya.

Setelah sekian lama (saya lulus SMP tahuan 1996), keinginan untuk menjahit hadir kembali. Entah dari mana asalnya. Saya mulai mencari informasi tentang mesin jahit. Rupanya harga mesin jahit mahal ya, sampai-sampai saya tidak tega memintanya pada suami. Saya juga mencari informasi tentang lembaga kursus menjahit yang sekiranya dekat dengan tempat saya tinggal. Tapi suami saya menertawakan. Mungkin dia bingung, masa iya istrinya yang ceroboh ini berminat dengan jahit-menjahit yang memerlukan ketelitian.

Pernah satu hari saya membeli mesin jahit tangan. Besarnya sama dengan hekter alias streples. Waktu itu saya membelinya dengan harga Rp 10.000. Saya membelinya pada penjual keliling yang beredar di dalam bus-bus kota. Tapi rupanya saya dibohongi. Ada satu bagian dari mesin jahit tangan itu yang harus ditambahkan agar bisa mengikat benang. Karena ketika saya mencobanya di rumah, benang sama sekali tidak saling mengikat sehingga jahitan otomatis terlepas beitu benang ditarik sedikit saja. Saya baru mengetahui jika hendak membeli barang yang dijual penjaja keliling seperti itu, lebih baik meminta barang yang dijadikan contoh oleh si penjual. Biasanya, benda yang dijadikan contoh memang berfungsi dengan baik ketimbang barang jualan lainnya.

Beralih lagi ke jahit-menjahit, saya masih penasaran. Maka saya pun beralih mencari informasi tentang menyulam, terutama menyulam pita dan aplikasi serta patchwork yang (barangkali) lebih mudah karena tidak memerlukan mesin jahit.

Ternyata eh ternyata menyulam bukan pekerjaan mudah. Peralatannya pun lumayan banyak dan ribet. Ada seorang ibu pemilik butik pakaian sulaman yang menawarkan diri menjadi instruktur gratis asalkan membawa sendiri perlengkapan. Tapi begitu tahu tempat dia hendak ditemui, waduh mundur lagi deh. Bukan apa-apa, dari tempatku, itu jauh dan macet. Sementara kondisiku yang saat itu tengah hamil muda yang sering sekali mual-mual dan muntah, tidak memungkinkan. Tapi aku tetap menyimpan nama ibu tersebut. Barangkali jika ada kesempatan dan kemauan, aku akan menghubunginya kembali.

Sementara untuk aplikasi dan patchwork, wah senang sekali melihatnya. Ini pun rupanya membutuhkan ketelitian yang baik dan ada alatnya juga ya supaya hasilnya rapi dan enak dilihat.

Ada satu jenis keterampilan yang juga menggugahku, yaitu jahit schmok. Aku tak tahu bagaimana menulisnya dengan tepat. Tapi seperti itulah yang kudengar. Aku pernah satu kali menyaksikan pembuatannya di televisi. Rumit tapi indah hasilnya. Sayangnya si pembawa acara tidak menyebutkan di mana tempat si pengrajin tersebut. Padahal kan siapa tahu dia bisa buka kursus gratisan seperti ibu pengrajin sulaman itu. Hehe..

Jadi saat ini langkahku baru sampai pada tahap mengumpulkan informasi. Selanjutnya bagaimana dan kapan akan maju lebih jauh, aku tak tahu. Hanya saja keinginan untuk bisa menjahit memang masih ada dalam hati. Apalagi semenjak diprediksi aku insyaallah akan memiliki anak perempuan, rasanya keinginan itu agak lebih kuat. Aku suka membayangkan bisa membuatkan anak-anakku pakaian cantik yang tidak akan dijumpai oleh siapapun di toko manapun. Mereka dengan bangga mengatakan, ”Ini baju bikinan ibuku”. Hehe... Ngarep...

Aku juga pernah berangan-angan memiliki usaha di bidang jahit-menjahit. Entah itu berupa toko, butik, atau tempat kursus. Hm..mimpi yang ingin sekali rasanya diwujudkan. Wish me luck!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar