Jumat, 19 April 2013

Ibuku Rangking Satu

Selembar sobekan buku tulis menyembul di bawah televisi. Kuambil dan kubaca. Tak terasa bibir ini menyungging.  

Bahasa Inggris
Mangkok=bowl
Bafelo=banteng
Danau Tempe ada di Sulawesi.  

Tulisan tangan dengan tinta pulpen warna hitam dan biru. Campur aduk tak rapi di sana. Terlihat jelas ditulis dengan tergesa-gesa. Di beberapa bagian ada yang tintanya buram. Pulpen murah tintanya tak pernah lancar.  

"Ibu belajar Bahasa Inggris?" tanyaku pada ibu yang sedang memotong sayuran di sebelahku. Ibu tersenyum malu seraya melihat kertas di tanganku.
"Nggak. Itu mah Rangking Satu," jawabnya. Aku ikut tersenyum.
"Bagus, Bu."  

Aku tahu bila ibu adalah fans acara kuis Rangking Satu di Trans TV. Saban pagi bila aku berkunjung ke rumah orang tuaku di Bandung, ibu stand by mengikuti acara berpeserta puluhan orang itu. Ruben Onsu dan Sarah Sechan bergantian memberi pertanyaan. Sogi Indra Duaja dan Pak Tarno menjadi pendamping di sesi praktikum.  

Ibu saya memang bukan orang yang makan bangku sekolahan. Tercatat hanya punya satu ijazah; ijazah sekolah dasar. Maka tak usah heran bila melihat tulisan tangannya yang tak rapi. Tak usah tertawa bila salah mengeja huruf apalagi untuk merangkai kata dalam bahasa asing. Itu saja sudah baik karena mengandalkan mulut Ruben dan Sarah. Seorang kawan yang konon bisa membaca aura mengatakan, salah satu titik terkuat ibu saya adalah kemauannya untuk belajar.  

Saat itu saya mengiyakan. Ibu memang sedang senang belajar ilmu agama. Ia mengikuti beberapa kelompok belajar mengaji kitab suci. Dari mulai belajar mengaji indah (qiraat), tafsir, fiqih, memandikan jenazah, sampai belajar berbicara di muka umum. Ibu saya tak punya target apapun untuk menjadi apapun. "Suatu saat mungkin diperlukan." Begitu katanya selalu.  

Perlahan majelis yang diikutinya berkurang sampai akhirnya hanya majelis ilmu di masjid sekitar rumah saja yang masih rutin ia hadiri. Majelis di masjid raya sudah berhenti. Kondisi rumah tangga yang berbeda membuatnya harus mau berhenti berlari.  

Tapi rupanya semangat ibu tak pernah pudar. Dahaga ilmunya luar biasa. Fasilitas yang tersedia jadi sasarannya. Ibu tak paham mengoperasikan komputer maka televisilah  yang jadi teman baiknya. Sambil beraktivitas di dapur atau mencuci pakaian di sepetak tempat cuci, ibu menyalakan televisi. Tausiyah Ustadz Yusuf Mansur dan Mamah Dedeh (ditayangkan di dua stasiun televisi secara beriringan) menemani pagi harinya usai mengaji dan solat subuh. Setelah itu ibu akan senam pagi di lapangan kecamatan atau puskesmas barulah menonton acara kuis Rangking Satu sepulang berolah raga.  

Kubalik sepotong kertas itu. Ada beberapa catatan ayat kitab suci di sana. Surat dan ayat yang mengacu pada tema tertentu. Ibu pasti menuliskannya bila tidak sambil mencuci atau memasak.   Kukembalikan kertas itu ke tempatnya semula. Ibu tak kuminta menuliskannya lagi di buku tulis khusus. Sepertinya aku tahu mengapa catatanku dulu semasa sekolah selalu tak rapi. Seperti ibu, catatanku kutulis ala kadarnya Dan kadang tak jelas urutannya.  Tapi dengan susunan yang acakadul itu justru lebih aku ingat isinya.  

Aku harap aku bisa seperti ibu. Punya semangat tinggi untuk belajar dan menitinya meski sudah usia senja. Semangat adalah bibit utama dalam kehidupan. Ia tak boleh sampai mati. Karena jika ia mati, hidup tak berarti.  

I love you, Ibu Atisah... Ibu pantas ranking satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar