Senin, 10 September 2012
Giveaway Novel Cinderella Syndrome, Leyla Hana
Akhirnya ikutan juga setelah bingung milih tokoh yang mau dikembangkan :D Pilihannya jatuh pada Violet! Selamat membaca dan doakan menang ya ;)
Violet, 25 tahun, seorang penulis yang jarang keluar rumah, hingga menjadi amat manja dan tidak bisa bepergian ke mana-mana sendirian. Ia harus mengajak Wina, sahabatnya atau ibunya kalau tidak ingin tersesat. Terpikir untuk menikah supaya punya pengawal pribadi yang siap mengantarnya ke mana-mana.
Mendapatkan suami yang memahami kemanjaannya ini tentu tak mudah. Satu hari Violet mendapatkan surel dari seorang fans beratnya. Menurut orang tersebut, ia sudah menyukai tulisan-tulisan Violet sejak lama. Bahkan sebelum Violet menerbitkan buku. Katanya, artikel dan cerpen Violet sudah disukainya kala masih menjadi kontributor sebuah majalah remaja yang tak terlalu ngetop dan sudah tak terbit lagi.
Violet dan fansnya yang bernama Banyu itu kian lama menjalin komunikasi yang intens. Tapi belum satu kalipun mereka kopi darat. Semua hanya via surel dan chat (tanpa webcam karena Violet tak suka). Banyu menjadi tahu masalah Violet yang bergantung pada orang lain bila harus ke luar rumah. Maka ia pun berencana membantu menyembuhkan kebiasaan aneh Violet.
Saat itu Violet tengah melakukan riset untuk novel terbarunya. Salah satunya tentang permukiman tradisional di sebuah desa pedalaman. Banyu menyanggupi untuk membantu mendapatkan hasil riset dengan mengantarnya ke sebuah desa tempatnya dulu ber-KKN kala kuliah.
Mereka janji bertemu di sebuah terminal bis. Violet mulanya ragu tapi ia berniat membuat novel yang berbeda dari sebelumnya. Outline yang matang sudah disiapkan. Maka ia pun memberanikan diri pergi bertualang dengan orang yang belum pernah ditemuinya. Bahkan ia tak meminta ibu ataupun Wina untuk menemani. Riset kali ini memakan waktu yang cukup menyita. Tak sampai hati ia memaksa ibu atau sahabatnya mengorbankan waktu dan aktivitas harian mereka demi menemaninya bertualang.
Di terminal, Violet tak menemukan Banyu. Ia hanya mendapatkan surat yang dititipkan pada pengurus terminal. Surat itu berisi petunjuk perjalanan menuju desa yang hendak dijadikan objek riset. "Kita ketemu di sana. Aku berangkat duluan. Ada yang harus kukerjakan."
Pergi ke tempat jauh tanpa ditemani siapapun dengan berkendara umum adalah neraka bagi Violet. Segala kemungkinan buruk mengahantui dirinya. Tapi hati kecilnya menginginkan dia menuruti arahan Banyu. Ia pun nekat bertualang sendirian.
Perjalanan panjang membutuhkan beberapa kali penggantian kendaraan umum. Dua kali naik bis, satu kali naik colt, dan satu kali naik angkutan pedesaan. Ditambah ia harus jalan mendaki melalui jalan setapak. Desa tujuannya berada di atas bukit dan tak tersedia angkutan umum ke sana.
Sepanjang perjalanan Violet banyak mencatat, memotret, dan menemukan banyak ide menulis. Perlahan dia berani mengobrol dengan orang-orang yang ditemuinya. Dia tak menyesali putusannya untuk nekad.
Sesampainya di desa tujuan, Violet dikejutkan dengan kampung tradisional yang eksotik. Dia juga menemukan ibu, ayah, dan Wina di sana. Mereka hadir sebagai bagian dari kejutan Banyu.
Rupanya Banyu merangkai alur perjalanan Violet agar ia leluasa membawa ayah, ibu, dan Wina dengan kendaraan pribadi. Di kampung eksotik itu, Banyu melamar Violet. Ia bahkan mengajaknya menikah langsung saat itu juga.
Violet terpana. Ia tak menyangka mendapatkan timbunan rezeki dalam satu masa. Lamaran Banyu diterimanya. Mereka kemudian menjadi pasangan yang hobi jalan-jalan.
Selasa, 04 September 2012
Patah Hati, Jatuh Cinta (Karena ASI)
Teruntuk anakku, Malik Muhammad Faiz
Waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB. Kupandangi lelaki mungil lelap tidur di sebelahku. Mata beralih pada kalender di dinding. September 2012. Dua tahun tujuh bulan usianya kini. Secepat itu waktu berlari. Lelaki mungilku pun kini sedang gemar berlari.
Kugenggam lengannya. Aih… sudah jauh lebih lebar dari saat ia lahir dulu. Telapak tangannya sekarang empuk kemerahan. Jari-jarinya menggembung sehat. Kuku jarinya pun putih kemerahan, tebal, dan sudah bisa kuraba. Dua setengah tahun lalu tangan itu kisut dengan kuku yang sangat tipis. Buatku berkeringat dingin tiap kali mengguntingnya.
Eh, lelaki imutku menggeliat. Wajahnya berkerut sejenak. Kutepuk pelan dadanya lalu kucium keningnya. Kerutan itu memudar. Kuusap ubun-ubun kepalanya. Ah, tak lagi ada denyut di kepalanya. Denyut khas bayi yang baru lahir karena tempurung kepalanya belum menutup sempurna.
Masih kuingat betapa khawatirnya aku dengan lubang berbentuk elips memanjang di bagian tengah kepalanya saat itu. Dan kini ketika kuraba, mulus sudah tempurungnya. Rambutnya pun telah menebal dan hitam. Tak seperti dulu yang tipis dan kemerahan.
Kugeser pelan tubuhku merapat padanya. Hm…dulu kaulah yang merapat padaku. Membuka paksa kancing bajuku. Berucap sambil berharap “Nen, ibu!” Bahkan sebelum kau bisa bicara, tangan kecilmu memukul pelan dada ini. Pertanda kau haus dan ingin segera menyesap ASI.
Masih terekam dalam benakku bagaimana lincah bola matamu menatapku saat menyusu. Mata yang ikut tersenyum saat kutarik kedua ujung bibirku ke atas. Mata yang ikut bernyanyi ketika kusenandungkan lagu. Mata yang turut gembira kala kuajak bicara.
Sementara mulutmu sibuk menghisap nutrisi, lenganmu tak jua kunjung diam. Saat menyesap, kau memukul pelan dadaku. Kau pencet-pencet dua gentong susu ini. Kau usap pipiku. Kau jawil bibir dan hidungku. Bahkan tak segan kau tusuk mata ini dan kau jambak rambutku. Kuraih lengan aktifmu lalu pura-pura kugigit gemas. Kaupun tertawa.
Kusandarkan kepalaku pada keningmu. Ya Tuhan! Kakimu kini sudah menyentuh lututku. Padahal dua tahun lalu kakimu baru sampai di perutku. Sepanjang itukah waktu yang sudah terlampaui bersamamu?
Tak pernah kulupa, sayang, kau adalah fans berat ASI. Ketika kumulai mengumandangkan penyapihan di usiamu yang ke 22 bulan, kau tak suka. Jadwal menyusu yang sudah rapi jadi berantakan. Maafkan ibu, sayang karena tak peka dengan ketidaksiapanmu. Kitapun kembali mengaturnya bersama-sama.
Lalu sebulan kemudian kau harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama lima hari. Ajaib! Semua cairan terolak tubuhmu kecuali infus dan ASI. Terima kasih, Tuhan, Kau ciptakan ASI. Saat itu langsung terbersit dalam pikirku untuk terus memberimu ASI, sayang. Tak peduli sampai berapa usiamu kelak. Seperti Bunda Hanzky dan Jehan.
Tapi rupanya kau siap lebih cepat dari dugaanku. Di usia dua tahun sepuluh hari tanpa persiapan apapun kau tertidur di malam hari tanpa ASI. Berlanjut pada jadwal tidur siang maupun malam di hari-hari berikutnya. Tak ada pemisahan. Kita tetap tidur bersebelahan. Tak ada ramuan yang kutempelkan di dada. Tak ada ancaman bagimu untuk berhenti menyusu. Tak ada acara demam dan payudara bengkak gara-gara tidak memberikan ASI lagi.
Kau tak menangis meraung-raung seperti aku dahulu (menurut penuturan nenekmu). Kau hanya membutuhkan waktu lebih panjang untuk bisa tertidur. Satu kali kau memintaku bermain ucang angge (menempatkan anak tengkurap di kaki antara lutut dan punggung kaki sementara ibu tiduran di kasur. Berulang-ulang kaki dinaikturunkan sambil bernyanyi) selama setengah jam sampai tertidur.
Dua pekan pasca menyapih aku merindu. Terasa ada yang hilang dariku. Masa romantis berdua bersama lelaki mungilku tak lagi dapat kunikmati.
“Seperti patah hati ya, Bu?” kata dr. Oei saat kucurhat padanya via twitter. “Nggak apa-apa. Alihkan ke hal-hal positif saja,” sarannya.
Ya, sepertinya aku patah hati. Aku kehilangan masa intim berdua saja dengan anakku. Anak yang baru hadir di usia pernikahanku yang ke tiga tahun. Tapi untunglah obatnya sangat mudah kudapatkan. Si pembuat patah hati justru obat paling mujarab. Melihatnya kian tumbuh dan berkembang adalah anugerah bagiku. Ia semakin pintar, semakin cerewet, semakin banyak ingin tahu, semakin menggemaskan, semakin sering buatku mengelus dada, semakin sering buatku tertawa, semakin sering buatku memutar otak, semakin bisa menyenangkan hati.
Ia ada di sebelahku kini sedang mendengkur pelan. Hoahem..buatku ikut mengantuk. Kulingkarkan lenganku padanya. “Ibu sayang kamu, Nak,” bisikku di telinganya.
“Hm..” ujarnya sambil menggeliat dan berbalik arah padaku. Lengan kirinya kini menempel di leherku.
Ah, aku bukan patah hati. Aku jatuh cinta lagi dan lagi dan lagi…
Tulisan ini diikutsertakan pada Breastfeeding Month Blog Competition bertema Breastfeeding Worth Fighting For Periode 27 Agustus - 7 September 2012
Waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB. Kupandangi lelaki mungil lelap tidur di sebelahku. Mata beralih pada kalender di dinding. September 2012. Dua tahun tujuh bulan usianya kini. Secepat itu waktu berlari. Lelaki mungilku pun kini sedang gemar berlari.
Kugenggam lengannya. Aih… sudah jauh lebih lebar dari saat ia lahir dulu. Telapak tangannya sekarang empuk kemerahan. Jari-jarinya menggembung sehat. Kuku jarinya pun putih kemerahan, tebal, dan sudah bisa kuraba. Dua setengah tahun lalu tangan itu kisut dengan kuku yang sangat tipis. Buatku berkeringat dingin tiap kali mengguntingnya.
Eh, lelaki imutku menggeliat. Wajahnya berkerut sejenak. Kutepuk pelan dadanya lalu kucium keningnya. Kerutan itu memudar. Kuusap ubun-ubun kepalanya. Ah, tak lagi ada denyut di kepalanya. Denyut khas bayi yang baru lahir karena tempurung kepalanya belum menutup sempurna.
Masih kuingat betapa khawatirnya aku dengan lubang berbentuk elips memanjang di bagian tengah kepalanya saat itu. Dan kini ketika kuraba, mulus sudah tempurungnya. Rambutnya pun telah menebal dan hitam. Tak seperti dulu yang tipis dan kemerahan.
Kugeser pelan tubuhku merapat padanya. Hm…dulu kaulah yang merapat padaku. Membuka paksa kancing bajuku. Berucap sambil berharap “Nen, ibu!” Bahkan sebelum kau bisa bicara, tangan kecilmu memukul pelan dada ini. Pertanda kau haus dan ingin segera menyesap ASI.
Masih terekam dalam benakku bagaimana lincah bola matamu menatapku saat menyusu. Mata yang ikut tersenyum saat kutarik kedua ujung bibirku ke atas. Mata yang ikut bernyanyi ketika kusenandungkan lagu. Mata yang turut gembira kala kuajak bicara.
Sementara mulutmu sibuk menghisap nutrisi, lenganmu tak jua kunjung diam. Saat menyesap, kau memukul pelan dadaku. Kau pencet-pencet dua gentong susu ini. Kau usap pipiku. Kau jawil bibir dan hidungku. Bahkan tak segan kau tusuk mata ini dan kau jambak rambutku. Kuraih lengan aktifmu lalu pura-pura kugigit gemas. Kaupun tertawa.
Kusandarkan kepalaku pada keningmu. Ya Tuhan! Kakimu kini sudah menyentuh lututku. Padahal dua tahun lalu kakimu baru sampai di perutku. Sepanjang itukah waktu yang sudah terlampaui bersamamu?
Tak pernah kulupa, sayang, kau adalah fans berat ASI. Ketika kumulai mengumandangkan penyapihan di usiamu yang ke 22 bulan, kau tak suka. Jadwal menyusu yang sudah rapi jadi berantakan. Maafkan ibu, sayang karena tak peka dengan ketidaksiapanmu. Kitapun kembali mengaturnya bersama-sama.
Lalu sebulan kemudian kau harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama lima hari. Ajaib! Semua cairan terolak tubuhmu kecuali infus dan ASI. Terima kasih, Tuhan, Kau ciptakan ASI. Saat itu langsung terbersit dalam pikirku untuk terus memberimu ASI, sayang. Tak peduli sampai berapa usiamu kelak. Seperti Bunda Hanzky dan Jehan.
Tapi rupanya kau siap lebih cepat dari dugaanku. Di usia dua tahun sepuluh hari tanpa persiapan apapun kau tertidur di malam hari tanpa ASI. Berlanjut pada jadwal tidur siang maupun malam di hari-hari berikutnya. Tak ada pemisahan. Kita tetap tidur bersebelahan. Tak ada ramuan yang kutempelkan di dada. Tak ada ancaman bagimu untuk berhenti menyusu. Tak ada acara demam dan payudara bengkak gara-gara tidak memberikan ASI lagi.
Kau tak menangis meraung-raung seperti aku dahulu (menurut penuturan nenekmu). Kau hanya membutuhkan waktu lebih panjang untuk bisa tertidur. Satu kali kau memintaku bermain ucang angge (menempatkan anak tengkurap di kaki antara lutut dan punggung kaki sementara ibu tiduran di kasur. Berulang-ulang kaki dinaikturunkan sambil bernyanyi) selama setengah jam sampai tertidur.
Dua pekan pasca menyapih aku merindu. Terasa ada yang hilang dariku. Masa romantis berdua bersama lelaki mungilku tak lagi dapat kunikmati.
“Seperti patah hati ya, Bu?” kata dr. Oei saat kucurhat padanya via twitter. “Nggak apa-apa. Alihkan ke hal-hal positif saja,” sarannya.
Ya, sepertinya aku patah hati. Aku kehilangan masa intim berdua saja dengan anakku. Anak yang baru hadir di usia pernikahanku yang ke tiga tahun. Tapi untunglah obatnya sangat mudah kudapatkan. Si pembuat patah hati justru obat paling mujarab. Melihatnya kian tumbuh dan berkembang adalah anugerah bagiku. Ia semakin pintar, semakin cerewet, semakin banyak ingin tahu, semakin menggemaskan, semakin sering buatku mengelus dada, semakin sering buatku tertawa, semakin sering buatku memutar otak, semakin bisa menyenangkan hati.
Ia ada di sebelahku kini sedang mendengkur pelan. Hoahem..buatku ikut mengantuk. Kulingkarkan lenganku padanya. “Ibu sayang kamu, Nak,” bisikku di telinganya.
“Hm..” ujarnya sambil menggeliat dan berbalik arah padaku. Lengan kirinya kini menempel di leherku.
Ah, aku bukan patah hati. Aku jatuh cinta lagi dan lagi dan lagi…
Tulisan ini diikutsertakan pada Breastfeeding Month Blog Competition bertema Breastfeeding Worth Fighting For Periode 27 Agustus - 7 September 2012
Langganan:
Postingan (Atom)