Jumat, 12 Februari 2010

Lelaki Keduaku

Lelaki itu kupanggil Faiz. Dialah lelaki keduaku. Setiap memandangnya, perasaanku bercampur aduk. Senang, bahagia, haru, takjub. Rupa-rupa pokoknya. Apalagi jika kami hanya berdua. Wah semakin menjadi. Segala rasa muncul dan tercurah padanya.

Lelaki itu hadir setelah masa penantian nyaris tiga tahun lamanya. Ia hadir juga dengan proses yang tak mudah. Ada perdebatan, ada kesalahpahaman, ada ngambek-ngambekan, ada-ada saja.

Lelaki itu putera pertama kami, Malik Muhammad Faiz. Pemimpin yang beruntung. Itulah harapan kami seperti pemimpin para umat, nabi besar Muhammad SAW. Doa kami senantiasa menyertaimu lelaki keduaku.

Hari-hari di Archa Clinic

Kulalui hari-hari pertamaku sebagai ibu di klinik bersalin ARCHA CLINIC. Klinik yang teramat jauh dari kediamanku itu punya cerita tersendiri. Begini ceritanya:

Seperti sudah kutuliskan dalam postingan-postinganku sebelumnya, terapisku sudah meminta kami, aku dan suamiku untuk menyegerakan kelahiran. Bahkan dari semula diperkirakan lahir akhir Januari, ia kemudian meminta kami segera melahirkan di pertengahan Januari. Selambatnya 25 Januari 2010. Alasannya, tali pusat anakku melilit di lehernya. Jika dibiarkan, akan membahayakan ibu atau anaknya. Selain itu, tulang panggulku kecil sementara saat itu anakku sudah seberat 3,4 kg berdasarkan terawang USG 4D. Ia pun merekomendasikan satu dokter obgyn yang berpraktek di RSI Bintaro. Setahu dia, dokter tersebut memiliki klinik tersendiri namun ia tak tahu persis letaknya.

Lantaran lokasi RS yang jauh, aku dan suami tidak lantas mengikuti sarannya. Aku mencoba mendatangi RS tempat biasa memeriksakan kehamilan. Karena selama ini memeriksakan diri ke bidan, aku beralih ke dokter obgyn. Kuutarakan niatan melakukan operasi caesar. Serta-merta dokter tersebut menolak. Menurut pemeriksaannya, bayi kami baik-baik saja. Begitu juga dengan aku. Ia tidak melihat ada hal yang salah dengan kehamilanku sehingga aku harus dioperasi caesar.

Karena saat itu aku tidak bersama suami, kujadikan ia sebagai bemper. Tak mungkin kan kalau aku mengatakan padanya, "Pak Sobri yang merekomendasikan kami caesar dengan alasan XYZ". Dokter itu kan tak kenal Pak Sobri, terapisku. Maka kujadikan suamiku sebagai alasan mengapa aku meminta caesar. Aku mendapati kesan bahwa dokter tersebut sebal terhadapku karena hal itu. Ia merasa seperti digurui padahal ia yang lebih tahu soal penanganan kehamilan ketimbang aku. Begitu juga dengan bidan yang biasa memeriksaku. Kebetulan saat itu ia tengah membantu dokter tersebut berpraktek. Ia memintaku untuk tidak kembali ke bidan karena aku sudah beralih ke dokter. Sempat terpikir untuk beralih dokter di RS yang sama. Tapi rasanya ko tak etis ya?

Suamiku bisa menerima alasan dokter. Menurutnya, dokter punya alasan menolakku karena ia juga punya prinsip. Jadi tak semua dokter bisa memenuhi permintaan pasien begitu saja. Akhirnya kami sepakat mendatangi dokter RSI Bintaro yang direkomendasikan terapisku. Kami pikir, ia bisa memenuhi permintaan kami. Apalagi ia kenal dengan terapisku sehingga aku tak perlu menjadikan siapapun sebagai bemper. Aku bisa mengatakan apa adanya. Tapi ternyata, lain ceritanya. Dokter obgyn tersebut berprinsip sama dengan dokter yang kudatangi sebelumnya.

Lantaran mahalnya RSI Bintaro, ia pun merujuk klinik miliknya di BSD City. Harganya lebih murah dengan kualitas layanan sama dengan RSI Bintaro (hehe jadi promosi). Pada pertemuan berikutnya di klinik, USG menunjukkan kepala bayiku sudah menempel di tulang panggul. Dokter memintaku sabar dan menanti sampai ia masuk ke jalan lahir. Hasil NST juga menunjukkan kondisi bayiku baik-baik saja. Air ketubanku pun cukup untuk melahirkan normal.

Pada pemeriksaan selanjutnya, dua hari setelah itu, kepala bayiku sudah memasuki jalan lahir walaupun baru setengahnya. Dokter yakin kalau aku bisa melahirkan normal. TApi aku tak merasakan mulas. Padahal berdasarkan grafik NST, aku sudah mulas-mulas. Kata dokter, itu malah bagus. Orang lain malah ingin merasa tidak mulas. Aku kok ya malah bingung. Hehe..

Akupun diberi obat perangsang mulas sebanyak enam butir untuk tiga hari. Aku diminta banyak bergerak apapun jenisnya. Jalan pagi, naik turun tangga, jongkok berdiri, senam hamil, nungging. Semuanya kulakukan. Katanya gerakan-gerakan itu membantu bayi menuju jalan lahir.

Namun lagi-lagi aku was-was. Sudah lima butir obat yang kuminum tapi aku tak kunjung mulas. Malah perutku masih nampak "menggantung". Kata orang, kalau bayi sudah di jalan lahir, perut akan "turun". Tapi kami tak putus berupaya dan terus memohon agar diberi kemudahan dalam melahirkan. Jujur saja aku meminta kepada Yang Maha Kuasa agar diberi kesempatan melahirkan normal. Bahkan aku mengajak bicara bayiku agar sama-sama berusaha dan berdoa untuk bisa melahirkan normal. Aku pasrah. Suamiku pasrah.

Ahad (31/1) sore aku dan suami tengah santai mengobrol di kamar. Tiba-tiba aku merasa ada yang mengalir dari tempat keluar bayi. Khawatir mengotori kasur, akupun sontak lompat dan membuka pakaian dalam. Ada darah segar di situ. Aku panik, takut, dan bingung. Apakah itu tanda akan melahirkan ataukah terjadi sesuatu dengan bayiku?

Selama ini yang kudengar, tanda melahirkan adalah munculnya flek dari lubang tempat keluarnya bayi atau pecahnya ketuban. Pikirku, flek seperti darah akhir menstruasi, yaitu berwarna cokelat atau kuning dan kering. Jumlahnya pun hanya sedikit. Rupanya yang terjadi padaku adalah flek juga namanya. Hehe.. maklum belum pengalaman.

Ibu mertuaku meminta kami, aku dan suami, untuk tenang. Kami diminta segera bersiap ke klinik. Akupun mandi dan mengeluarkan tas yang selama ini sudah kusiapkan untuk persalinan. Tak lupa aku menelepon ibu di Bandung untuk meminta doanya sekaligus memohon ampun. Aku juga menelepon klinik untuk memberitahukan kedatanganku.

Semula sore itu pula kami hendak berangkat. NAmun karena menunggu mulasku datang dan hal-hal lain, maka baru malam hari kami berangkat. Kami sempat menjemput ibu di stasiun. Rupanya begitu mendapatiku akan melahirkan, ibu langsung pergi ke stasiun.

Setiba di klinik sekira pukul 22.30 WIB. Bidan, asisten dokterku, kemudian memeriksaku. Aku sudah bukaan satu. Akupun masuk rung observasi lantaran tempat tinggalku yang jauh. JAdilah aku menginap bersama suami dan ibuku.

Esok harinya sekitar pukul 10.30 WIB, dokter memeriksaku. Lagi-lagi masih bukaan satu. Lagi-lagi tak juga kurasakan mulas. Dokter pun memberikan pilihan, aku keukeuh dengan operasi caesar ataukah mencoba induksi untuk merangsang mulas. Jika hendak operasi, ia baru bisa melakukannya malam hari lantaran harus berpraktek di RSI Bintaro dan juga sudah ada jadwal operasi. Sedangkan jika induksi, akan tampak bukaan sempurna sekitar 8-12 jam. Dihitung-hitung keduanya baru bisa dilakukan malam hari. Kupilih induski saja. Pikirku kalaupun nanti harus caesar, setidaknya aku mempergunakan masa tunggu dengan upaya melahirkan normal. Jadi tak penasaran.

Sekitar pukul 12.30 WIB aku diinfus induksi. Setengah jam kemudian mulai bereaksi. Tak henti-hentinya aku merasa mulas. Saat pengecekan pukul 15.00 WIB, aku sudah bukaan empat. Akupun masuk ruang bersalin. Di sanalah aku bermulas ria. Ditemani suami dan ibuku akupun menjalani rasa mulas dan sakit yang tak putus-putus. Dokter anesthesi yang dijadwalkan menyuntikkan ILA padaku tak kunjung datang. Ia terjebak macet. Padahal seharusnya aku sudah mendapat suntik ILA untuk menghilangkan rasa sakit dan mulas tanpa menghilangkan kontraksi. Archa Clinic memang dikenal dengan program melahirkan normal tanpa rasa sakit melalui suntik ILA.

Dokter anesthesi sempat kesulitan menyuntikkan ILA padaku. Maklum saja aku sudah bukaan lima entah enam. Otot-ototku di sekujur tubuhku menegang menahan rasa sakit dan mulas. Sementara untuk menyuntikkan ILA, ototku diminta rileks. Aku tak dapat melihatnya. Tapi kata ibu dan suamiku, jarum sempat mental. Setelah selesai disuntik, aku langsung merasa lemas dan tertidur lelap. Selama tidur, aku tetap kontraksi lo! Hebat kan? Hehe...

Aku dibiarkan tidur sampai pukul 18.00 WIB. Bagian perut sampai bawah terasa mati rasa. Berat sekali untuk digerakkan bahkan untuk gerakan kecil sekalipun. Kemudian aku belajar mengedan sambil menanti dokter hadir. Caranya, setiap kali ada kontraksi (dengan cara memegang perutku), bidan menyuruhku mengedan. Alhamdulillah anakku lahir selamat pada pukul 19.15 WIB. Sempat aku dibuat deg-degan saat dokter datang dan berkata, "Kita pecahin ketubannya dulu ya Rim. Kalau jernih, kita lanjut normal. Kalau hijau, saya operasi kamu". Pikirku saat itu, masa iya aku sudah mulas-mulas sedari siang akhirnya harus operasi juga? Tapi semua itu pupus saat dokter berkata, "Air ketubannya bagus, Rim. Kita bisa normal". "Alhamdulillaah".

Ditemani ibuku, dalam lima kali mengedan muncullah sesosok bayi mungil dari rahimku. Ia terlilit tali pusat dua kali. Alhamdulillah ia selamat. Sebenarnya suamiku ingin menemani. Tapi ia salah perhitungan waktu. Dipikir dokter paling datang malam sehingga menurut perhitungannya, aku melahirkan sekitar pukul 20.00 WIB. Jadinya ia ke warung nasi untuk membelikan ibuku nasi bungkus karena sedari siang belum makan. Menantu yang baik ya... Tapi tak apa, ia masih sempat mengadzani putra pertama kami, Malik Muhammad Faiz. Ia lahir pada 1 Februari 2010 pukul 19.15 WIB dengan berat 3,23 kg dan panjang 48 cm.

Karena suntikan ILA itu, aku tidak diperbolehkan bangun sampai pukul 06.00 WIB. Aku hanya boleh berbaring. Mengangkat kepala pun diusahakan tidak sering. Semalaman aku tak bisa tidur. Pegal rasanya badan ini. Kudengar suara tangis bayi dari ruang bayi. Kuyakin itu bayiku tapi aku tak bisa mendekapnya. Rasanya seperti bertahun-tahun menunggu pagi. Maka begitu pagi menyingsing, kulangsung mandi. Padahal efek ILA masih terasa. Kepalaku masih pusing. Tapi demi melihat bayiku, kupaksakan saja. Begitu aku mendapati bayiku, aku merasa seperti orang paling bahagia di dunia. Aku bisa mendekapnya di dadaku.

Aku tak mau membaginya dengan klinik. Sejak hari itu aku tidak memberi Faiz ke ruang bayi. Sebisa mungkin ia ada di ruanganku. Walaupun ASI-ku belum ada, tapi aku tetap mencobakannya. Kami kembali sama-sama berupaya seperti halnya saat hendak lahiran sebelumnya. Semalaman Faizku menangis. Mungkin kesal karena ia rajin menghisap namun tak kunjung keluar. Jadinya kami begadang. Tak apalah. Hitung-hitung latihan. Padahal bidan sudah menawarkan diri untuk menyimpan Faiz di ruang bayi agar aku bisa istirahat. Tapi aku tak mau. Kupikir biarlah aku tak istirahat. Toh anakku juga tak akan istirahat di ruang bayi karena tak ada ASI, yang ada hanya empeng. Kasihan ah.

Saat pulang ke rumah, kegiatan serupa terus kualami sampai sekarang: begadang. Apalagi kalau siang hari aku tak boleh tidur. Padahal Faizku tidur dengan lelapnya. Kata orang tua sih, takut darah putih naik jadinya tak bisa melihat di hari tua. Entah benar atau tidak, tak ada salahnya dituruti. Yah hitung-hitung balasan waktu hamil tidur melulu. Hehe...