Rabu, 16 Februari 2011

Oleh-oleh dari Bandung

Kali ini saya tidak akan membicarakan buah tangan. Bukan soal penganan khas ibu kota Jawa Barat yang kian hari kian variatif saja dengan kreasi penganan baru maupun pakaian yang katanya murah tapi modis itu. Oleh-oleh kali ini sifatnya lebih pribadi; pengalaman hidup.

Sejak memiliki Faiz dalam kehidupan kami, Bandung jarang kami singgahi. Pun orang tuaku masih tinggal di sana. Ketika 0faiz berusia lima bulan, barulah kami sebisa mungkin merutinkan diri mengunjungi nenek dan kakeknya. Kami tak ingin Faiz dan orang tuaku menjadi tak kenal lantaran jarang berjumpa. Tak adil rasanya lantaran kami di Jakarta tinggal bersama oma dan opa Faiz, orang tua suamiku. Maka satu bulan sekali rasanya cukup mengobati rasa kangen pada keluarga di Bandung. Aku dan Faiz biasanya tinggal sepekan di ibu kota Jawa Barat ini. Sementara suamiku bagian mengantar dan menjemput. Maklum, dapur harus tetap ngebul.

Saat ini Faiz sudah berusia satu tahun. Jadi sudah beberapa bulan ada cerita dari Bandung. Salah satunya pengalaman ibu saya.

Ibu memiliki tiga anak perempuan. Si sulung menimba ilmu kedokteran gigi. Sewaktu masih kuliah, biasalah ibu-ibu di lingkungan suka membahas anak-anaknya. Salah satu ibu di lingkungan memandang rendah ibu dan kakakku. Katakanlah namanya D. "Alah masa iya sekolahnya mahal. Anak ibu kan cuma ngurusin gigi doang. Anak saya tuh yang di kedokteran umum aja nggak sampai segitu. Padahal kan ngurusinnya banyak, nggak cuma gigi". Ibuku hanya diam.

Kemudian kakakku ini menikah dan memiliki anak saat masih kuliah. Otomatis pengasuhan anaknya lebih banyak dipegang ibu. Ibu tak keberatan. Maklum, cucu pertama. Apalagi kondisinya kakakku masih harus kuliah. Ibu juga mendorongnya menyelesaikan pendidikan. Memang ibu pernah berkata kepada kami bila ibu dan bapak akan berupaya keras anak-anaknya bisa mengecap pendidikan tinggi. "Ibu dan bapak tak punya harta untuk diwariskan. Kami hanya bisa mengupayakan kalian bisa sekolah tinggi".

Karena itulah, ibu terkesan disibukkan oleh cucu. Dalam berkegiatan sosial di masyarakat, ibu membawa cucunya. Ucapan-ucapan sinis ada saja yang melontarkan. "Euh, meni kabeungkeut ku incu (ih kok terikat sama cucu)", "Aduh kok ya jadi taman bermain begini sih", dan kalimat-kalimat senada ditujukan pada ibu. Lagi-lagi ibu hanya bisa diam.

Entah berapa lama ibu mendapat perlakuan seperti itu. Saat ini cucu pertama ibu sudah berusia 9 tahun dan sudah jarang ikut ibu bersosialisasi. Tapi sudah sekitar setahun belakangan ini ibu bisa tersenyum lepas. Bahkan bisa membalikkan kata-kata yang pernah diterima beliau.

Satu hari ibu tengah berkumpul dengan beberapa ibu di lingkungan. Termasuk di antaranya ibu D. Salah seorang ibu, sebut saja A, tiba-tiba saja berkata pada ibuku "Ya ampun ibu, bener ya. Kedokteran gigi teh mahal banget kuliahnya. Si ibu meni bisaan (si ibu kok ya sanggup)". Rupanya ketika itu putra ibu A tengah menjalin kasih dengan mahasiswi kedokteran gigi yang sama dengan kakakku. Ibuku hanya tersenyum. "Alhamdulillah rizqi anak saya".

Nah kalau berkenaan dengan cucu, lebih menarik lagi. Ibu D yang sudah pernah sinis beberapa kali pada ibuku kini kena juga. Selain mendengarkan langsung soal pendidikan kakakku, ia kini mengalami sendiri "keterikatan" cucu. Bukan satu, tapi dua. Cucu-cucunya ini adalah putra-putra dari anaknya yang dokter umum itu. Jika ibu dulu tak pernah mengeluh, kini ibu D berkata pada ibuku "Duh meni asa jadi ngababu kieu (Aduh serasa dibabuin begini)".

Sementara itu sekarang ini di setiap pertemuan lingkungan, tidak hanya dihadiri ibu-ibu dan bapak-bapak tapi juga anak-anak balita bahkan bayi. Ya, mereka adalah cucu-cucu dari ibu bapak tetangga. Beberapa di antaranya yang pernah bersikap sini pada ibu. Kata ibuku, sekarang beliau suka tertawa dan dengan bercanda mengembalikan kalimat-kalimat yang pernah diterimanya dulu. Paling-paling mereka jadi tertawa bersama.

ΒεŧΰĹ sekali, Tuhan bekerja dengan caranya yang misterius. Kesakithatian ibu dibalasNYA tanpa harus ibu melakukan apapun. Mudah-mudahan aku tak merepotkan siapapun dalam mengurus anak. Tidak orang tuaku maupun mertuaku. آمِّينَ.

Selasa, 01 Februari 2011

hari ini setahun kemarin



Hari ini setahun yang lalu kami mendapatkan keajaiban. اَللّهُ menganugerahi kami keturunan. Ialah anak pertama kami, Malik Muhammad Faiz. Agaknya berlebihan bila aku menyebutnya keajaiban. Tapi bagi kami, terutama aku, seperti itulah rasanya.

Faiz lahir melalui proses yang panjang. Ia dinantikan sejak ayahku menerima ijab nikah seorang lelaki yang kini menjadi suamiku. Ya, kami tak pernah menunda mendapatkan keturunan. Kami percaya itu adalah amanah. Sehingga tak laik rasanya bila amanah ditunda-tunda.

Sebelum menikah, anak menjadi bahan pembicaraan kami. Bukan soal tunda atau tidaknya tetapi lebih kepada seperti apa kelak kami akan membentuk mereka. Hahaha ya, kalian tak salah baca. Aku menuliskan kata "mereka", bukan "dia". Kami percaya diri berangan memiliki anak lebih dari satu orang. Malah suamiku bilang "sebanyak-banyaknya" hahaha..

Orang boleh berangan tapi yang punya kehendak adalah اَللّهُ. Dialah yang memiliki hak mutlak kepada siapa amanah berupa keturunan akan diberikan dan kapan masa yang tepat mendapatkannya.

Ketika pernikahan memasuki usia bulanan, kami masih santai. "Doakan saja", "Belum waktunya", "Disuruh pacaran dulu sama Yang Maha Kuasa" menjadi jawaban setiap kali pertanyaan "Sudah hamil belum, bu?" Tetapi begitu menginjak usia satu tahun, ketar-ketir juga diri ini. Aku jadi bertanya-tanya, kenapa sampai setahun menikah belum juga dapat keturunan. Apakah yang salah dengan kami, terutama aku.

Kuberanikan diri memeriksakan ke dokter. Pikirku, aku harus tahu ada apa dengan tubuhku ini. Kalau memang ada yang bermasalah, aku ingin menyembuhkannya dulu. Mumpung masih muda. Nyatanya memang ada yang harus diobati.

Akhirnya aku memutuskan berhenti bekerja. Kupikir kelelahan menjadi salah satu faktor sulitnya kami berketurunan. Bagi teman-teman yang lain barangkali memang tidak. Tapi bukankah setiap orang adalah berbeda?

Rupanya kami masih harus diuji. Berhenti kerja tak lantas membuatku hamil. Aku malah sempat lama berleha-leha dan mengambil kuliah Akta IV. Bukan untuk bekerja, tapi menambah ilmu. Aku sepakat dengan suamiku bila menuntut ilmu itu sasarannya bukan untuk cari uang tapi menambah wawasan; membantu pola pikir yang runut, praktis, dan efisien; membangun jaringan.

Ke dokter, sudah. Kami pun beralih ke pengobatan tradisional. Dari sekian banyak rekomendasi, kami memilih pengobatan Pak Sobri di Cililitan. Alasannya, ilmiah, masuk akal, bukan magis, dan cocok di hati. Kami pun punya keyakinan bisa berhasil dengan metode pengobatan tradisional sang herbalis ini.

Intinya kami diminta mengubah pola makan. terutama aku yang akan mengandung. Begitu banyak jenis makanan yang dipantang. Selain detoksifikasi, cara ini mampu mengatasi masalah yang juga terdeteksi oleh dokter sebelumnya.

Tunggu punya tunggu, tiga bulan setelah rutin berobat sepekan sekali, aku hamil. Awalnya tak percaya melihat testpack. Sampai sepekan setelah itu aku kembali tes dan garis dua pada testpack semakin nyata. Aku terbengong-bengong dengan perasaan tak menentu.

Saat Pak Sobri menyatakan ya, aku hamil. Aku sendiri masih mempertanyakannya. Maka akupun cek ke rumah sakit untuk USG. Hasilnya positif aku hamil. Bahkan aku bisa melihat satu titik kecil di dalam rahimku yang bergerak-gerak.

Mulailah masa kehamilan kujalani. Pantangan makanan masih kulakukan hingga melahirkan. Kehamilanku kurasakan biasa saja, tidak berat seperti apa yang pernah kudengar atau kubaca. Aku tak mengalami "morning sickness". Juga ngidam sesuatu yang amat sangat diinginkan sehingga harus didapatkan. Katanya kalau tidak dipenuhi, bayinya ileran.

Seingatku hanya dua kali aku punya keinginan selama hamil. Tapi itupun tak menggebu-gebu. Hanya tercetus saja dalam hati dan الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ terlaksana.

Pertama ketika di dapur aku tengah mencuci piring. Entah dari mana asalnya, muncul begitu saja dalam hati kalimat "Kayaknya enak nih makan rambutan". Saat itu bukan musim rambutan. Tapi dasar emang rizqi, selang beberapa menit kemudian mama mertuaku tiba di rumah. Ia baru saja diajak piknik ke tempat seorang kawan di kawasan Bogor, Jawa Barat. "Tuh, Ma ada rambutan". Seperti mendapatkan bulan, aku langsung membuka tas plastik yang disimpan mama mertua di meja makan. Ada serenceng rambutan. Kumakan beberapa saja. Manis, enak. Sudah.

Kedua ketika adikku datang dari Bandung. Dalam hati aku sudah berniat "Ah, nanti ajak Nti ke bakso Pak Kumis". Eh tiba-tiba suamiku menelepon "Neng mau bakso Pak Kumis? Ini Aa lagi di warungnya". Subhanallah dengan mudahnya aku bisa makan bakso Pak Kumis yang enak itu tanpa harus bersusah payah mendatanginya.

Saat hamil tua (kalau kata orang, sudah bulannya) aku bingung. Perut ibu-ibu hamil seusia kandungan yang sama denganku di rumah sakit kok sudah pada "turun" sementara punyaku masih "gantung". Kugiatkan jalan pagi, jongkok, naik-turun tangga, nungging, sujud, rukuk, senam hamil. Apapun untuk membuat perutku "turun". Namun upayaku belum juga berhasil. Maka akupun makin intes mengajaknya bicara khusus berjuang untuk segera turun ke jalan lahir. "Ayo Nak kita sama-sama berusaha. Ibu dari luar, kamu dari dalam, yuk!".

Selain belum "turun", aku juga belum merasakan mulas sampai pekan ke-40 kehamilan. Dokter memberiku enam butir kapsul perangsang mulas. Satu hari diminum dua kali.

Satu sore di hari Ahad aku mengeluarkan flek tanpa rasa mulas. Takut, senang, bingung berkecamuk. Berusaha tenang tetap saja hati ini tak menentu. Perjalanan hidup berputar dengan cepat seperti sedang menyaksikan sebuah film dengan aku sebagai bintang utamanya. Buatku makin tenggelam dengan perasaan tak menentu. Kuhubungi ibuku di Bandung. Kumintai restu dan ampunannya.

Tak dinyana ibu langsung ke stasiun kereta api dan berangkat ke Jakarta. Maka akupun menantinya sebelum pergi ke rumah bersalin. Sesampainya di Stasiun Gambir, ibu kujemput dan bersama-sama ke Klinik Archa di BSD, tempat aku memeriksakan kandungan di masa-masa terakhir kehamilan.

Bidan memeriksa. Aku baru bukaan satu. Akupun masuk ruang observasi. Antisipasi bila bukaanku cepat dan melahirkan malam itu sementara jarak rumah dan klinik jauh.

Malam itu aku tak nyenyak tidur. Mulas memang belum datang juga tapi hatiku berkecamuk. Takut, senang, bingung, haru, segala rupa tumplek plek di diriku. Apalagi melihat ibu dan suami yang menemaniku malam itu. Duh rasanya gimana gitu. Dan yang paling membuatku takut adalah jika aku harus menjalani operasi. Wuih ngeri membayangkannya.

Di pagi hari dokter memeriksaku dan masih saja pembukaan satu. Dokter menyerahkan pilihan padaku untuk melahirkan secara caesar atau normal dengan cara induksi. "Tapi kalau caesar saya baru bisa nanti malam." Kupikir kalau caesar baru bisa malam, kenapa tidak kucoba induksi saja. Jadi aku tak bengong menunggu malam. Yah, siapa tahu rizqi kami adalah melahirkan secara normal. Kupilih induksi.

Pukul 12.30 aku diinduksi. Satu jam kemudian mulai bereaksi. Rasa mulas melanda. Makin lama makin menggila. Pukul 15.00 aku masuk ruang bersalin. Aku sudah tak lagi bisa berdiri. Suami dan ibu sabar menemaniku.

Sekira pukul 17.00 dokter anestesi menyuntikkan ILA padaku. Ini adalah suntikan anti rasa sakit tanpa menghilangkan kontraksi. Seketika itu pula aku lemah dan terkulai lantas tertidur. Sejam kemudian aku bangun. Bidan melatihku mengedan. Tak lama dokter datang. Kami berlatih mengedan sebentar lalu melahirkan.

Aku tak merasakan sakit. Kontraksipun tidak. Mempan ILA padaku. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ putraku lahir sekira pukul 19.15 WIB. Dua lilitan tali pusat melingkari lehernya. Ia dibersihkan dan keluar dari ruang bersalin. Sementara aku harus berbaring sampai pukul 06.00 pagi keesokan harinya. Ya, konsekuensi tak sakit saat kontraksi. Alhasil semalaman aku tak bersama Faiz. Aku tak bisa tidur. Ingin kumelihat putra pertamaku itu.

Pukul 06.00 aku minta izin bangun dari tempat tidur. Aku mandi dan segera ke ruang bayi. Badanku masih sedikit melayang tapi rasa rindu melebihi kelemahanku. Seharian aku bersamanya. Bidan memintaku menyimpan Faiz di kamar bayi saat tidur agar aku bisa istirahat pun tak kululuskan. Tak mau kuterpisah ruang dengannya lagi.

Kami juga harus berjuang dalam kegiatan pemberian ASI. Sebagai perempuan yang baru pertama kali melahirkan, khawatir tak punya cukup ASI untuk putraku. Pertama kali menyusui, ASI-ku sedikit keluar sementara Faiz menghisap dengan kuat. Kami sama-sama belajar. Bidan menyemangatiku untuk percaya diri dengan ASI yang kupunya. Perlahan namun pasti kami bisa melaluinya. Pemberian ASI menjadi kegiatan favorit kami berdua.

Tak terasa itu semua sudah berlalu setahun kemarin. Tapi setiap rincian hal tentangnya masih segar dalam ingatanku.

Selepas itu banyak hal yang kami lalui bersama. Aku masih banyak belajar. Terutama menghadapi Faiz yang sedang dalam masa keemasan.

Wahai manusia beruntung, semoga berkah اَللّهُ selalu menyertai setiap langkah kehidupanmu. Wahai pemimpin umat, mulialah engkau di masa lalu, kini, dan yang akan datang. Wahai jiwa yang baik, terpujilah engkau. Kelak اَللّهُ menempatkanmu beserta golongan kekasih-NYA. آمِّينَ.

Jakarta, 1 Februari 2011
Teruntuk putra sulungku, lelaki keduaku, Malik Muhammad Faiz.