Senin, 25 Januari 2010

Jelang Lahiran

Jadi malu. Isi blog mostly about pregnancy. Hehe... Maklumin aja ya, lagi narsis nih, pertama kali hamil. Jadinya banyak yang ingin diceritakan.

Seperti yang sudah kuceritakan dipostingan sebelumnya, aku dinyatakan harus operasi caesar untuk bisa melahirkan anakku ini. Karena itulah, aku datangi rumah sakit tempatku memeriksakan kehamilan. Kuberalih menuju dokter kandungan (biasanya aku periksa ke bidan). Kupilih seorang dokter perempuan. Padanya kuminta operasi caesar.

Serta merta ia menolakku. Setelah diperiksanya, ia bilang kandunganku baik-baik saja. Anakku pun dalam keadaan baik. Hanya saja ia sedikit terlilit tali pusat. Menurutnya itu hal biasa. Ia bilang, 90 persen bayi yang dalam penanganannya berada dalam kondisi seperti itu. Lumrah saja. Toh hanya 10 persen darinya yang harus dioperasi caesar. Selebihnya bisa dilahirkan normal. Ia memintaku sabar dan akan mengusahakan normal.

Memang, aku tak mengatakan jika caesar adalah rujukan dari terapisku. Kan dia belum mengenal terapisku. Jadilah kujadikan suamiku sebagai "bemper". Ia kujadikan alasan mengapa kami meminta caesar. Tadinya kami pikir, adalah hak kami meminta caesar. Namun setelah penolakan dokter tersebut, suamiku berkata, hak dokter pula untuk menolak karena ia yang akan menangani. Dipikir-pikir memang dokter banyak macamnya ya. Sama saja dengan profesi lain. Banyak ragamnya.

Akhirnya aku mendatangi dokter kandungan yang dirujuk terapisku. Jauh benar lokasinya dari kediamanku di Tanah Abang. Dokter ini berpraktek di Serpong. Bedanya, ia laki-laki dan kenal terapisku. Jadinya aku tidak menjadikan suami sebagai "bemper" lagi.

Rupanya dokter yang ini pun memiliki pendapat tak jauh berbeda. Menurutnya, yang menjadi persoalan bukanlah lilitan tali pusat melainkan besarnya janin. Tali pusatnya tidak membelit leher, hanya melintang di dekat leher. Namun berat bayi sudah 3.400 gram. Aku kaget. Pasalnya, terakhir kali USG, berat bayiku 3.200 gram. Itu kulakukan hanya satu pekan sebelum ke Serpong. Cepat sekali ia bertambah besar hanya dalam kurun sepekan. Padahal aku sudah menghentikan minum sirop dan eskrim selama hampir dua pekan sebelum ke Serpong.

Dokter menyebutkan, dalam kondisi seperti ini, bisa jadi anakku pada kenyataannya sudah bermassa 3.600 gram. Kemungkinan pada saat lahir bisa mencapai 3.800 gram. Pasalnya, usia kandunganku belum genap 39 minggu ketika itu. Untuk genap 40 minggu (usia paling matang lahiran), aku harus menunggu sampai 31 Januari. Ia menyarankan aku untuk banyak jalan pagi dan senam hamil. Ia masih berharap aku bisa melahirkan dengan cara spontan. "KAmu masih ingin hamil kedua dan ketiga kan Rim?" tanyanya.

Sepulang dari Serpong, kudatangi terapisku. Memang ketika di Serpong pun, aku meneleponnya dan kubiarkan ia berbincang dengan dokter. Dokter hanya tertawa. Rupanya, ada dua kekhawatiran terapisku. Bayiku yang besar dan panggulku yang sempit untuk bayi sebesar itu. Setelah mendengarkan apa kata dokter, akhirnya ia pun menyetujuinya. Aku dan suami diminta menunggu sampai genap 40 minggu. Dalam masa penantian itu, aku diminta hal yang sama, banyak bergerak dan jalan pagi. "Insyaallah dia bisa turun ke jalan lahir", ujarnya.

Alhamdulillah kami pun melakukan apa yang diminta. Setiap pagi kami jalan-jalan di sekitar kediaman. Kurang lebih selama satu jam. Aku pun senam hamil satu sampai dua kali sehari. Aku juga suka jongkok dikala mandi dan mencuci. Tapi kalau sudah tidak tahan, uambil juga bangku kecil dan duduk. Kuupayakan juga memperlama sujud dan rukuk seperti yang dianjurkan ibuku. Mudah-mudahan upaya ini bisa membantu kelancaran kelahiran anakku kelak. Amin...

Allaahumma yatsir walaa tuatsiir. Ya Allaah, berikanlah kemudahan, jangan beri kesukaran. Aamiin... Kita usaha bersama ya, Nak...

Jumat, 15 Januari 2010

Ketika Harus Caesar

Kabar itu mengejutkanku. Tak pernah sebelumnya terbayangkan olehku untuk melahirkan melalui proses operasi caesar. Selama ini aku berharap, memohon, membayangkan hanya melahirkan secara normal. Seperti halnya yang dialami ibu saat melahirkan tiga putrinya dan kakakku ketika melahirkan keponakanku. Namun rupanya nasibku tak sama.

Hari Kamis aku kontrol ke terapisku. Biasanya memang aku memeriksakan kehamilan ke bidan dan terapisku, Pak Sobri. Aku bawakan hasil USG 4D. Sebelum melihatnya, ia sudah berkata, "Sepertinya harus caesar, Rim". Mendengar itu, aku bagai disambar geledek. Ketika memeriksaku, ia semakin mantap dengan ucapannya. Menurutnya, bayiku tak jua turun karena terhambat lilitan tali pusat di lehernya. Padahal posisinya sudah bagus, kepala sudah berada di jalan lahir.

Aku ceritakan padanya tentang hasil USG dan pembicaraanku dengan bidan. Dari hasil USG nampak bayiku terlilit tali pusat di lehernya (sama dengan apa yang dikatakan terapisku). Sementara bidan mengatakan, 90 persen kehamilan memang dalam kondisi bayi seperti itu. Hal itu tidak membahayakan kecuali jika tali pusat menghambat jalan lahir.

Terapisku membenarkannya. Dan kondisi kehamilanku memang seperti itu, jalan lahir terhambat tali pusat. Walaupun kepala bayi sudah di bawah, tapi ia terhambat sehingga enggan turun. Ia masih berada di atas. Menurut dia, aku jangan ambil risiko. Pasalnya menyangkut nyawa.

Dalam kondisi seperti ini, kata dia, aku tidak akan merasakan mulas-mulas sebagai tanda bukaan lahiran. Jika dibiarkan berlarut-larut, membahayakan. Ia sarankan untuk segera dilahirkan sebelum 25 Januari 2010. Sebelumnya, bidan juga menyatakan bayiku sudah matang untuk dilahirkan. Usianya sudah 38 minggu. Jadi, seandainya hendak di-caesar pun sudah diperbolehkan.

Berdasarkan hitungan bidan, bayiku lahir pada 30 Januari 2010. Jika sampai masa itu aku belum juga lahiran, akan diadakan USG ulang. Hal ini tidak dianjurkan terapisku. Menurut dia, risikonya terlalu tinggi jika harus menanti sampai 30 Januari.

Kedua kabar ini, dari bidan dan terapis, kusampaikan pada suami. Akhirnya kami sepakat melakukan caesar. Kami enggan mengambil risiko tinggi menyangkut nyawa. Tapi kami belum menentukan kapan dan di mana akan melakukannya. Besok rencananya baru kami akan ke rumah sakit untuk melihat perkembangaan dan kesediaan rumah sakit untuk caesar. Ya Allah mudahkanlah jalan kami...

USG 4D

Hari Senin kulakukan USG 4D. Mulanya hendak kulakukan Rabu di pekan sebelumnya. Saat itu aku mendatangi bidan untuk kontrol rutin bersama suamiku. Biasanya aku sendirian. Berhubung saat itu jadwalku USG dan kami ingin USG 4D, maka suamiku ikut. Tapi rupanya lain rencana lain pula ceritanya.

Aku tidak tahu jika USG 4D punya jadwal tersendiri. RSIA Budi Kemuliaan tempatku memeriksakan kehamilan hanya menyediakan waktu tiga hari dalam sepekan untuk USG 4D, yaitu Senin, Rabu, dan Jumat. Itupun tidak sepanjang hari, hanya dimulai pukul 15.00. Jadilah kami batal melakukan USG 4D saat itu. Pasalnya suamiku tidak bisa mendampingi jika harus sore hari. Di jam-jam seperti itu, ia justru sibuk mengejar dateline. Padahal rencananya, ia ingin merekam proses pengambilan gambar USG. Maklum kehamilan anak pertama, jadinya agak norak. Hehe... Jadi meskipun ketika itu hari Rabu, kamipun pulang. Eh salah, aku saja yang pulang, dia sih langsung ke tempat kerja.

Kami sepakat mencari tempat lain yang memungkinkan dapat mengambil gambar USG 4D di pagi atau siang hari. Di rumah, akupun mencari info lewat 108 (hihi..jadi kayak promosi Telkom). Beberapa nama laboratorium kudapat. Hanya satu yang memiliki fasilitas USG 4D. Tapi lagi-lagi jadwalnya sore hari. USG 4D pagi hari hanya hari Senin dan Selasa. "Telepon dulu kami satu hari sebelum USG untuk appointment ya, Bu", kata bagian informasi sebuah laboratorium swasta ternama (dari suaranya sih terdengar jelas laki-laki).

Setelah sepakat dengan suami untuk USG 4D di laboratorium tersebut ari Senin, maka aku menelepon di hari Jumat. Pikirku, laboratorium beroperasi dari Senin sampai Jumat. Ini kusimpulkan dari jadwal USG yang diberikannya saat aku menelepon sebelumnya. Ketika itu bagian informasi mengatakan, jadwal USG 4D di laoratorium ternama itu pagi hari pukul 08.00 untuk hari Senin dan Selasa. Sementara hari Rabu, Kamis, dan Sabtu dibuka sore hari pukul 15.00. Jadinya kupikir untuk dijadwalkan appointment hari Senin, aku harus mengonfirmasi hari Jumat.

Tapi ternyata jauh panggang dari api. Bagian informasi laboratorium yang sama mengungkapkan hal berbeda ketika aku menelepon dengan tujuan membuat appointment. (Kali ini suaranya sangat jelas perempuan). Ia bilang, USG 4D hanya bisa dilakukan hari Sabtu dengan waktu yang tidak ditentukan. Calon pasien akan diberitahukan melalui telepon jika sudah ada kepastian waktu pengambilan gambar.

Tadinya kupikir tak apalah jika Sabtu ini laboratorium itu akan melakukan USG 4D. Tapi rupanya, dokternya tidak bisa. Ia baru dapat melayani satu pekan lagi. Wah kacau. Walaupun demikian, aku tetap memberikan nomor telepon selularku sebagai jaga-jaga jika memang harus USG 4D di tempat itu.

Kemudian aku berpikir untuk melakukan USG 4D di rumah sakit lain. Kutelepon rumah sakit-rumah sakit yang berada di sekitar kediamanku. Hanya ada satu rumah sakit besar yang membuka USG 4D setiap hari. Tapi aku harus menjadi salah satu dokter obgyn di sana untuk bisa melakukan USG 4D. Pasien luar rumah sakit tidak bisa begitu saja melakukan USG. Duh kok riebet banget ya. Soalnya setahuku, di RSIA BUdi Kemuliaan, USG bisa dilakukan kepada siapa saja, baik itu pasien RSIA Budi Kemuliaan maupun bukan. Semua perlakuannya sama. Tak perlu ada rekomendasi dari siapapun. Apalagi sampai ada syarat harus menjadi pasien dokter obgyn tertentu untuk bisa USG 4D.

Melihat kondisi seperti ini, akhirnya aku dan suami berkeputusan melakukan USG 4D di RSIA Budi Kemuliaan hari Senin. Dengan berat hati, suamiku tak mendampingi. padahal ia ingin sekali merekamnya. Tak apalah. Toh ada foto yang bisa dilihatnya kelak.

Suamiku senang dengan hasil USG 4D. Begitupun aku. Anak kami tampak sehat, montok, alhamdulillah organ tubuhnya lengkap. Dari tiga foto yang dicetak, satu dia antaranya menunjukkan wajahnya. Lucu sekali. Salah satu jempol tangannya berada di pipi kirinya. Sudah bergaya saja dia.

Untuk memperoleh tampilan wajah itu, susah payah sang sonografer memotretnya. Berkali-kali anak kami menutup wajahnya setiap kali hendak dipotret. Bukan hanya menutupinya dengan tangan tapi juga dengan kaki! Salto barangkali dia. Sampai-sampai sonografernya memohon. "Ayo dong Dek,sebentar saja. Biar bisa kelihatan mukanya".

Entah karena permohonan tersebut atau bukan, tak lama ia pun memperlihatkan wajahnya plus jempol yang ditempelkan di pipi. Seolah-olah ia berkata, "Oke deh". Kesempatan itu tak disia-siakan sonografer. Ia pun segera memotret dan mencetaknya.

Ah anakku, sudah bisa bercanda kamu. Seperti apa ya kelak dirimu saat lahir? Apakah benar beratmu 3,2 kilogram seperti yang terekam dalam USG? Ataukah mungkin lebih besar lagi? Soalnya waktu kontrol rutin ke bidan dua hari setelah USG, bidan mengatakan persentase melesetnya ukuran bayi bisa sampai 10 persen. Jadi ada kemungkinan anakku sebenarnya sudah 3,4 kilogram. Besar juga ya, mengingat aku saat dilahirkan ibuku dulu hanya 2,9 kilogram.

Bagaimana pun kami kini tengah menghitung hari. Insyaalah keluarga kami akan bertambah anggota. Kami nanti engkau, anakku... We love you already :)

Minggu, 10 Januari 2010

Belanja Perlengkapan Bayi

Setelah tertunda beberapa kali, akhirnya jadi juga aku belanja perlengkapan bayi. Tak dinyana, harganya lumayan juga, ya! Tadinya kupikir baju-baju mungil itu punya harga yang mungil juga. Ternyata eh ternyata... Hehe...

Tapi tak apa. Ada harga memang ada rupa. Aku tak mau membelikan anakku pakaian yang kualitasnya diragukan. Bukankah hal-hal yang meragukan harus ditinggalkan? Hehe...

Senin lalu adalah kali pertama aku berbelanja perlengkapan bayi. Aku bukanlah pembeli tipe pencari ke sana kemari. Jadi begitu menemukan toko yang menurutku barangnya cocok dengan yang kumau di Blok A Tanah Abang (bukan iklan lo), kubeli saja semua kebutuhanku di situ. Tapi rupanya budget yang kubawa tak cukup membeli semua kebutuhanku. Alhasil aku hanya membawa pulang satu lusin bedongan, dua lusin popok, satu lusin pakaian bayi, satu lusin celana panjang, satu lusin gurita bayi, dan satu potong pakaian menyusui.

Maka pulanglah aku ke rumah. Namun saat menuruni tangga Blok F Tanah Abang untuk memotong jalan pulang, lutut kiriku keseleo. Aku tak bisa berjalan karena rasanya sakit sekali. Anehnya, terasa seperti terbentur benda keras. Padahal sama sekali aku tak terbentur apapun. Langkahku pun pelan-pelan saja sambil berpegangan pada pegangan tangga.

Alhamdulillah ada seorang ibu pemilik kios pakaian yang mempersilakan aku beristirahat di tokonya. Ia bilang, aku bisa selonjoran di sana. Sekitar 15-20 menit aku berselonjor sambil mengoleskan minyak angin ke bagian lututku yang sakit. Jujur saja ingin sekali aku berteriak karena rasanya yang sakit. Tapi malu. Hehe...

Begitu sudah agak enakan, akupun pulang. Di rumah aku minta maaf pada suamiku. Sebelumnya dia sudah menyuruhku minta ditemani saat akan ke pasar. Entah itu oleh kakak iparku maupun istri kakak iparku. Mereka berdua tergolong menguasai medan Pasar Tanah Abang. Tapi ketika itu aku ngotot pergi sendiri. Kupikir belanjaanku toh tidak banyak ini. Inilah barangkali balasannya istri yang tidak mendengarkan permintaan suami. Jadi malu.

Akhirnya begitu hari JUmat, aku minta ditemani kakak iparku berbelanja kembali. Alhamdulillah dia bersedia. Ia hanya mengajakku berbelanja perlengkapan bayi di lantai dasar Blok F Tanah Abang. Menurutnya, aku tidak perlu bersusah payah menaiki tangga. Apalagi lututku masih ngilu walaupun sudah diurut. Tapi kami juga ke lantai tiga sih, untuk membeli perlengkapanku saat di rumah sakit dan menyusui kelak.

Dengan budget dua kali lipat dari sebelumnya, kudapatkan banyak barang. Memang di Blok F lebih murah dari Blok A (bukan promosi lo). Kudapatkan satu buah tas, satu gendongan, dua buah topi bayi, dua buah washlap, sepasang sepatu, sebuah perlak, enam pasang sarung kaki dan tangan, sepasang pakaian, selusin popok bayi, selusin baju bayi, selusin celana pop, selusin celana pendek bayi, sebuah jaket, serta enam pasang kaos kaki. Sedangkan untukku empat buah pakaian panjang bukaan depan, lima buah kerudung, dan enam celana dalam mudah cuci.

Perlengkapan anakku sih rasanya sudah cukup. Apalagi ibuku dari Bandung sudah memaketkan dua buah selimut, dua buah handuk, selusin bedongan, dan dua buah kain gendongan. Tapi begitu sampai rumah, eh ada saja yang belum kami beli. Misalnya gurita wanita dewasa, maternal bra, jemuran dan kasur bayi. Wah masih harus belanja lagi nih kayaknya. Hehe...

Tapi tugasku juga belum selesai. Aku masih harus mencuci semuanya. Kalau paket dari Bandung dan belanjaan pertamaku sih sudah kucuci dan kusetrika. Sudah kubungkus lagi dalam plastik. Maklum belum beli lemari untuk pakaian bayi yang ternyata banyak juga ya jumlahnya. Tak muat dalam lemari pakaian kami. Di rumah ini, mencuci bergiliran. Ya, maklum saja massanya banyak. Sebenarnya hari ini giliranku mencuci. Tapi karena sudah dua hari terakhir ini tak ada panas matahari, jadinya jemuran masih penuh. Hm... Sabar... Sabar...

Sabtu, 02 Januari 2010

Waktu Lahiran

Saat ini waktu sudah memasuki bulan Januari. Bulan di mana aku diprediksi akan melahirkan. Insyaallaah..

Rabu dua pekan lalu aku memeriksakan diri ke bidan dan terapis. Bidan seperti biasa mengatakan aku dan bayi dalam kandunganku baik-baik saja. Alhamdulillah. Aku diminta datang kembali pada tanggal 6 Januari. Aku dijadwalkan melakukan USG untuk melihat kondisi teranyar kandunganku.

Begitu juga dengan terapisku. Ia mengatakan kami berdua baik-baik saja. Tapi aku terkejut saat diberitahu jika masa kelahiran anakku kemungkinan maju. Tak tanggung-tanggung, sekitar dua pekan. Terus terang aku panik. Berarti pertengahan bulan ini aku diperkirakan sudah melahirkan anak pertamaku. Amin, insyaallah, alhamdulillah...

Ketika itu ia bertanya, "Diperkirakan kapan Rim, lahirannya?" Aku jawab, "USG terakhir sih bilangnya akhir Januari setelah tanggal 25". Kemudian ia memeriksa kaki dan perutku. "Kalau dilihat sih sepertinya nggak sampai tanggal segitu", katanya. Kupikir ia akan menyebutkan angka yang tidak terlalu jauh, ya sekitar 20 ke atas lah. Rupanya aku salah. "Kapan dong Pak lahirannya?" tanyaku. "Siap-siap saja mulai tanggal 10 sampai 15" jawabnya.

Tuing tuing tuing kepalaku serasa berputar... Tapi kupikir-pikir lagi, kemungkinan itu memang ada. Toh aku belum melakukan USG terbaru. USG terakhir yang kulakukan sekitar dua bulan lalu. Jadi kemungkinan apapun bisa terjadi kan?

Tanpa sengaja, aku bertanya soal senam hamil yang baru kuikuti. Terapisku bertanya, "Kamu senam hamil? Pantesan". Aku bertanya, "Kenapa Pak?" Jawabnya, "Iya, pantesan jadi maju tanggalnya". "Jadi saya harus berhenti senam?" "Oh jangan, itu bagus. Lanjutin aja senamnya."

Kupikir-pikir, betul juga. Senam hamil lumayan bikin badan banyak bergerak. Tapi tentunya jauh dari heboh dibandingkan senam aerobik. Senam ini lebih terpusat pada pernafasan, melemaskan otot-otot yang tegang, dan persiapan lahiran. Jadi memang mungkin saja jika senam hamil memengaruhi kondisi kehamilanku. Aku kan sungguh-sungguh melakukannya. Cie...

Jadi yang terpenting saat ini adalah persiapan kelahiran. Jika memang pertengahan bulan ini waktunya, aku sudah siap. Apalagi jika ternyata ditakdirkan akhir bulan. Harus jauh lebih siap. Hehe.. Bismillah.