Kamis, 29 Oktober 2009

USG Lagi


Rabu kemarin hari yang sibuk untukku. Hehe maklum jarang ke luar rumah. Pagi-pagi (untukku cukup pagi sekali jam 7 pagi itu) aku sudah mencuci. Pukul 10 aku sudah berangkat kontrol ke bidan di RSIA Budi Kemuliaan. Hari itu memang jadwal aku kontrol plus USG lantaran bulan lalu batal USG dengan alasan dokternya pulang (????)

Alhamdulillah antran tidak sepanjang biasanya. Malah cenderung sepi. Jadinya aku lebih cepat diperiksa. Begitu akan di-USG, seperti sebelum-sebelumnya, aku meminta hasil cetak USG. Jawabannya kali ini berbeda. "Kalau begitu, ibu ke lantai tiga saja. Di sana ibu bisa mendapatkan hasil cetakannya karena itu hak ibu. Kalau di sini milik kami makanya bayarannya murah".

Lucu juga soalnya bukan kali pertama aku memeriksakan diri di situ. Sejak Juni aku memeriksakan diri. Itu adalah kali ketiga aku USG di tempat yang sama. Saat pertama kali USG untuk memastikan kehamilan, aku tidak mendapatkannya karena keburu diprint hanya satu lembar dan aku tidak meminta sebelumnya. Makanya begitu aku minta, dibilang "Ibu, kenapa ibu nggak bilang dari awal, jadi kami bisa print-kan untuk ibu. Nanti lagi kalau mau hasil printout-nya, bilang di muka".

Maka begitu USG berikutnya untuk mengetahui detak jantung (lantaran melalui alat deteksi jantung bidan tak terdengar), aku meminta dimuka sebelum di-USG. Benar saja aku mendapatkan hasilnya. Tapi dimarahi bidan. Katanya "Ibu, ibu nggak boleh lagi seperti itu karena itu adalah hak kami. Lagian untuk apa sih hasil print out-nya?" Sempat aku juga emosi dan kukatakan saja apa adanya kalau itu sudah diberikan kepadaku sebagai hakku. Bidan pun diam dan hanya mencatatkan hasil USG. Dia hanya minta untuk aku selalu membawa hasil itu setiap kali kontrol lagi. Kuiyakan saja.

Nah kemarin aku USG. Karena ditolak dengan alasan murah dan hak rumah sakit, ya sudah aku mengalah. Aku memilih untuk USG di lantai atas dengan bayaran yang lebih mahal, nyaris dua kali lipat. Tak apalah.

Kali ini dokter yang melakukan USG mengatakan janinku satu, jenis kelamin disebutkan (hehe aku tak umumkan) dan berat 1 kg. Katanya untuk ukuran 27 minggu, berat 1kg itu normal minimal. Jadi aku diminta lebih giat makan. Hehe..

Lucunya, setiap kali sedang USG, aku bisa paham apa-apa yang ditunjukkan dokter karena memang jelas adanya. Ada kepala, tulang belakang, kaki, tangan, mata hidung, telinga, mulut (yang bergerak-gerak terus saat pengambilan gambar). Anakku aktif sekali sampai-sampai dokternya agak kesulitan menangkap wajahnya untuk diperlihatkan padaku. Bahkan saat menunjukkan jenis kelaminnya, berputar terus alat dokter yang berada di perutku (aku nggak tahu namanya). Alhamdulillah bayiku nampak sehat. Terima kasih ya Allah...

Nah, begitu diprint, aku bingung. Ini gambar apa ya? Gambar yang mana ya? Wah buta banget. Sampai-sampai bingung sendiri waktu memperlihatkannya ke suami dan orang-orang di rumah. Sebisanya saja aku terangkan.

Sepulang kontrol dari bidan, aku kontrol juga ke Pak Sobri. Memang jadwalku juga sih untuk ambil obat otak. Di sana, aku dikejutkan lagi dengan diagnosa yang berbeda. Jenis kelaminnya beda dan jumlah janinnya tidak sama bahkan ukuran janin pun berbeda. Walah!!!

Memang kami berdua, aku dan suami, tidak ingin mempermasalahkannya. Kami terima saja apapun yang Allah berikan. Mau dua, mau satu, mau laki-laki, mau perempuan, mau gendut atau lebih gendut, semua sama saja. Yang penting sehat. Tapi tetap saja masih suka bertanya-tanya kalau menemukan perbedaan diagnosa seperti ini. Hehe...Kita lihat saja tanggal lahirnya ya...

BTW itu gambar bukan bayiku lo...tapi kira-kira seperti itulah gambaran anak usia 27 minggu.

Sabtu, 24 Oktober 2009

Getaran

Awalnya ga mau ge-er saat perutku menunjukkan gejala pergerakan bayi. Tapi lama-lama ko ya makin sering. Jadinya bukan yakin lagi tapi mantap! Hehe..

Sudah sejak lama Pak Sobri, terapisku, mengatakan kalau bayi yang kukandung sangat lincah. Kata dia, bayiku aktif dan punya degup jantung yang baik. Sehat insyaallah. Tapi karena waktu itu baru berusia sekitar dua atau tiga bulan, aku malah bengong. Aktif? Ko kayanya biasa aja. Malah perutku kurasa belum membesar seperti layaknya orang hamil.

Sewaktu diperiksakan ke bidan pun aku tak yakin. Alat dengar degup jantung bayi menunjukkan kesulitan menangkap sinyal. Akupun diminta USG. Memang saat USG kulihat bulatan di layar yang bergerak-gerak. Senang sekali rasanya. Takjub dan bertanya dalam hati, ko bisa ya? :)

Barulah ketika memasuki bulan keempat mau kelima (aduh susah benar mengingat kapan pastinya) pergerakan di perut itu kurasakan. Kadang suka tertawa sendiri begitu bayiku bergerak. Rasanya seperti getaran mengagetkan karena terjadi tiba-tiba dan hanya sekilas saja. Belum bisa berbagi dengan suami karena getaran itu belum teraba dari luar. Jadinya ya senyum-senyum sendiri saja.

Nah begitu getaran itu makin menguat karena sering kali bukan berupa getaran tapi hentakan dan tendangan, aku bisa berbagi dengan suami. Jika suamiku ada di rumah, aku suka memberitahukannya jika bayiku bergerak. Tapi kalau pergerakannya sangat aktif dan tergolong lama, aku memintanya memegang perutku agar ia juga merasakan apa yang kurasakan. Tak jarang jika bapaknya yang memegang perut, justru anakku lebih aktif. Ia lebih intens bergerak. Barangkali kangen sama bapaknya karena kalau siang hari tentunya dia kerja.

Takjub itu kian bertambah. Ko bisa ya? Duh senang sekali rasanya. Kalau selama ini hanya tahu dari cerita keluarga dan teman-teman, kali ini aku merasakannya sendiri. Kalau selama ini hanya bisa memegang perut kawan yang hamil, sekarang bisa pegang perut sendiri. Terus menerus :)

Alhamdulillah kami diberi kesempatan untuk mengawali menjadi orang tua. Terima kasih Allah. Berikan kami kekuatan, kelapangan ilmu, kelapangan hati, kesabaran yang tak berbatas untuk dapat mempersiapkan generasi-genarasi yang mencintai-MU dan Engkau pun mencintai mereka. Insyaallah mereka masuk ke dalam golongan manusia beruntung. Amin.. My children, i miss you all already :)

Rabu, 14 Oktober 2009

Fahrenheit di Film dan di Duniaku


Fahrenheit 9/11, film dokumenter karya sutradara Michael Moore memang sudah lama dibuat. Hanya saja aku baru menontonnya tadi. Itupun bukan beli filmnya tapi kutonton melalui Star Movie :D.

Aku tak ingin membicarakan tentang isi film tesebut. Pastinya sudah banyak yang meresensi, membahas, membicarakannya, mengkritiknya, memujinya, mendiskusikannya atau apalah. Film itu adalah buah kecintaan seorang Michael Moore dengan negaranya.

Aku hanya akan mengambil sedikit saja bagian dari film tersebut. Tepatnya menjelang film berakhir. Ketika itu Michael Moore dan empat orang relawan penyelamat korban Tragedi 9/11 berada di Kuba. Tak perlu lah aku bahas pelayanan kesehatan di Inggris, Perancis dan Kanada yang juga dikupas Michael Moore dalam film ini. Mereka negara kaya yang sudah sepantasnya memanjakan warganya. Tapi lain halnya dengan Kuba. Sebuah negara kecil yang menjadi musuh abadi Amerika Serikat.

Benar sekali ilustrasi Michael Moore dalam film tersebut. Masyarakat AS (tentunya Indonesia juga dan sebagian besar negara lainnya dunia yang punya ketergantungan sama AS) selama ini dijejali dengan “fakta” bahwa Kuba dalah negara komunis, sadis, tak berprikemanusiaan, jahat, dan propaganda negatif lainnya. Tapi Michael Moore dan empat kawannya mendapatkan “fakta” lainnya.

Aku lupa nama-nama empat kawan Michael Moore. Sebut saja A, wanita keturunan Amerika Latin yang menderita saluran pernafasan. Dia selalu batuk berkepanjangan semenjak menyelamatkan korban Tragedi 9/11. Dokter menyebutkan ia harus selalu menggunakan inhaler yang ia beli dua botol dalam sebulan.

Ada pula B, seorang wanita paruh baya yang harus mengonsumsi sembilan jenis obat untuk penyakit yang dideritanya semenjak tragedi 9/11. Saking merasa menderita, ia ”bersembunyi” di ruang bawah tanah rumah anaknya.

Kemudian C, pria muda nan gempal yang tak pernah tahu dirinya mengidap apa. Ia merasa sakit di seluruh badan, terutama pernafasan. Lalu D, pria paruh baya yang bagian belakang giginya hancur akibat seringnya ia menggemeretakkan giginya. Ini terjadi lantaran trauma tragedi 9/11. Ia juga punya masalah pernafasan. Dokter giginya menyebutkan angka fantastis untuk perawatan giginya tersebut. Ia tak sanggup membayarnya.

Ya, para relawan ini sebagian besar mengalami gangguan pernafasan. Mereka tersiksa dengan gangguan tersebut. Belum lagi jika harus memikirkan pengobatannya. Selain harus mondar-mandir ke rumah sakit, mereka juga harus membayar biaya perawatan. Si C saja sudah tak pernah lagi memeriksakan diri. Limit asuransi kesehatannya sudah habis. Jadinya, ia hanya mendapatkan perawatan selama dua tahun semenjak tragedi 9/11. Setelah itu, ya harus bayar sendiri. Angkanya bisa ribuan dolar AS.

Betapa empat relawan tersebut terharu dengan apa yang mereka peroleh di Kuba. Awalnya mereka ke Kuba untuk mendatangi Penjara Guantanamo yang disebut-sebut sebagai lahan AS. Namun lantaran tidak mendapat tanggapan, mereka mencoba memeriksakan diri di RS di Kuba.
Menakjubkan. Pertama Michael Moore memperlihatkan betapa mudahnya masyarakat Kuba mengakses apotek. Setiap blok perumahan memiliki satu apotek. Di dekat mereka tersedia klinik atau rumah sakit. Sehingga, masyarakat Kuba memiliki akses yang sangat mudah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Si A mencoba mendatangi salah satu apotek untuk membeli inhaler. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati harga satu botol berukuran sama dengan merek obat yang sama, ia hanya perlu mengeluarkan kocek 3,2 peso atau setara dengan 5 sen dolar AS. Sementara di negerinya sendiri, ia harus merogoh kantong hingga 120 dolar AS untuk satu botol.

Michael Moore tidak menyewa penerjemah karena si A bisa berkomunikasi dengan masyarakat Kuba. Begitu mengetahui harganya, si A langsung berlari ke lar apotek dan menangis. Ia berkata, “Suatu penghinaan jika kami harus membayar 120 dolar As untuk satu botol sementara di sini hanya 5 sen. Anda tahu, 120 dolar AS itu jumlah yang besar. Ingin rasanya membeli satu kopor untuk saya bawa pulang”.

Kemudian Michael Moore membawa mereka ke Havana Hospital. Ia meminta paramedik memberikan perawatan yang sama terhadap empat kawannya seperti halnya warga Kuba lainnya.

Keterkejutan dirasakan sejak awal masuk RS. Mereka hanya diminta menyebutkan nama dan tanggal lahir sebagai data pasien. Tak dilihat warga manakah mereka. Tak juga ditanya apakah akan membayar tunai atau melalui asuransi, atau kartu jaminan social.

Dokternya pun langsung memeriksa mereka tanpa pandang apapun. Bahkan si C harus melalui tahap pemeriksaan dengan menggunakan peralatan yang rumit. Ia diperiksa paru-paru, darah, urine, kepala, dan entah apalagi. Begitu juga si D. Giginya diperiksa menyeluruh. Ia juga diharuskan roentgen. Dan semuanya GRATIS, dibayarkan oleh pemerintah Kuba. Bahkan mereka diberi resep dan pengobatan rawat jalan.

Dua relawan wanita hampir tak percaya. Mereka menangis dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Paramedik yang merawat mereka justru merasa aneh. Katanya, ”Tidak perlu berterima kasih. Hanya itu yang bisa kami lakukan”.

Menakjubkan. Hubungan buruk AS-Kuba yang sudah bertahun-tahun berlangsung tak menyebabkan warga Kuba, terutama tenaga medisnya menyimpan dendam yang sama. Mereka sudah bersumpah untuk merawat siapapun atas dasar prikemanusiaan. Dan itu dipraktekkan di negara yang katanya dikenal bengis dan sadis, bukan negara demokratis seperti AS.

Salah satu dokter Kuba tersebut mengatakan, ”Kuba adalah negara kecil dan miskin tapi kami mampu merawat warga. Seharusnya negara besar yang memiliki kekayaan melimpah bisa berbuat lebih. Kami bisa, kenapa kalian tidak?”

Betul juga. Mereka bisa, kenapa kita tidak? Aku merujuk kata ”kita” bukan pada AS tapi kita, Indonesia. Komitmen dan hati yang berprikemanusiaan adalah kunci untuk mampu melaksanakannya.

Merujuk sebuah tontonan ficer tentang penyelam di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu di televisi lokal membuatku miris. Sangat bertolak belakang dengan apa yang diperoleh warga Kuba dalam hal pelayanan kesehatan.

Penyelam Kepulauan Seribu melakukan aktivitasnya setiap hari tanpa perlengkapan menyelam standar. Mereka hanya mengenakan kaus lengan panjang, celana training, sepatu karet, dan kaca mata renang sebagai perlengkapan kerja. Terkadang mereka menggunakan kompresor jika hendak menyelam ke perairan yang lebih dalam.

Seorang ahli kesehatan menyebutkan, para penyelam ini menghadapi masa depan yang suram. Mereka dihantui dengan kelumpuhan tubuh jika kegiatannya dilakukan terus-menerus. Pasalnya mereka menderita waduh lupa apa namanya tapi yang jelas itu diakibatkan perubahan tekanan yang ekstrim dialami tubuh sejak di dalam air menuju daratan. Tentunya dikarenakan peralatan yang apa adanya.

Benar saja. Dalam tontonan tersebut diperlihatkan seorang lelaki yang sudah 12 tahun menjadi penyelam. Kini ia tak lagi dapat berjalan secara normal. Salah satu kakinya lumpuh. Ia pun sudah tak bisa menjadi penyelam dalam kondisi seperti itu. Padahal usianya baru di awal 30-an. Usia produktif manusia.

Mirisnya, mereka tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai. Boro-boro memeriksakan diri secara keseluruhan alias check-up, untuk mengatasi sesak nafas yang sudah mulai menjangkiti mereka pun pengobatan dilakukan secara tradisional. Menggunakan resep orang tua saja agar hidung berasa lancar menghirup oksigen tanpa hambatan.

Satu-satunya lembaga layanan kesehatan yang adalah adalah Puskesmas. Anda yang berasal dari Jakarta, jangan samakan Puskesmas mereka dengan Puskesmas kecamatan yang ada di daerah Anda. Puskesmas tersebut benar-benar seadanya. Salah satu tenaga medisnya bahkan mengatakan, ”Kami tidak mungkin meminta mereka berhenti menyelam karena itu adalah mata pencaharian mereka. Kami hanya bisa meminta mereka menggunakan teknik menyelam yang lebih aman”.

Ya, itulah faktanya. Layanan kesehatan masih harus bergulat dengan urusan perut, sekolah anak, kontrakan rumah. Otomatis layanan kesehatan tidak berada dalam kolom ”prioritas” dalam pos pengeluaran keluarga. Jangankan kontrol kesehatan, sudah sakit pun kalau masih bisa disembuhkan dengan mengoleskan balsam dan minum teh hangat, tak perlu lah ke Puskesmas, apalagi rumah sakit. Tidak ada dana alokasi khusus untuk itu. Tidak pernah masuk dalam rencana keuangan.

Dengan jumlah 250 juta jiwa warga Indonesia, masa iya sih kita tidak bisa sebaik Kuba dalam melayani warga? Negara kita lebih besar, jumlah orang kaya pun tidak sedikit. Pajak dari mereka kan memang seharusnya diputar Dan benar saja jarang sekali golongan orang miskin mendapatkan layanan yang baik, yang mereka butuhkan.dan dinikmati seluruh masyarakat? Mengapa tidak masuk alokasi layanan kesehatan?

Yang ada masyarakat malah dibuat susah. Kasarnya, kalau ada uang dilayani, kalau tidak ada silakan antre menunggu kapan bisa dilayani. Benar saja, orang miskin semakin sakit saja. Untuk mendapatkan layanan kesehatan yang baik mereka harus memiliki kartu gakin. Pengurusannya tidak bisa segera. Antreannya panjang karena hanya disediakan satu loket. Pengobatannya gratis tapi obatnya tidak selalu gratis. Jadinya tidak pernah tuntas. Itupun hanya untuk golongan penyakit umum seperti diare, pilek, batuk, demam, dll. Kalau masuknya golongan penyakit berat, layaknya HIV, kanker, tumor, wah jangan harap bisa gratis deh.

Rabu, 07 Oktober 2009

Jelang Hobi


Bagaimana sih memulai usaha? Rasanya ingin memiliki usaha sendiri. Kata orang-orang yang sudah sukses, niat adalah hal utama. Kemudian menentukan bisnis yang akan digeluti. Katanya lagi, jangan terpaku dengan apa yang sedang tren melainkan apa yang kita sukai. Nah ada satu hal yang saat ini sedang saya sukai tapi justru belum pernah saya lakukan. Bingung kan?

Sekarang ini saya sedang senang dengan menjahit, mengaplikasi, menyulam, membuat patchwork. Kalau soal mengumpulkan informasi bagaimana melakukannya, sudah saya lakukan. Tapi kalau soal memulai kesenangan saya itu, belum. Entah apa yang membuat saya enggan memulai. Barangkali rasa tidak percaya diri dan malas. Hehe..

Sewaktu SD, saya senang sekali mengerjakan kruistik. Bahkan saat mengisi waktu menjelang buka puasa, saya senang melakukannya. Tapi sayang, saya tidak gemar menyimpan benda-benda berharga. Jadinya hasil karya saya itu entah berada di mana sekarang. Bahkan buku-buku model kruistik yang saya punyai beberapa jilid lenyap begitu saja.

Kalau soal menjahit, bisa dibilang ”bisa nggak bisa.”. Sekadar menisik, membuat som, menjahit jelujur, tikam jejak, dan biku sih biasa ya. Kalau ada pakaian yang robek dan perlu ditisik, sering saya lakukan. Apalagi kalau memasang kancing. Mudah kan? Tapi kalau menjahit dalam artian membuat pakaian secara utuh, wah belum pernah saya lakukan lagi semenjak SMP.

Waktu saya duduk di bangku SMP, selama tiga tahun saya masuk ke kelas minat tata busana. Pernah kami diminta membuat sepasang piyama, rok sekolah, dan busana anak balita. Untuk piayama, saya melakukannya dengan tangan! Ya, saya belum bisa menggunakan mesin jahit dan kebetulan mesin jahit di rumah ketika itu sering macet jadi capek kalau saya harus mengengkolnya agar bisa berputar satu sampai tiga putaran saja. Karena tidak sabar, saya memilih untuk menjahitnya dengan tangan. Hasilnya tidak mengecewakan, cukup rapi.

Kalau membuat rok sekolah, saya lupa bagaimana prosesnya yang jelas rok itu selesai. Sementara pakaian balita, saya mendapatkan bantuan seorang kawan. Saya memilih pakaian baby doll yang ada kerutan di bagian dada. Karena kesulitan, teman saya yang memang jago menjahit membantu saya. (Terima kasih Lia, where are you now?) Ketika itu Lia memiliki seorang ibu yang memang berprofesi sebagai penjahit. Otomatis mesin jahit yang dimiliki lebih komplet fasilitasnya ketimbang mesin jahit ibu saya di rumah, apalagi mesin jahit di sekolah yang tua. Jadilah kerutan manis berhasil disematkan pada baby doll saya.

Setelah sekian lama (saya lulus SMP tahuan 1996), keinginan untuk menjahit hadir kembali. Entah dari mana asalnya. Saya mulai mencari informasi tentang mesin jahit. Rupanya harga mesin jahit mahal ya, sampai-sampai saya tidak tega memintanya pada suami. Saya juga mencari informasi tentang lembaga kursus menjahit yang sekiranya dekat dengan tempat saya tinggal. Tapi suami saya menertawakan. Mungkin dia bingung, masa iya istrinya yang ceroboh ini berminat dengan jahit-menjahit yang memerlukan ketelitian.

Pernah satu hari saya membeli mesin jahit tangan. Besarnya sama dengan hekter alias streples. Waktu itu saya membelinya dengan harga Rp 10.000. Saya membelinya pada penjual keliling yang beredar di dalam bus-bus kota. Tapi rupanya saya dibohongi. Ada satu bagian dari mesin jahit tangan itu yang harus ditambahkan agar bisa mengikat benang. Karena ketika saya mencobanya di rumah, benang sama sekali tidak saling mengikat sehingga jahitan otomatis terlepas beitu benang ditarik sedikit saja. Saya baru mengetahui jika hendak membeli barang yang dijual penjaja keliling seperti itu, lebih baik meminta barang yang dijadikan contoh oleh si penjual. Biasanya, benda yang dijadikan contoh memang berfungsi dengan baik ketimbang barang jualan lainnya.

Beralih lagi ke jahit-menjahit, saya masih penasaran. Maka saya pun beralih mencari informasi tentang menyulam, terutama menyulam pita dan aplikasi serta patchwork yang (barangkali) lebih mudah karena tidak memerlukan mesin jahit.

Ternyata eh ternyata menyulam bukan pekerjaan mudah. Peralatannya pun lumayan banyak dan ribet. Ada seorang ibu pemilik butik pakaian sulaman yang menawarkan diri menjadi instruktur gratis asalkan membawa sendiri perlengkapan. Tapi begitu tahu tempat dia hendak ditemui, waduh mundur lagi deh. Bukan apa-apa, dari tempatku, itu jauh dan macet. Sementara kondisiku yang saat itu tengah hamil muda yang sering sekali mual-mual dan muntah, tidak memungkinkan. Tapi aku tetap menyimpan nama ibu tersebut. Barangkali jika ada kesempatan dan kemauan, aku akan menghubunginya kembali.

Sementara untuk aplikasi dan patchwork, wah senang sekali melihatnya. Ini pun rupanya membutuhkan ketelitian yang baik dan ada alatnya juga ya supaya hasilnya rapi dan enak dilihat.

Ada satu jenis keterampilan yang juga menggugahku, yaitu jahit schmok. Aku tak tahu bagaimana menulisnya dengan tepat. Tapi seperti itulah yang kudengar. Aku pernah satu kali menyaksikan pembuatannya di televisi. Rumit tapi indah hasilnya. Sayangnya si pembawa acara tidak menyebutkan di mana tempat si pengrajin tersebut. Padahal kan siapa tahu dia bisa buka kursus gratisan seperti ibu pengrajin sulaman itu. Hehe..

Jadi saat ini langkahku baru sampai pada tahap mengumpulkan informasi. Selanjutnya bagaimana dan kapan akan maju lebih jauh, aku tak tahu. Hanya saja keinginan untuk bisa menjahit memang masih ada dalam hati. Apalagi semenjak diprediksi aku insyaallah akan memiliki anak perempuan, rasanya keinginan itu agak lebih kuat. Aku suka membayangkan bisa membuatkan anak-anakku pakaian cantik yang tidak akan dijumpai oleh siapapun di toko manapun. Mereka dengan bangga mengatakan, ”Ini baju bikinan ibuku”. Hehe... Ngarep...

Aku juga pernah berangan-angan memiliki usaha di bidang jahit-menjahit. Entah itu berupa toko, butik, atau tempat kursus. Hm..mimpi yang ingin sekali rasanya diwujudkan. Wish me luck!

Minggu, 04 Oktober 2009

Pantangan dan Kebahagiaan


Sejak Februari lalu aku berobat kepada seorang herbalis. Pak Sobri namanya. Pengobatan yang kulakukan berkenaan dengan keinginan aku dan suami untuk memiliki keturunan. Kami sudah menikah sejak Maret 2007 namun hingga saat itu belum juga ada tanda-tanda kehamilan pada diriku.

Alhamdulillah pada bulan Mei aku dinyatakan positif hamil. Bukan hanya oleh Pak Sobri tapi juga testpack dan bidan. Sejak saat itu aku mengalami hal yang berbeda. Berbadan dua (ada kemungkinan berbadan tiga).

Pada tulisan-tulisanku yang lalu sudah beberapa kali kupaparkan alasan kami memilih pengobatan alternatif. Jadi kali ini aku tidak akan memaparkannya, hanya menyinggungnya saja.

Dalam menjalankan pengobatan, kami (aku dan suami) mendapatkan pantangan makanan. Tentu saja pantanganku jauh lebih banyak ketimbang suami. Pantangan yang sampai saat ini harus aku jalani di antaranya adalah cuka, asam kandis, seafood, daging bakar, cokelat, daun pepaya, mangga muda. Sementara yang sudah boleh aku konsumsi adalah kacang mede, eskrim (non cokelat tentu saja), mangga dan pepaya matang, kerupuk. Tapi ada tambahan pantangan semenjak aku positif hamil yaitu melon, sawo, duren, tape, salak, buah atep, nata de coco, air kelapa (boleh dikonsumsi menjelang lahiran). Sedangan pantangan untuk suamiku sudah lepas semenjak aku berhasil dibuahi.

Ada berbagai komentar tetang jalan yang kami lakukan ini. Orang tua kami sudah jelas mendukung. Kami diminta bersabar. Bahkan ibuku ketika kemarin pulang ke Bandung dan memasakkanku ayur lodeh, beliau meminta maaf setelah mengetahui jika cabai hijau ikut dimasukkan ke dalam sayur. Ya mau bagaimana lagi? Sudah masuk perut ya sudahlah tapi aku diminta Pak Sobri untuk kembali berhati-hati.

Namun tak jarang ada juga komentar yang pedas, tak menyenangkan, dan jujur saja membuatku sakit hati. "Ngapain sih pakai dipantang-pantang begitu? Ibu hamil kan perlu nutrisi" "Waduh hamil kok harus mantang-mantang makanan. Kasihan kan anaknya. Tar ngiler gimana" Bahkan ada yang menurutku lebih menyakitkan "Hamil kok nggak bahagia gitu sih? Makan aja serba nggak boleh. Aku waktu hamil makan apa saja tapi anakku baik-baik aja"

Mulanya semua aku ambil pusing, kuambil sedih, kujadikan bayang-bayang dalam setiap kesempatan. Aku malah jadi sedih sendiri. Aau merasa sudah menyusahkan diri sendiri dan calon anak-anakku. Tapi kemudian aku berpikir ulang. Aku salah.

Alhamdulillah jika Allah memberikan karunia keturunan pada mereka-mereka yang berbicara seperti itu dalam waktu yang cepat sehingga tidak perlu mengalami penantian seperti aku dan suami. Alhamdulillah aku diberi kepercayaan oleh Allah untuk menjadi ibu dan suamiku menjadi bapak dengan melalui penantian ini.

Kesabaran kami tengah diuji. Dua tahun menanti alhamdulillah aku mendapati diri memiiki gejala kehamilan. Hasil USG pun menyatakan aku positif mengandung anak kami. Kesabaran kami juga diuji dengan pantangan makanan. Kupikir pantangan tersebut tak salah. Semuanya ada alasan ilmiahnya. Intinya, demi kebaikan ibu dan anak yang dikandungnya. Barangkali saat ini belum nampak karena anak kami masih berada di dalam kandungan. Tapi kelak kami akan melihat hasilnya. Hasil memantang makanan.

Jika dipikir dengan pikiran terbuka, memantang makanan artinya memilih makanan. Memilih asupan kepada calon anak artinya memilihkan apa yang terbaik bagi mereka, bukan apa yang dirasa enak di mulut. Toh memantang makanan itu juga berarti memilihkan nutrisi yang tepat bagi anak-anakku. Mereka tidak dibiarkan memakan makanan sekehendak hati sejak dini.

Dengan memantang makanan, aku jadi belajar sabar dan menahan diri. Aku tidak biarkan emosi dan keegoisanku menguasai diri dengan memakan apa saja yang kumau. Jujur berat bagiku meninggalkan cokelat dan sayur asem kesukaanku. Tapi sejak Februari lalu aku sudah berhenti mengonsumsinya demi anak-anakku.

Kami berobat dan patuh pada pantangan. Insyaallah anak-anak kami sejak dini merasakan dan belajar tentang kepatuhan. Merasakan dan belajar tentang kesabaran. Merasakan dan belajar tentang memilih yang terbaik.

Jadi, apakah aku bahagia dengan segala pantangan yang harus kujalani selama pengobatan sampai kelahiran anak-anakku ini? YA! AKU BAHAGIA!