Sabtu, 07 Juni 2014

Menghargai Hasil Sendiri

Di hari terakhir pameran buku 1 Juni lalu, saya berkunjung ke Istora bersama suami dan Faiz, anak kami. Di sana, Faiz melukis kaos di stand Wisata Edukasi ditemani abahnya. Sementara saya berkeliaran mencari buku.

Faiz (4 tahun) memilih kaos bergambar Mickey Mouse. Karena sudah hari terakhir, kaos paling kecil yang tersedia berukuran M. Tak apalah yang penting dia senang. Karena sebenarnya, dia mau diajak ke pameran buku berharap bisa bermain perosotan, lompat balon, menempel di dinding ala Spiderman, dan naik kereta,-seperti yang dilakukannya ketika pameran buku di tempat yang sama dengan penyelenggara berbeda beberapa bulan sebelumnya.

Di rumah, Faiz juga sesekali bermain cat air. Kebiasaan dia adalah mencampurkan semua warna. Jadi, meskipun awalnya satu bentuk gambar diberi satu warna, pada akhirnya warna semua gambar akan serupa. Pasalnya ia campuradukkan warna-warna tersebut.

Begitu pula yang terjadi saat mewarnai kaos. Mickey Mouse pada akhirnya memiliki warna yang senada dengan gambar awan dan tanaman.

Ketika sedang mewarnai, abahnya bertanya, "Kenapa Mickey mukanya hijau?"
"Karena Faiz suka hijau."
"Kenapa awannya warnanya begitu?" (abu-abu)
"Karena sedang mendung, mau ujan."

Mewarnai Mickey berlangsung cepat lantaran empat warna yang diberikan -merah, kuning, hijau, biru- ia campurkan dan coretkan pada kaos. Maka ia meminta satu kaos lagi dengan gambar berbeda, Angry Bird. Lagi-lagi cat warna ia campurkan dan Angry Bird memiliki warna serupa Mickey Mouse. Yah sudahlah.

Sesampainya di rumah, Faiz ingin mengenakan kaos-kaos tersebut. Karena ia mudah gatal-gatal, maka saya menjanjikannya keesokan harinya agar kaos itu dicuci dahulu. Benar saja. Seperti ada alarm, esok harinya ia langsung menagih janji. Kaos Mickey Mouse ia kenakan dengan penuh percaya diri. Meskipun warnanya butek dan coretannya tidak rapi. Bahkan ukuran kaosnya sangat kebesaran. Saya menggulung lengannya dan melipat bagian bawah kaos. Begitu pun hari berikutnya giliran kaos Angry Bird. Dengan suka cita, ia bercerita dari mana kaos itu berasal dan siapa yang mewarnainya.

hm...keren! 
Menghargai diri sendiri ★★★


Jumat, 24 Januari 2014

Di Sini Banjirnya di Lantai Atas

Ada kejadian tak lazim saat bencana banjir melanda Jakarta kemarin. Jika biasanya air banjir meluap dari bawah ke atas, maka di rumah kami justru banjir terjadi di lantai atas saja. Catat, di lantai atas!

Ceritanya, satu malam suamiku pulang kerja. Saat itu sudah empat hari kita tidak terang-terangan. PLN mematikan arus listrik karena tetangga di sekitar kami, yang tinggal di daerah yang lebih rendah, sudah kebanjiran. Bervariasi, yang tertinggi merendam satu lantai rumah. Maka kamipun ikut terkena pemadaman. Suami yang hendak berganti pakaian mendekati lemari. "Lo, kok basah?" Separuh kamar kami tergenang air. Becek. Di luar hujan terdengar agak deras.

Maka pagi hari kasur kami yang berat itu saya berdirikan ke dinding kamar. Air yang menyerap perlahan turun. Saya juga menyetrikanya untuk mempercepat pengeringan. Di luar, langit tak bercahaya dan gerimis. Pengering rambut saya sudah tak memiliki panas yang kuat. Bukan pengering jadinya malah penghangat. Di bagian luar dinding dipasangi terpal. Kebetulan, tetangga di sebelah rumah sedang membangun rumah kos dua lantai. Mereka baru saja meratakan bangunan lama dan mulai membangun yang baru. Tepat di luar dinding kamar kami tak terdapat bangunan apa-apa. Alhamdulillah saya bisa mengeringkan dua kali, pagi dan sore saat genset dinyalakan untuk kurun dua sampai tiga jam.

Malam harinya saya baru mengeloni anak. Sekitar sepuluh sampai lima belas menit terdengar suara hujan sangat deras lalu berhenti. Tiba-tiba terdengar suara kakak ipar saya memanggil kakak ipar saya lainnya (kami hidup beramai-ramai dalam satu rumah). Di lantai bawah, di tempat penyimpanan helm yang persis di bawah tangga, terdapat aliran air dari atas. Diperkirakan air datang dari kamar mandi lantai atas yang bersebelahan dengan kamar tidur saya. Ternyata tidak. Air itu datang dari kamar saya. Air sudah semata kaki. Kasur kami yang memang tanpa ranjang itu kembali menyerap air. Lebih dahsyat dari sebelumnya.

Malam-malam kami kerja bakti. Saya ungsikan anak ke kamar kakak ipar. Kasur berat terpaksa diberdirikan lagi. Barang-barang yang memang tersimpan ala kadarnya (baca: berantakan di lantai)diangkut-angkuti ke luar kamar. Saya sibuk mengungsikan buku. Sebagian disimpan di bagian bawah lemari yang terbuat dari papan kayu buatan. Jadi kemungkinan rapuh atau menyerap air sangat besar. Alhamdulillah buku-buku itu aman.

Ternyata air datang dari pojok kamar yang berbatasan dengan tetangga. Air mengalir karena ada genangan di banguan sebelah dan mengalir ke kamar kami. Pasalnya ada lubang kecil yang timbul akibat proses merubuhkan bangunan. Belum lagi hujan angin yang semakin mempercepat rembesan dan aliran air dari luar ke dalam kamar.

Alhasil kembali saya mengeringkan kasur yang berat itu. Saya setrika lagi. Untungnya, listrik sudah menyala. Jadi saya bisa leluasa menyetrika kasur. Sampai saat ini matahari masih malu-malu bersembunyi di balik awan. Awan-awan senang bergerombol menutupi birunya langit. Angin masih setia menemani hujan.

Kamar kami perbaharui dari dalam. Kami cat ulang dengan menambahkan anti air di sisi yang bersebelahan dengan tetangga. Semoga tidak banjir lagi.

Apa rasanya enam hari tanpa listrik? Hm...silakan saja dibayangkan. Kami mengandalkan listrik untuk air bersih. Di rumah ini ada 15 jiwa. Sebesar apa kebutuhan kami akan listrik? Dan jika listrik tidak menyala maka... :)