Senin, 15 November 2010

jarang nge-blog

Sejatinya aku buat blog ini untuk membagi cerita tentang diriku yang mulai menjadi istri dan ibu. Bahkan aku menjadikan "ibu rima" sebagai nama di blog ini. Rencananya, blog ditulis rutin dan berisi warna-warni kehidupan sebagai seorang istri dan ibu.

Rencana tinggal rencana. Aku tak merutinkan penulisan. Semakin lama semakin jarang aku menulis blog. Alasannya? Hm... Tak adil juga cari-cari alasan. Awalnya karena aku tak punya mobile gadget untuk bisa menulis kapanpun aku mau. Begitu sudah punya pun tak lantas membuatku rajin menulis.

Aku tak mau mengambinghitamkan anakku. Tapi benar memang aku jadi tak berkesempatan menulis sejak anakku lahir. Aku fokus dengannya. Begitu banyak hal yang terjadi antara kami berdua. Begitu hendak kutuliskan, wah terlalu banyak. Yang ada malah ngantuk kecapean.

Ingin sekali menjadikan blog sebagai catatan perkembangan anak. Bisakah aku?

Selasa, 19 Oktober 2010

aku hanya mengenalmu

jangan kau sebut nama itu lagi
aku tak kenal siapa dia
aku hanya mengenalmu

Senin, 05 Juli 2010

Baru Kembali

Bingung nih baru kembali lagi buka blog...
Sebingung diri ini menghadapi masalah...
Ga nyangka aja kalau ternyata selama ini...
Hiks...
Dia sudah menghapusnya...
Tapi tak sepenuhnya menghapusnya...
Masih ada benang yang mengaitkannya...
Bukan satu...
Tapi banyak...
Mana?
Katanya mau dihapus semua apapun bentuknya...
Kalau begini ko ya rasanya percuma saja...
Hiks...Hiks...Hiks...

Jumat, 16 April 2010

Lahiran Pertama

Alhamdulillah aku sudah melahirkan. Kini aku benar-benar jadi Ibu Rima seperti namaku di blog ini ;). Luar biasa menakjubkan mendapati diri berubah status. Ada makhluk kecil yang keluar dari tubuh ini dan terus tumbuh berkembang.

Aku melahirkan pada 1 Februari 2010. Dokterku bilang, "Wah angka cantik nih Rim, 01022010". Saat itu aku tengah diperiksa dan pembukaannya tak bertambah setelah semalaman menginap di klinik. Aku hanya menjawab, "Wah boro-boro mikirin angka cantik, Dok. Pokoknya anak ini harus keluar hari ini". Maklum sudah 40 pekan. Aku khawatir jika terjadi apa-apa kalau tak segera dilahirkan. Apalagi hasil USG menyatakan anakku terlilit tali pusat dan lamban masuk ke jalan lahir.

Akhirnya dokter bertanya, "Kamu tetap mau caesar atau coba induksi? Kalau caesar, saya baru bisa malam nanti. Kalau induksi tunggu 8-12 jam sampai bukaannya sempurna".

Saat itu sekitar jam 11 siang. Kupikir kalaupun caesar, akan dilakukan malam hari. Ah, daripada menunggu malam tanpa melakukan aktivitas apapun, aku memilih induksi. Toh jika memang bisa melahirkan normal dengan induksi, tetap saja lahirnya malam. Paling tidak aku sudah berusaha melahirkan normal. Jika memang kelak harus caesar, setidaknya aku tidak penasaran.

Akhirnya aku disuruh makan dulu karena bidannya bilang, "Setelah induksi, ibu ga mungkin ingat makan". Saat itu aku berpikir, ah masa sih. Tapi aku menurut saja.

Sekitar pukul 12.30 aku disuntik induksi. Tabung berjalan itu kubawa ke mana pun kupergi. Aku diminta banyak berjalan. Boro-boro jalan. Setiap lima menit aku merasa mulas luar biasa. Karena itulah akupun dipakaikan pakaian pasien. Akupun harus mengosongkan usus supaya tidak ada kotoran yang keluar dari dubur saat mengedan.

Mulai pukul 14.30 rasa mulas menggila. Otakku tak bisa berpikir apapun selain meminta maaf dan ampun pada suami dan ibuku. Keduanya saat itu menemaniku di ruang bersalin. Alhamdulillah yang keluar dari mulutku kalimat-kalimat yang baik, bukan umpatan. Konon katanya ada yang suka menyebut-nyebut kata-kata tak pantas saat mulas.

Kurang lebih satu jam setengah dari mulas menggila itu, datanglah dokter anastesi. Dia datang terlambat karena macet di jalan. Dokter Panca namanya. Dia menyuntik bagian tubuh di sekitar tulang punggungku. Namanya suntik ILA atau lebih dikenal suntik anti sakit.

Benar saja. Begitu disuntik, aku langsung lemas dan tertidur. Aku baru bangun sekitar pukul 18.00. Kulihat hanya ibuku dan seorang bidan yang menemani. Suamiku rupanya tengah mencari penjual makanan dan membeli makan malam untuk ibuku yang sedari siang belum makan.

Akupun belajar mengedan. Rupanya suntik ILA tidak menyebabkan aku berhenti berkontraksi. Hanya tidak terasa. Beberapa kali aku belajar lantas bidan-bidan itu keluar ruangan. Tak lama datanglah dokter Okky, dokter kandunganku bersama dua orang bidan.

Setelah menyapa, dia berkata, "Oke, Rim. Kita lihat air ketubannya ya. Kalau keruh kita lanjut normal tapi kalau hijau, terpaksa kamu ta caesar". Terus terang aku kesal mendengarnya. Setelah melawan mulas yang tiada terkira, masa iya akhirnya aku harus caesar juga? Tapi itu semua langsung hilang saat ketubanku dipecahkan. Air ketubanku berwarna keruh, bukan hijau. Maka akupun diupayakan melahirkan normal. Alhamdulillah..

Allah memang Maha Pengasih dan Penyayang. Ia juga Maha Pengabul Doa. Tidak lama, hanya sekitar lima kali mengedan anakku lahir dari rahimku. Tali pusatnya melingkari leher dua kali. Anakku normal, laki-laki dengan berat 3,23 kg dan panjang 48 cm. Bayi terindah yang pernah aku lihat. Namanya Malik Muhammad Faiz, pemimpin terpuji nan beruntung. Kami memanggilnya Faiz, manusia beruntung.

Aku tak diperkenankan menemui bayiku. Sementara bayi dibersihkan, aku mendapatkan jahitan. Aku juga tak boleh bangun dari tempat tidur lantaran ILA. Larangan ini berlaku sampai keesokan pagi.

Apa daya diri ini tak boleh bertemu anak tercinta. Padahal memegangnya pun aku belum sempat. Aku tak bisa tidur semalaman. Anakku malam-malam menangis. Aku yakin sekali itu suara anakku karena hanya ada dua bayi ketika itu, bayiku dan seorang bayi perempuan. Tangisannya terdengar lebih kelaki-lakian. Sok tahu yak hehe...

Begitu pagi menjelang dan diperbolehkan bangun, buru-buru aku mandi dan menemui puteraku. Ya Allah betapa lucunya anakku. Cakep dan menggemaskan.

Anakku saat itu sedang dimandikan. Setelah selesai, bidan memberikannya padaku dan diminta untuk disusukan. Kami berdua mencobanya di kamar. ASI-ku belum juga keluar. Anakku menangis. Aku kesakitan. Bidan mengatakan, tidak apa-apa. Aku diminta terus melakukannya setiap kali dia menangis. Katanya sama-sama belajar. Dia belajar menghisap, aku belajar menyusui. Lama-kelamaan akan keluar dengan sendirinya. Bayi pun tak sedang kekurangan nutrisi karena masih ada sisa dari dalam kandungan. Jadinya tidak perlu khawatir. Kata bidan, biasanya kondisi ini berlangsung sampai empat hari.

Hari itu sampai malam hari bayiku di kamar bersamaku. Aku tak menyerahkannya ke ruang bayi. Aku memang lelah dan butuh istirahat tapi rasanya enggan jauh dari anakku. Dia kami tunggu sejak menikah 31 Maret 2007.

Semalaman bayiku menangis karena ASI-ku tak kunjung keluar. Akupun kesakitan karena belum pernah mengalami hal ini. Payudaraku serasa mau copot saking kerasnya anakku berupaya. Sampai-sampai bidan mendatangi kamarku dan menawarkan agar bayi kami beristirahat di kamar bayi sehingga aku juga bisa beristirahat. Aku menolaknya. Aku masih mau berusaha dan kuyakin bayiku juga. Kami sebelumnya sudah sama-sama berup

Lahiran Pertama

Alhamdulillah aku sudah melahirkan. Kini aku benar-benar jadi Ibu Rima seperti namaku di blog ini ;). Luar biasa menakjubkan mendapati diri berubah status. Ada makhluk kecil yang keluar dari tubuh ini dan terus tumbuh berkembang.

Aku melahirkan pada 1 Februari 2010. Dokterku bilang, "Wah angka cantik nih Rim, 01022010". Saat itu aku tengah diperiksa dan pembukaannya tak bertambah setelah semalaman menginap di klinik. Aku hanya menjawab, "Wah boro-boro mikirin angka cantik, Dok. Pokoknya anak ini harus keluar hari ini". Maklum sudah 40 pekan. Aku khawatir jika terjadi apa-apa kalau tak segera dilahirkan. Apalagi hasil USG menyatakan anakku terlilit tali pusat dan lamban masuk ke jalan lahir.

Akhirnya dokter bertanya, "Kamu tetap mau caesar atau coba induksi? Kalau caesar, saya baru bisa malam nanti. Kalau induksi tunggu 8-12 jam sampai bukaannya sempurna".

Saat itu sekitar jam 11 siang. Kupikir kalaupun caesar, akan dilakukan malam hari. Ah, daripada menunggu malam tanpa melakukan aktivitas apapun, aku memilih induksi. Toh jika memang bisa melahirkan normal dengan induksi, tetap saja lahirnya malam. Paling tidak aku sudah berusaha melahirkan normal. Jika memang kelak harus caesar, setidaknya aku tidak penasaran.

Akhirnya aku disuruh makan dulu karena bidannya bilang, "Setelah induksi, ibu ga mungkin ingat makan". Saat itu aku berpikir, ah masa sih. Tapi aku menurut saja.

Sekitar pukul 12.30 aku disuntik induksi. Tabung berjalan itu kubawa ke mana pun kupergi. Aku diminta banyak berjalan. Boro-boro jalan. Setiap lima menit aku merasa mulas luar biasa. Karena itulah akupun dipakaikan pakaian pasien. Akupun harus mengosongkan usus supaya tidak ada kotoran yang keluar dari dubur saat mengedan.

Mulai pukul 14.30 rasa mulas menggila. Otakku tak bisa berpikir apapun selain meminta maaf dan ampun pada suami dan ibuku. Keduanya saat itu menemaniku di ruang bersalin. Alhamdulillah yang keluar dari mulutku kalimat-kalimat yang baik, bukan umpatan. Konon katanya ada yang suka menyebut-nyebut kata-kata tak pantas saat mulas.

Kurang lebih satu jam setengah dari mulas menggila itu, datanglah dokter anastesi. Dia datang terlambat karena macet di jalan. Dokter Panca namanya. Dia menyuntik bagian tubuh di sekitar tulang punggungku. Namanya suntik ILA atau lebih dikenal suntik anti sakit.

Benar saja. Begitu disuntik, aku langsung lemas dan tertidur. Aku baru bangun sekitar pukul 18.00. Kulihat hanya ibuku dan seorang bidan yang menemani. Suamiku rupanya tengah mencari penjual makanan dan membeli makan malam untuk ibuku yang sedari siang belum makan.

Akupun belajar mengedan. Rupanya suntik ILA tidak menyebabkan aku berhenti berkontraksi. Hanya tidak terasa. Beberapa kali aku belajar lantas bidan-bidan itu keluar ruangan. Tak lama datanglah dokter Okky, dokter kandunganku bersama dua orang bidan.

Setelah menyapa, dia berkata, "Oke, Rim. Kita lihat air ketubannya ya. Kalau keruh kita lanjut normal tapi kalau hijau, terpaksa kamu ta caesar". Terus terang aku kesal mendengarnya. Setelah melawan mulas yang tiada terkira, masa iya akhirnya aku harus caesar juga? Tapi itu semua langsung hilang saat ketubanku dipecahkan. Air ketubanku berwarna keruh, bukan hijau. Maka akupun diupayakan melahirkan normal. Alhamdulillah..

Allah memang Maha Pengasih dan Penyayang. Ia juga Maha Pengabul Doa. Tidak lama, hanya sekitar lima kali mengedan anakku lahir dari rahimku. Tali pusatnya melingkari leher dua kali. Anakku normal, laki-laki dengan berat 3,23 kg dan panjang 48 cm. Bayi terindah yang pernah aku lihat. Namanya Malik Muhammad Faiz, pemimpin terpuji nan beruntung. Kami memanggilnya Faiz, manusia beruntung.

Aku tak diperkenankan menemui bayiku. Sementara bayi dibersihkan, aku mendapatkan jahitan. Aku juga tak boleh bangun dari tempat tidur lantaran ILA. Larangan ini berlaku sampai keesokan pagi.

Apa daya diri ini tak boleh bertemu anak tercinta. Padahal memegangnya pun aku belum sempat. Aku tak bisa tidur semalaman. Anakku malam-malam menangis. Aku yakin sekali itu suara anakku karena hanya ada dua bayi ketika itu, bayiku dan seorang bayi perempuan. Tangisannya terdengar lebih kelaki-lakian. Sok tahu yak hehe...

Begitu pagi menjelang dan diperbolehkan bangun, buru-buru aku mandi dan menemui puteraku. Ya Allah betapa lucunya anakku. Cakep dan menggemaskan.

Anakku saat itu sedang dimandikan. Setelah selesai, bidan memberikannya padaku dan diminta untuk disusukan. Kami berdua mencobanya di kamar. ASI-ku belum juga keluar. Anakku menangis. Aku kesakitan. Bidan mengatakan, tidak apa-apa. Aku diminta terus melakukannya setiap kali dia menangis. Katanya sama-sama belajar. Dia belajar menghisap, aku belajar menyusui. Lama-kelamaan akan keluar dengan sendirinya. Bayi pun tak sedang kekurangan nutrisi karena masih ada sisa dari dalam kandungan. Jadinya tidak perlu khawatir. Kata bidan, biasanya kondisi ini berlangsung sampai empat hari.

Hari itu sampai malam hari bayiku di kamar bersamaku. Aku tak menyerahkannya ke ruang bayi. Aku memang lelah dan butuh istirahat tapi rasanya enggan jauh dari anakku. Dia kami tunggu sejak menikah 31 Maret 2007.

Semalaman bayiku menangis karena ASI-ku tak kunjung keluar. Akupun kesakitan karena belum pernah mengalami hal ini. Payudaraku serasa mau copot saking kerasnya anakku berupaya. Sampai-sampai bidan mendatangi kamarku dan menawarkan agar bayi kami beristirahat di kamar bayi sehingga aku juga bisa beristirahat. Aku menolaknya. Aku masih mau berusaha dan kuyakin bayiku juga. Kami sebelumnya sudah sama-sama berup

Jumat, 12 Februari 2010

Lelaki Keduaku

Lelaki itu kupanggil Faiz. Dialah lelaki keduaku. Setiap memandangnya, perasaanku bercampur aduk. Senang, bahagia, haru, takjub. Rupa-rupa pokoknya. Apalagi jika kami hanya berdua. Wah semakin menjadi. Segala rasa muncul dan tercurah padanya.

Lelaki itu hadir setelah masa penantian nyaris tiga tahun lamanya. Ia hadir juga dengan proses yang tak mudah. Ada perdebatan, ada kesalahpahaman, ada ngambek-ngambekan, ada-ada saja.

Lelaki itu putera pertama kami, Malik Muhammad Faiz. Pemimpin yang beruntung. Itulah harapan kami seperti pemimpin para umat, nabi besar Muhammad SAW. Doa kami senantiasa menyertaimu lelaki keduaku.

Hari-hari di Archa Clinic

Kulalui hari-hari pertamaku sebagai ibu di klinik bersalin ARCHA CLINIC. Klinik yang teramat jauh dari kediamanku itu punya cerita tersendiri. Begini ceritanya:

Seperti sudah kutuliskan dalam postingan-postinganku sebelumnya, terapisku sudah meminta kami, aku dan suamiku untuk menyegerakan kelahiran. Bahkan dari semula diperkirakan lahir akhir Januari, ia kemudian meminta kami segera melahirkan di pertengahan Januari. Selambatnya 25 Januari 2010. Alasannya, tali pusat anakku melilit di lehernya. Jika dibiarkan, akan membahayakan ibu atau anaknya. Selain itu, tulang panggulku kecil sementara saat itu anakku sudah seberat 3,4 kg berdasarkan terawang USG 4D. Ia pun merekomendasikan satu dokter obgyn yang berpraktek di RSI Bintaro. Setahu dia, dokter tersebut memiliki klinik tersendiri namun ia tak tahu persis letaknya.

Lantaran lokasi RS yang jauh, aku dan suami tidak lantas mengikuti sarannya. Aku mencoba mendatangi RS tempat biasa memeriksakan kehamilan. Karena selama ini memeriksakan diri ke bidan, aku beralih ke dokter obgyn. Kuutarakan niatan melakukan operasi caesar. Serta-merta dokter tersebut menolak. Menurut pemeriksaannya, bayi kami baik-baik saja. Begitu juga dengan aku. Ia tidak melihat ada hal yang salah dengan kehamilanku sehingga aku harus dioperasi caesar.

Karena saat itu aku tidak bersama suami, kujadikan ia sebagai bemper. Tak mungkin kan kalau aku mengatakan padanya, "Pak Sobri yang merekomendasikan kami caesar dengan alasan XYZ". Dokter itu kan tak kenal Pak Sobri, terapisku. Maka kujadikan suamiku sebagai alasan mengapa aku meminta caesar. Aku mendapati kesan bahwa dokter tersebut sebal terhadapku karena hal itu. Ia merasa seperti digurui padahal ia yang lebih tahu soal penanganan kehamilan ketimbang aku. Begitu juga dengan bidan yang biasa memeriksaku. Kebetulan saat itu ia tengah membantu dokter tersebut berpraktek. Ia memintaku untuk tidak kembali ke bidan karena aku sudah beralih ke dokter. Sempat terpikir untuk beralih dokter di RS yang sama. Tapi rasanya ko tak etis ya?

Suamiku bisa menerima alasan dokter. Menurutnya, dokter punya alasan menolakku karena ia juga punya prinsip. Jadi tak semua dokter bisa memenuhi permintaan pasien begitu saja. Akhirnya kami sepakat mendatangi dokter RSI Bintaro yang direkomendasikan terapisku. Kami pikir, ia bisa memenuhi permintaan kami. Apalagi ia kenal dengan terapisku sehingga aku tak perlu menjadikan siapapun sebagai bemper. Aku bisa mengatakan apa adanya. Tapi ternyata, lain ceritanya. Dokter obgyn tersebut berprinsip sama dengan dokter yang kudatangi sebelumnya.

Lantaran mahalnya RSI Bintaro, ia pun merujuk klinik miliknya di BSD City. Harganya lebih murah dengan kualitas layanan sama dengan RSI Bintaro (hehe jadi promosi). Pada pertemuan berikutnya di klinik, USG menunjukkan kepala bayiku sudah menempel di tulang panggul. Dokter memintaku sabar dan menanti sampai ia masuk ke jalan lahir. Hasil NST juga menunjukkan kondisi bayiku baik-baik saja. Air ketubanku pun cukup untuk melahirkan normal.

Pada pemeriksaan selanjutnya, dua hari setelah itu, kepala bayiku sudah memasuki jalan lahir walaupun baru setengahnya. Dokter yakin kalau aku bisa melahirkan normal. TApi aku tak merasakan mulas. Padahal berdasarkan grafik NST, aku sudah mulas-mulas. Kata dokter, itu malah bagus. Orang lain malah ingin merasa tidak mulas. Aku kok ya malah bingung. Hehe..

Akupun diberi obat perangsang mulas sebanyak enam butir untuk tiga hari. Aku diminta banyak bergerak apapun jenisnya. Jalan pagi, naik turun tangga, jongkok berdiri, senam hamil, nungging. Semuanya kulakukan. Katanya gerakan-gerakan itu membantu bayi menuju jalan lahir.

Namun lagi-lagi aku was-was. Sudah lima butir obat yang kuminum tapi aku tak kunjung mulas. Malah perutku masih nampak "menggantung". Kata orang, kalau bayi sudah di jalan lahir, perut akan "turun". Tapi kami tak putus berupaya dan terus memohon agar diberi kemudahan dalam melahirkan. Jujur saja aku meminta kepada Yang Maha Kuasa agar diberi kesempatan melahirkan normal. Bahkan aku mengajak bicara bayiku agar sama-sama berusaha dan berdoa untuk bisa melahirkan normal. Aku pasrah. Suamiku pasrah.

Ahad (31/1) sore aku dan suami tengah santai mengobrol di kamar. Tiba-tiba aku merasa ada yang mengalir dari tempat keluar bayi. Khawatir mengotori kasur, akupun sontak lompat dan membuka pakaian dalam. Ada darah segar di situ. Aku panik, takut, dan bingung. Apakah itu tanda akan melahirkan ataukah terjadi sesuatu dengan bayiku?

Selama ini yang kudengar, tanda melahirkan adalah munculnya flek dari lubang tempat keluarnya bayi atau pecahnya ketuban. Pikirku, flek seperti darah akhir menstruasi, yaitu berwarna cokelat atau kuning dan kering. Jumlahnya pun hanya sedikit. Rupanya yang terjadi padaku adalah flek juga namanya. Hehe.. maklum belum pengalaman.

Ibu mertuaku meminta kami, aku dan suami, untuk tenang. Kami diminta segera bersiap ke klinik. Akupun mandi dan mengeluarkan tas yang selama ini sudah kusiapkan untuk persalinan. Tak lupa aku menelepon ibu di Bandung untuk meminta doanya sekaligus memohon ampun. Aku juga menelepon klinik untuk memberitahukan kedatanganku.

Semula sore itu pula kami hendak berangkat. NAmun karena menunggu mulasku datang dan hal-hal lain, maka baru malam hari kami berangkat. Kami sempat menjemput ibu di stasiun. Rupanya begitu mendapatiku akan melahirkan, ibu langsung pergi ke stasiun.

Setiba di klinik sekira pukul 22.30 WIB. Bidan, asisten dokterku, kemudian memeriksaku. Aku sudah bukaan satu. Akupun masuk rung observasi lantaran tempat tinggalku yang jauh. JAdilah aku menginap bersama suami dan ibuku.

Esok harinya sekitar pukul 10.30 WIB, dokter memeriksaku. Lagi-lagi masih bukaan satu. Lagi-lagi tak juga kurasakan mulas. Dokter pun memberikan pilihan, aku keukeuh dengan operasi caesar ataukah mencoba induksi untuk merangsang mulas. Jika hendak operasi, ia baru bisa melakukannya malam hari lantaran harus berpraktek di RSI Bintaro dan juga sudah ada jadwal operasi. Sedangkan jika induksi, akan tampak bukaan sempurna sekitar 8-12 jam. Dihitung-hitung keduanya baru bisa dilakukan malam hari. Kupilih induski saja. Pikirku kalaupun nanti harus caesar, setidaknya aku mempergunakan masa tunggu dengan upaya melahirkan normal. Jadi tak penasaran.

Sekitar pukul 12.30 WIB aku diinfus induksi. Setengah jam kemudian mulai bereaksi. Tak henti-hentinya aku merasa mulas. Saat pengecekan pukul 15.00 WIB, aku sudah bukaan empat. Akupun masuk ruang bersalin. Di sanalah aku bermulas ria. Ditemani suami dan ibuku akupun menjalani rasa mulas dan sakit yang tak putus-putus. Dokter anesthesi yang dijadwalkan menyuntikkan ILA padaku tak kunjung datang. Ia terjebak macet. Padahal seharusnya aku sudah mendapat suntik ILA untuk menghilangkan rasa sakit dan mulas tanpa menghilangkan kontraksi. Archa Clinic memang dikenal dengan program melahirkan normal tanpa rasa sakit melalui suntik ILA.

Dokter anesthesi sempat kesulitan menyuntikkan ILA padaku. Maklum saja aku sudah bukaan lima entah enam. Otot-ototku di sekujur tubuhku menegang menahan rasa sakit dan mulas. Sementara untuk menyuntikkan ILA, ototku diminta rileks. Aku tak dapat melihatnya. Tapi kata ibu dan suamiku, jarum sempat mental. Setelah selesai disuntik, aku langsung merasa lemas dan tertidur lelap. Selama tidur, aku tetap kontraksi lo! Hebat kan? Hehe...

Aku dibiarkan tidur sampai pukul 18.00 WIB. Bagian perut sampai bawah terasa mati rasa. Berat sekali untuk digerakkan bahkan untuk gerakan kecil sekalipun. Kemudian aku belajar mengedan sambil menanti dokter hadir. Caranya, setiap kali ada kontraksi (dengan cara memegang perutku), bidan menyuruhku mengedan. Alhamdulillah anakku lahir selamat pada pukul 19.15 WIB. Sempat aku dibuat deg-degan saat dokter datang dan berkata, "Kita pecahin ketubannya dulu ya Rim. Kalau jernih, kita lanjut normal. Kalau hijau, saya operasi kamu". Pikirku saat itu, masa iya aku sudah mulas-mulas sedari siang akhirnya harus operasi juga? Tapi semua itu pupus saat dokter berkata, "Air ketubannya bagus, Rim. Kita bisa normal". "Alhamdulillaah".

Ditemani ibuku, dalam lima kali mengedan muncullah sesosok bayi mungil dari rahimku. Ia terlilit tali pusat dua kali. Alhamdulillah ia selamat. Sebenarnya suamiku ingin menemani. Tapi ia salah perhitungan waktu. Dipikir dokter paling datang malam sehingga menurut perhitungannya, aku melahirkan sekitar pukul 20.00 WIB. Jadinya ia ke warung nasi untuk membelikan ibuku nasi bungkus karena sedari siang belum makan. Menantu yang baik ya... Tapi tak apa, ia masih sempat mengadzani putra pertama kami, Malik Muhammad Faiz. Ia lahir pada 1 Februari 2010 pukul 19.15 WIB dengan berat 3,23 kg dan panjang 48 cm.

Karena suntikan ILA itu, aku tidak diperbolehkan bangun sampai pukul 06.00 WIB. Aku hanya boleh berbaring. Mengangkat kepala pun diusahakan tidak sering. Semalaman aku tak bisa tidur. Pegal rasanya badan ini. Kudengar suara tangis bayi dari ruang bayi. Kuyakin itu bayiku tapi aku tak bisa mendekapnya. Rasanya seperti bertahun-tahun menunggu pagi. Maka begitu pagi menyingsing, kulangsung mandi. Padahal efek ILA masih terasa. Kepalaku masih pusing. Tapi demi melihat bayiku, kupaksakan saja. Begitu aku mendapati bayiku, aku merasa seperti orang paling bahagia di dunia. Aku bisa mendekapnya di dadaku.

Aku tak mau membaginya dengan klinik. Sejak hari itu aku tidak memberi Faiz ke ruang bayi. Sebisa mungkin ia ada di ruanganku. Walaupun ASI-ku belum ada, tapi aku tetap mencobakannya. Kami kembali sama-sama berupaya seperti halnya saat hendak lahiran sebelumnya. Semalaman Faizku menangis. Mungkin kesal karena ia rajin menghisap namun tak kunjung keluar. Jadinya kami begadang. Tak apalah. Hitung-hitung latihan. Padahal bidan sudah menawarkan diri untuk menyimpan Faiz di ruang bayi agar aku bisa istirahat. Tapi aku tak mau. Kupikir biarlah aku tak istirahat. Toh anakku juga tak akan istirahat di ruang bayi karena tak ada ASI, yang ada hanya empeng. Kasihan ah.

Saat pulang ke rumah, kegiatan serupa terus kualami sampai sekarang: begadang. Apalagi kalau siang hari aku tak boleh tidur. Padahal Faizku tidur dengan lelapnya. Kata orang tua sih, takut darah putih naik jadinya tak bisa melihat di hari tua. Entah benar atau tidak, tak ada salahnya dituruti. Yah hitung-hitung balasan waktu hamil tidur melulu. Hehe...

Senin, 25 Januari 2010

Jelang Lahiran

Jadi malu. Isi blog mostly about pregnancy. Hehe... Maklumin aja ya, lagi narsis nih, pertama kali hamil. Jadinya banyak yang ingin diceritakan.

Seperti yang sudah kuceritakan dipostingan sebelumnya, aku dinyatakan harus operasi caesar untuk bisa melahirkan anakku ini. Karena itulah, aku datangi rumah sakit tempatku memeriksakan kehamilan. Kuberalih menuju dokter kandungan (biasanya aku periksa ke bidan). Kupilih seorang dokter perempuan. Padanya kuminta operasi caesar.

Serta merta ia menolakku. Setelah diperiksanya, ia bilang kandunganku baik-baik saja. Anakku pun dalam keadaan baik. Hanya saja ia sedikit terlilit tali pusat. Menurutnya itu hal biasa. Ia bilang, 90 persen bayi yang dalam penanganannya berada dalam kondisi seperti itu. Lumrah saja. Toh hanya 10 persen darinya yang harus dioperasi caesar. Selebihnya bisa dilahirkan normal. Ia memintaku sabar dan akan mengusahakan normal.

Memang, aku tak mengatakan jika caesar adalah rujukan dari terapisku. Kan dia belum mengenal terapisku. Jadilah kujadikan suamiku sebagai "bemper". Ia kujadikan alasan mengapa kami meminta caesar. Tadinya kami pikir, adalah hak kami meminta caesar. Namun setelah penolakan dokter tersebut, suamiku berkata, hak dokter pula untuk menolak karena ia yang akan menangani. Dipikir-pikir memang dokter banyak macamnya ya. Sama saja dengan profesi lain. Banyak ragamnya.

Akhirnya aku mendatangi dokter kandungan yang dirujuk terapisku. Jauh benar lokasinya dari kediamanku di Tanah Abang. Dokter ini berpraktek di Serpong. Bedanya, ia laki-laki dan kenal terapisku. Jadinya aku tidak menjadikan suami sebagai "bemper" lagi.

Rupanya dokter yang ini pun memiliki pendapat tak jauh berbeda. Menurutnya, yang menjadi persoalan bukanlah lilitan tali pusat melainkan besarnya janin. Tali pusatnya tidak membelit leher, hanya melintang di dekat leher. Namun berat bayi sudah 3.400 gram. Aku kaget. Pasalnya, terakhir kali USG, berat bayiku 3.200 gram. Itu kulakukan hanya satu pekan sebelum ke Serpong. Cepat sekali ia bertambah besar hanya dalam kurun sepekan. Padahal aku sudah menghentikan minum sirop dan eskrim selama hampir dua pekan sebelum ke Serpong.

Dokter menyebutkan, dalam kondisi seperti ini, bisa jadi anakku pada kenyataannya sudah bermassa 3.600 gram. Kemungkinan pada saat lahir bisa mencapai 3.800 gram. Pasalnya, usia kandunganku belum genap 39 minggu ketika itu. Untuk genap 40 minggu (usia paling matang lahiran), aku harus menunggu sampai 31 Januari. Ia menyarankan aku untuk banyak jalan pagi dan senam hamil. Ia masih berharap aku bisa melahirkan dengan cara spontan. "KAmu masih ingin hamil kedua dan ketiga kan Rim?" tanyanya.

Sepulang dari Serpong, kudatangi terapisku. Memang ketika di Serpong pun, aku meneleponnya dan kubiarkan ia berbincang dengan dokter. Dokter hanya tertawa. Rupanya, ada dua kekhawatiran terapisku. Bayiku yang besar dan panggulku yang sempit untuk bayi sebesar itu. Setelah mendengarkan apa kata dokter, akhirnya ia pun menyetujuinya. Aku dan suami diminta menunggu sampai genap 40 minggu. Dalam masa penantian itu, aku diminta hal yang sama, banyak bergerak dan jalan pagi. "Insyaallah dia bisa turun ke jalan lahir", ujarnya.

Alhamdulillah kami pun melakukan apa yang diminta. Setiap pagi kami jalan-jalan di sekitar kediaman. Kurang lebih selama satu jam. Aku pun senam hamil satu sampai dua kali sehari. Aku juga suka jongkok dikala mandi dan mencuci. Tapi kalau sudah tidak tahan, uambil juga bangku kecil dan duduk. Kuupayakan juga memperlama sujud dan rukuk seperti yang dianjurkan ibuku. Mudah-mudahan upaya ini bisa membantu kelancaran kelahiran anakku kelak. Amin...

Allaahumma yatsir walaa tuatsiir. Ya Allaah, berikanlah kemudahan, jangan beri kesukaran. Aamiin... Kita usaha bersama ya, Nak...

Jumat, 15 Januari 2010

Ketika Harus Caesar

Kabar itu mengejutkanku. Tak pernah sebelumnya terbayangkan olehku untuk melahirkan melalui proses operasi caesar. Selama ini aku berharap, memohon, membayangkan hanya melahirkan secara normal. Seperti halnya yang dialami ibu saat melahirkan tiga putrinya dan kakakku ketika melahirkan keponakanku. Namun rupanya nasibku tak sama.

Hari Kamis aku kontrol ke terapisku. Biasanya memang aku memeriksakan kehamilan ke bidan dan terapisku, Pak Sobri. Aku bawakan hasil USG 4D. Sebelum melihatnya, ia sudah berkata, "Sepertinya harus caesar, Rim". Mendengar itu, aku bagai disambar geledek. Ketika memeriksaku, ia semakin mantap dengan ucapannya. Menurutnya, bayiku tak jua turun karena terhambat lilitan tali pusat di lehernya. Padahal posisinya sudah bagus, kepala sudah berada di jalan lahir.

Aku ceritakan padanya tentang hasil USG dan pembicaraanku dengan bidan. Dari hasil USG nampak bayiku terlilit tali pusat di lehernya (sama dengan apa yang dikatakan terapisku). Sementara bidan mengatakan, 90 persen kehamilan memang dalam kondisi bayi seperti itu. Hal itu tidak membahayakan kecuali jika tali pusat menghambat jalan lahir.

Terapisku membenarkannya. Dan kondisi kehamilanku memang seperti itu, jalan lahir terhambat tali pusat. Walaupun kepala bayi sudah di bawah, tapi ia terhambat sehingga enggan turun. Ia masih berada di atas. Menurut dia, aku jangan ambil risiko. Pasalnya menyangkut nyawa.

Dalam kondisi seperti ini, kata dia, aku tidak akan merasakan mulas-mulas sebagai tanda bukaan lahiran. Jika dibiarkan berlarut-larut, membahayakan. Ia sarankan untuk segera dilahirkan sebelum 25 Januari 2010. Sebelumnya, bidan juga menyatakan bayiku sudah matang untuk dilahirkan. Usianya sudah 38 minggu. Jadi, seandainya hendak di-caesar pun sudah diperbolehkan.

Berdasarkan hitungan bidan, bayiku lahir pada 30 Januari 2010. Jika sampai masa itu aku belum juga lahiran, akan diadakan USG ulang. Hal ini tidak dianjurkan terapisku. Menurut dia, risikonya terlalu tinggi jika harus menanti sampai 30 Januari.

Kedua kabar ini, dari bidan dan terapis, kusampaikan pada suami. Akhirnya kami sepakat melakukan caesar. Kami enggan mengambil risiko tinggi menyangkut nyawa. Tapi kami belum menentukan kapan dan di mana akan melakukannya. Besok rencananya baru kami akan ke rumah sakit untuk melihat perkembangaan dan kesediaan rumah sakit untuk caesar. Ya Allah mudahkanlah jalan kami...

USG 4D

Hari Senin kulakukan USG 4D. Mulanya hendak kulakukan Rabu di pekan sebelumnya. Saat itu aku mendatangi bidan untuk kontrol rutin bersama suamiku. Biasanya aku sendirian. Berhubung saat itu jadwalku USG dan kami ingin USG 4D, maka suamiku ikut. Tapi rupanya lain rencana lain pula ceritanya.

Aku tidak tahu jika USG 4D punya jadwal tersendiri. RSIA Budi Kemuliaan tempatku memeriksakan kehamilan hanya menyediakan waktu tiga hari dalam sepekan untuk USG 4D, yaitu Senin, Rabu, dan Jumat. Itupun tidak sepanjang hari, hanya dimulai pukul 15.00. Jadilah kami batal melakukan USG 4D saat itu. Pasalnya suamiku tidak bisa mendampingi jika harus sore hari. Di jam-jam seperti itu, ia justru sibuk mengejar dateline. Padahal rencananya, ia ingin merekam proses pengambilan gambar USG. Maklum kehamilan anak pertama, jadinya agak norak. Hehe... Jadi meskipun ketika itu hari Rabu, kamipun pulang. Eh salah, aku saja yang pulang, dia sih langsung ke tempat kerja.

Kami sepakat mencari tempat lain yang memungkinkan dapat mengambil gambar USG 4D di pagi atau siang hari. Di rumah, akupun mencari info lewat 108 (hihi..jadi kayak promosi Telkom). Beberapa nama laboratorium kudapat. Hanya satu yang memiliki fasilitas USG 4D. Tapi lagi-lagi jadwalnya sore hari. USG 4D pagi hari hanya hari Senin dan Selasa. "Telepon dulu kami satu hari sebelum USG untuk appointment ya, Bu", kata bagian informasi sebuah laboratorium swasta ternama (dari suaranya sih terdengar jelas laki-laki).

Setelah sepakat dengan suami untuk USG 4D di laboratorium tersebut ari Senin, maka aku menelepon di hari Jumat. Pikirku, laboratorium beroperasi dari Senin sampai Jumat. Ini kusimpulkan dari jadwal USG yang diberikannya saat aku menelepon sebelumnya. Ketika itu bagian informasi mengatakan, jadwal USG 4D di laoratorium ternama itu pagi hari pukul 08.00 untuk hari Senin dan Selasa. Sementara hari Rabu, Kamis, dan Sabtu dibuka sore hari pukul 15.00. Jadinya kupikir untuk dijadwalkan appointment hari Senin, aku harus mengonfirmasi hari Jumat.

Tapi ternyata jauh panggang dari api. Bagian informasi laboratorium yang sama mengungkapkan hal berbeda ketika aku menelepon dengan tujuan membuat appointment. (Kali ini suaranya sangat jelas perempuan). Ia bilang, USG 4D hanya bisa dilakukan hari Sabtu dengan waktu yang tidak ditentukan. Calon pasien akan diberitahukan melalui telepon jika sudah ada kepastian waktu pengambilan gambar.

Tadinya kupikir tak apalah jika Sabtu ini laboratorium itu akan melakukan USG 4D. Tapi rupanya, dokternya tidak bisa. Ia baru dapat melayani satu pekan lagi. Wah kacau. Walaupun demikian, aku tetap memberikan nomor telepon selularku sebagai jaga-jaga jika memang harus USG 4D di tempat itu.

Kemudian aku berpikir untuk melakukan USG 4D di rumah sakit lain. Kutelepon rumah sakit-rumah sakit yang berada di sekitar kediamanku. Hanya ada satu rumah sakit besar yang membuka USG 4D setiap hari. Tapi aku harus menjadi salah satu dokter obgyn di sana untuk bisa melakukan USG 4D. Pasien luar rumah sakit tidak bisa begitu saja melakukan USG. Duh kok riebet banget ya. Soalnya setahuku, di RSIA BUdi Kemuliaan, USG bisa dilakukan kepada siapa saja, baik itu pasien RSIA Budi Kemuliaan maupun bukan. Semua perlakuannya sama. Tak perlu ada rekomendasi dari siapapun. Apalagi sampai ada syarat harus menjadi pasien dokter obgyn tertentu untuk bisa USG 4D.

Melihat kondisi seperti ini, akhirnya aku dan suami berkeputusan melakukan USG 4D di RSIA Budi Kemuliaan hari Senin. Dengan berat hati, suamiku tak mendampingi. padahal ia ingin sekali merekamnya. Tak apalah. Toh ada foto yang bisa dilihatnya kelak.

Suamiku senang dengan hasil USG 4D. Begitupun aku. Anak kami tampak sehat, montok, alhamdulillah organ tubuhnya lengkap. Dari tiga foto yang dicetak, satu dia antaranya menunjukkan wajahnya. Lucu sekali. Salah satu jempol tangannya berada di pipi kirinya. Sudah bergaya saja dia.

Untuk memperoleh tampilan wajah itu, susah payah sang sonografer memotretnya. Berkali-kali anak kami menutup wajahnya setiap kali hendak dipotret. Bukan hanya menutupinya dengan tangan tapi juga dengan kaki! Salto barangkali dia. Sampai-sampai sonografernya memohon. "Ayo dong Dek,sebentar saja. Biar bisa kelihatan mukanya".

Entah karena permohonan tersebut atau bukan, tak lama ia pun memperlihatkan wajahnya plus jempol yang ditempelkan di pipi. Seolah-olah ia berkata, "Oke deh". Kesempatan itu tak disia-siakan sonografer. Ia pun segera memotret dan mencetaknya.

Ah anakku, sudah bisa bercanda kamu. Seperti apa ya kelak dirimu saat lahir? Apakah benar beratmu 3,2 kilogram seperti yang terekam dalam USG? Ataukah mungkin lebih besar lagi? Soalnya waktu kontrol rutin ke bidan dua hari setelah USG, bidan mengatakan persentase melesetnya ukuran bayi bisa sampai 10 persen. Jadi ada kemungkinan anakku sebenarnya sudah 3,4 kilogram. Besar juga ya, mengingat aku saat dilahirkan ibuku dulu hanya 2,9 kilogram.

Bagaimana pun kami kini tengah menghitung hari. Insyaalah keluarga kami akan bertambah anggota. Kami nanti engkau, anakku... We love you already :)

Minggu, 10 Januari 2010

Belanja Perlengkapan Bayi

Setelah tertunda beberapa kali, akhirnya jadi juga aku belanja perlengkapan bayi. Tak dinyana, harganya lumayan juga, ya! Tadinya kupikir baju-baju mungil itu punya harga yang mungil juga. Ternyata eh ternyata... Hehe...

Tapi tak apa. Ada harga memang ada rupa. Aku tak mau membelikan anakku pakaian yang kualitasnya diragukan. Bukankah hal-hal yang meragukan harus ditinggalkan? Hehe...

Senin lalu adalah kali pertama aku berbelanja perlengkapan bayi. Aku bukanlah pembeli tipe pencari ke sana kemari. Jadi begitu menemukan toko yang menurutku barangnya cocok dengan yang kumau di Blok A Tanah Abang (bukan iklan lo), kubeli saja semua kebutuhanku di situ. Tapi rupanya budget yang kubawa tak cukup membeli semua kebutuhanku. Alhasil aku hanya membawa pulang satu lusin bedongan, dua lusin popok, satu lusin pakaian bayi, satu lusin celana panjang, satu lusin gurita bayi, dan satu potong pakaian menyusui.

Maka pulanglah aku ke rumah. Namun saat menuruni tangga Blok F Tanah Abang untuk memotong jalan pulang, lutut kiriku keseleo. Aku tak bisa berjalan karena rasanya sakit sekali. Anehnya, terasa seperti terbentur benda keras. Padahal sama sekali aku tak terbentur apapun. Langkahku pun pelan-pelan saja sambil berpegangan pada pegangan tangga.

Alhamdulillah ada seorang ibu pemilik kios pakaian yang mempersilakan aku beristirahat di tokonya. Ia bilang, aku bisa selonjoran di sana. Sekitar 15-20 menit aku berselonjor sambil mengoleskan minyak angin ke bagian lututku yang sakit. Jujur saja ingin sekali aku berteriak karena rasanya yang sakit. Tapi malu. Hehe...

Begitu sudah agak enakan, akupun pulang. Di rumah aku minta maaf pada suamiku. Sebelumnya dia sudah menyuruhku minta ditemani saat akan ke pasar. Entah itu oleh kakak iparku maupun istri kakak iparku. Mereka berdua tergolong menguasai medan Pasar Tanah Abang. Tapi ketika itu aku ngotot pergi sendiri. Kupikir belanjaanku toh tidak banyak ini. Inilah barangkali balasannya istri yang tidak mendengarkan permintaan suami. Jadi malu.

Akhirnya begitu hari JUmat, aku minta ditemani kakak iparku berbelanja kembali. Alhamdulillah dia bersedia. Ia hanya mengajakku berbelanja perlengkapan bayi di lantai dasar Blok F Tanah Abang. Menurutnya, aku tidak perlu bersusah payah menaiki tangga. Apalagi lututku masih ngilu walaupun sudah diurut. Tapi kami juga ke lantai tiga sih, untuk membeli perlengkapanku saat di rumah sakit dan menyusui kelak.

Dengan budget dua kali lipat dari sebelumnya, kudapatkan banyak barang. Memang di Blok F lebih murah dari Blok A (bukan promosi lo). Kudapatkan satu buah tas, satu gendongan, dua buah topi bayi, dua buah washlap, sepasang sepatu, sebuah perlak, enam pasang sarung kaki dan tangan, sepasang pakaian, selusin popok bayi, selusin baju bayi, selusin celana pop, selusin celana pendek bayi, sebuah jaket, serta enam pasang kaos kaki. Sedangkan untukku empat buah pakaian panjang bukaan depan, lima buah kerudung, dan enam celana dalam mudah cuci.

Perlengkapan anakku sih rasanya sudah cukup. Apalagi ibuku dari Bandung sudah memaketkan dua buah selimut, dua buah handuk, selusin bedongan, dan dua buah kain gendongan. Tapi begitu sampai rumah, eh ada saja yang belum kami beli. Misalnya gurita wanita dewasa, maternal bra, jemuran dan kasur bayi. Wah masih harus belanja lagi nih kayaknya. Hehe...

Tapi tugasku juga belum selesai. Aku masih harus mencuci semuanya. Kalau paket dari Bandung dan belanjaan pertamaku sih sudah kucuci dan kusetrika. Sudah kubungkus lagi dalam plastik. Maklum belum beli lemari untuk pakaian bayi yang ternyata banyak juga ya jumlahnya. Tak muat dalam lemari pakaian kami. Di rumah ini, mencuci bergiliran. Ya, maklum saja massanya banyak. Sebenarnya hari ini giliranku mencuci. Tapi karena sudah dua hari terakhir ini tak ada panas matahari, jadinya jemuran masih penuh. Hm... Sabar... Sabar...

Sabtu, 02 Januari 2010

Waktu Lahiran

Saat ini waktu sudah memasuki bulan Januari. Bulan di mana aku diprediksi akan melahirkan. Insyaallaah..

Rabu dua pekan lalu aku memeriksakan diri ke bidan dan terapis. Bidan seperti biasa mengatakan aku dan bayi dalam kandunganku baik-baik saja. Alhamdulillah. Aku diminta datang kembali pada tanggal 6 Januari. Aku dijadwalkan melakukan USG untuk melihat kondisi teranyar kandunganku.

Begitu juga dengan terapisku. Ia mengatakan kami berdua baik-baik saja. Tapi aku terkejut saat diberitahu jika masa kelahiran anakku kemungkinan maju. Tak tanggung-tanggung, sekitar dua pekan. Terus terang aku panik. Berarti pertengahan bulan ini aku diperkirakan sudah melahirkan anak pertamaku. Amin, insyaallah, alhamdulillah...

Ketika itu ia bertanya, "Diperkirakan kapan Rim, lahirannya?" Aku jawab, "USG terakhir sih bilangnya akhir Januari setelah tanggal 25". Kemudian ia memeriksa kaki dan perutku. "Kalau dilihat sih sepertinya nggak sampai tanggal segitu", katanya. Kupikir ia akan menyebutkan angka yang tidak terlalu jauh, ya sekitar 20 ke atas lah. Rupanya aku salah. "Kapan dong Pak lahirannya?" tanyaku. "Siap-siap saja mulai tanggal 10 sampai 15" jawabnya.

Tuing tuing tuing kepalaku serasa berputar... Tapi kupikir-pikir lagi, kemungkinan itu memang ada. Toh aku belum melakukan USG terbaru. USG terakhir yang kulakukan sekitar dua bulan lalu. Jadi kemungkinan apapun bisa terjadi kan?

Tanpa sengaja, aku bertanya soal senam hamil yang baru kuikuti. Terapisku bertanya, "Kamu senam hamil? Pantesan". Aku bertanya, "Kenapa Pak?" Jawabnya, "Iya, pantesan jadi maju tanggalnya". "Jadi saya harus berhenti senam?" "Oh jangan, itu bagus. Lanjutin aja senamnya."

Kupikir-pikir, betul juga. Senam hamil lumayan bikin badan banyak bergerak. Tapi tentunya jauh dari heboh dibandingkan senam aerobik. Senam ini lebih terpusat pada pernafasan, melemaskan otot-otot yang tegang, dan persiapan lahiran. Jadi memang mungkin saja jika senam hamil memengaruhi kondisi kehamilanku. Aku kan sungguh-sungguh melakukannya. Cie...

Jadi yang terpenting saat ini adalah persiapan kelahiran. Jika memang pertengahan bulan ini waktunya, aku sudah siap. Apalagi jika ternyata ditakdirkan akhir bulan. Harus jauh lebih siap. Hehe.. Bismillah.