Sabtu, 27 Juni 2009

Minggu Ke-6

Alhamdulillah sudah memasuki pekan keenam. Rencananya Senin nanti mau USG. Disarankan USG kedua tempat kanan dan kiri lebih melebar. Siapa tahu waktu lagi USG calon orok nyumput :D Jadi nggak sabar nih pengen USG.

Gejala-gejala mual dan pusing masih kurasakan. Kadang-kadang juga ke luar lagi makanan atau minuman yang masuk ke perut. Rasa elah juga wuah... tak tertahankan. Begitu gletak di lantai langsung tidur. Enak sih, dingin... Tapi bahaya juga kalau kelamaan. Masuk angin.

Tadi ibu SMS menanyakan keadaan kehamilanku. Alhamdulillah baik-baik saja. Ibu berpesan agar aku tidak manja saat hamil. Kukatakan saja, bukan manja tapi dimanja. Suamiku benar-benar sangat khawatir dengan kehamilanku. Mungkin karena melihat kehamilanku yang lumayan terlihat berat bagi dia karena dia tidak merasakannya :)

Setiap kali mencuci, dia selalu bilang, "Neng jangan capek-capek." Begitu juga ketika aku ingin membersihkan kipas di kamar atau kegiatan apapun. Bahkan untuk ikut belanja membeli buah saja dia setengah hati mengizinkan aku ikut diboncengnya. Intinya aku nggak boleh ngapa-ngapain. Harus istirahat.

Aku sangat paham betapa suamiku mengkhawatirkan kami. Ini adalah kali pertama kami mengalami kehamilan. Dan, jika diperkenankan akan langsung mendapatkan dua. Jadi begitu khawatirnya ia jika aku terlalu lelah. I love you my hubby...

Mungkin yang agak berbeda di minggu ini aku doyan buah. Senang sekali tadi beli jeruk sama pir. Eh langsung dua buah kumakan. Padahal ukurannya jumbo. Jadinya beser pengen pipis melulu...:D

Ya Allah lindung kami semua, berikan kami yang terbaik. Lapangkan dada kami. Berkahi kami dengan kasih sayang-MU. Aamiin..

Jumat, 26 Juni 2009

Bisa Sedikit Bahasa Indonesia


Miris membaca laporan wawancara sebuah harian dengan seorang artis pendatang baru. Artis yang baru pertama kali main film Indonesia tersebut mengaku hanya bisa sedikit berbahasa Indonesia. Padahal ia adalah warga negara Indonesia (WNI). Ayah ibunya notabene orang Indonesia. Ia juga lahir di ibu kota negara Indonesia. Sejak brojol ke dunia, dia menghirup udara Indonesia. Ko dengan santainya dia berkata "Saya bisa Bahasa Indonesia, sedikit."

Kalau yang berkata seperti itu adalah Barrack Obama, tak jadi masalah. Toh dia di Indonesia hanya satu tahun lamanya. Tapi ini WNI asli yang mengatakan hal itu.

Dalam penuturannya, artis muda ini bersekolah di sebuah SD Internasional. Ia dibiasakan ayah ibunya berbahasa Inggris sejak kecil. Alasannya, mereka ingin anak-anaknya mudah berkomunikasi dengan orang dari seluruh penjuru dunia. Terdengar hebat ya? Tapi menurut saya justru aneh.

Oke dia bisa berkomunikasi dengan orang dari manapun (yang menggunakan Bahasa Inggris tentu saja) tapi dia sulit berkomunikasi untuk sekadar membeli gula di warung misalnya. Okelah dia bukan tipe anak yang suka diminta pergi ke warung karena seluruh kegiatan rumah tangga ada pembantu.

Tapi coba jika ia akan ditanya oleh temannya yang dari penjuru dunia itu, "Bahasa Indonesia itu seperti apa?" Akankah ia merasa bisa menjawabnya dengan baik jika dia tidak memiliki rasa Bahasa Indonesia lantaran tidak mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari? Akankah orang yang hanya berbicara Bahasa Indonesia saat bersama pembantu saja ia bisa meresapi rasa bahasa nasional itu di dalam dirinya? Akankah ia merasa menjadi orang Indonesia kalau ia tidak fasih berbicara bahasanya sendiri?

Sedih rasanya mendengar hal itu ke luar dari mulut anak usia 10 tahun. Bahkan pewawancara menuliskan di akhir salah satu pernyataan artis muda ini, "tuturnya dalam Bahasa Inggris". Bayangkan, pewawancara saja harus menerima jawaban dalam bahasa Inggris dari seorang WNI yang tinggal di Indonesia sejak lahir. Tidak dijelaskan oleh pewawancara apakah ia pun harus bertanya dalam Bahasa Inggris. Tapi di salah satu pernyataannya, artis belia ini tidak mengerti naskah yang diterimanya karena ditulis dalam bahasa Indonesia! GUBRAK!! Dia baru paham maksud dialog-dialog yang ada di dalamnya setelah sang ibu mengalihbahasakannya dalam Bahasa Inggris. Malahan sang ibu memiliki harapan lain, anak-anaknya bisa berbahasa Perancis.

Menurut saya, sangat baik mempersiapkan anak menghadapi era globalisasi yang tinggal selangkah lagi. Mengajarkan dan membiasakan Bahasa Inggris adalah salah satunya. Tapi bukan berarti tidak menanamkan rasa kebahasaannya sendiri karena Bahasa Indonesia adalah jati diri kita orang Indonesia. Bukankah bahasa nasional kita Bahasa Indonesia? Menjadi bahasa pemersatu pun melalui perjuangan yang tidak mudah untuk sampai pada Sumpah Pemuda 1928. Berbahasa satu, Bahasa Indonesia. Jadi kalau memang orang Indonesia, wajib bisa berbahasa Indonesia sefasih Pangeran William dengan Bahasa Inggrisnya, Kim Jong-Il dengan Bahasa Koreanya, Mahmoud Ahmadinejad dengan Bahasa Persianya, Aishwarya Rai dengan Bahasa Hindinya, Jackie Chan dengan Bahasa Mandarinnya, dan siapapun dengan bahasa nasionalnya masing-masing. Bukan berarti mereka tidak bisa Bahasa Inggris atau mungkin bahasa asing lainnya tapi mereka tidak lupa, tidak melupakan akar dari mana mereka berasal.

Mungkin penyanyi Anggun bisa jadi contoh. Penyanyi asal Indonesia yang dulu dikenal dengan nama Anggun C Sasmi bisa melanglang buana tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai orang Indonesia. Meskipun saat ini dia sudah berpindah kewarganegaraan tapi dia masih merasa sebagai orang Indonesia karena kepindahan kewarganegaraannya lebih dikarenakan memudahkannya bertinggal di negeri orang. Maklum, dia orang sibuk yang konser keliling dunia. Jadi kalau harus bolak-balik ngurus perpanjangan izin tinggal kan repot. Makanya berpindah kewarganegaraan lebih cenderung ke arah sana.

Tapi coba saja kita lihat. Dia tetap cinta Indonesia. Dia tak pernah lupa membuat lirik versi Bahasa Indonesia untuk beberapa lagunya yang berbahasa Inggris. Terkadang ia juga memiliki lagu dan album versi Bahasa Perancis. Jadi, tidak harus lupa dengan bahasa tanah air sendiri kan? Buktinya dia bisa melakukannya dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris, Perancis dan semuanya bisa diterima masyarakat. Itu malah menjadi kelebihan di dari penyanyi lainnya.

Bahkan saking cintanya dengan Indonesia, dia selalu kangen dengan Teh Botol yang mungkin hanya ditemui di Indonesia. Dia juga berencana melakukan konser di kota-kota kecil di Indonesia. Bukan di mana-mana, di Indonesia. Diva internasional ini tidak lantas sombong. Walaupun dia sudah mengalahkan Beyonce Knowless dalam sebuah survey mengenai Diva Internasional yang memberikan inspirasi. Ia di peringkat empat dan Beyonce lima.

Coba saja, apakah Anggun lantas enggan berbahasa Indonesia ketika ia di Indonesia? Jangan salah, dia senang berbahasa Indonesia. Bahkan dalam salah satu wawancara, pewawancara pernah bertanya, "Masih bisa Bahasa Indonesia?" Anggun justru terlihat kaget. Saya lupa apa jawaban pastinya tapi yang jelas berisikan mengapa ia harus lupa dengan bahasa tempatnya berasal. Ia selalu menggunakan Bahasa Indonesia ketika berada di Indonesia. Bahkan dalam konsernya. Putri tercintanya pun dinamainya dengan nama yang Indonesia banget, Kirana.
Jadi, haruskah menaggalkan identitas diri yang asli demi globalisasi?

Rabu, 24 Juni 2009

Dua?

Ini bukan tentang Pilpres 2009 yang sedang heboh. Ini tentang kami, aku, suami, dan calon anakku.

Kami menikah tahun 2007. Alhamdulillah baru sekarang kami memiliki gejala akan memiliki keturunan :) Jadi lumayan lah dua tahun kami pakai untuk pacaran :D

Tahun lalu aku sempat memeriksakan diri ke dokter kandungan. Hasilnya, baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan diriku. Ada satu kista ukuran 1,7 mm yang katanya cukup kecil dan akan hilang jika aku hamil.

Namun rupanya Allah belum berkehendak. Suamiku yang trauma dengan dokter, enggan memeriksakan diri. Maklum, ia pernah menjadi korban malpraktek sehingga sulit baginya untuk percaya lagi dengan orang-orang berprofesi dokter. (Anda yang berprofesi dokter tidak usah kesal, ini hal yang wajar saja to?) Selain itu, pekerjaan suami yang tidak jelas waktu kerjanya menyulitkan dia untuk bisa memeriksakan diri di jam praktek dokter.

Akhirnya tiba masa di mana kami memiliki waktu luang untuk fokus pada keturunan. Pilihan kami adalah berobat kepada herbalis. Ini bukan dukun melainkan ahli pengobatan dengan ramuan tumbuh-tumbuhan yang diracik sendiri oleh herbalisnya.

Setiap pekan kami diperiksa dan dilihat perkembangannya. Rupanya di dalam rahimku ada tokso. Sedih rasanya mendengar hal itu. Namun sang herbalis memintaku untuk bersabar karena menurutnya itu bisa disembuhkan jika sudah terjadi pembuahan. Maka setelah terjadi pembuahan, aku mendapatkan obat anti virus tokso.

Alhamdulillah setelah sekitar tiga bulan berobat, aku dinyatakan positif hamil. Memang selain obat, aku juga diberi pantangan memakan makanan mengandung pengawet, makanan rasa asam, daging bakar. Itu semua memang biang penyakit. Rupanya tokso yang sempat kuderita lantaran dari kecil aku doyan sate dan ayam bakar. Kalau makanan dan minuman berpengawet, itu sih rasanya hampir semua ahli kesehatan melarangnya. Iya kan?

Bulan lalu aku tidak mendapatkan haid. Aku juga diminta untuk mengecek ke dokter atau bidan. Pilihanku jatuh pada bidan. Saat bidan memeriksa, dia tidak bisa "memegang" janin dalam tubuhku. Makanya aku diminta untuk kembali lagi dalam empat pekan yang jatuh Senin besok. Kami berencana USG.

Selama ini kami (aku dan suami) tetap memeriksakan diri ke herbalis karena perkembangan tiap minggu harus dipantau. Menurut herbalis, aku sudah mengandung sekitar tujuh pekan. Tapi perhitungan dokter atau bidan kemungkinan berbeda. Itu tidak menjadi masalah selama kami sehat-sehat saja.

Kabar mengejutkan hadir sekitar tiga pekan lalu. Menurut diagnosa herbalis, aku mengandung dua bayi, di kanan dan kiri. Namun untuk memastikannya aku diminta USG. Kebetulan jadwal USG Senin depan jadi aku tunggu saja lah. Hehe...

"Mudah-mudahan diagnosa saya benar. Tapi kalau misalnya hanya satu tetap diterima kan?" tanya herbalis pada kami. Ya tentu saja kami menerima. Itu kan anugerah. Masa iya kami tidak menerimanya. Toh kami sudah menunggu dari 2007 :)

Apapun hasil USG nanti, kami pasrah. Tentunya harapan kami diagnosa herbalis itu benar. Suamiku memang memiliki garis keturunan kembar, jadi siapa tahu benar. Apalagi kalau melihat gejala kehamilan yang aku rasakan. Kata orang-orang di sekitarku, "Ko payah banget hamilnya?"

Memang rasa mual dan pusing tak henti-hentinya mendera. Keinginan untuk buang air kecil juga sangat sering. Padahal kalau baca di artikel-artikel kehamilan, di usia tujuh minggu belum sesering ini buang air kecilnya.

Ya kami berharap yang terbaik. Mudah-mudahan harapan kami memang yang terbaik bagi kami. Doakan kami ya..

Main Game

Aku bukan pecinta game. Mau itu game di handphone, komputer, online, tak satupun yang menjadikanku suka, apalagi cinta. Pikirku, main game buat apa sih?

Game yang ada di handphone-ku saja nilainya masih kosong sampai akhirnya adikku yang memulai untuk mengisinya dengan angka-angka. Karena dia asik, aku jadi penasaran apa sih yang membuatnya stand by bermain dengan handphone-ku? Kucoba bermain rupanya seru juga. Hehe..

Lalu kulihat keponakanku bermain game di komputer. Kuperhatikan cara bermainnya. Lumayan mudah. Tinggal klak-klik mouse. Maklum, permainannya hanya mencocokkan warna, makanan yang dipesan, buat anak-anak SD lah. Hehe.. Kalau permainan yang heboh-heboh seperti perang-perangan wah nggak tertarik sama sekali. Berisik pula.

Permainan mencocokkan ini membuatku keasikan sendiri. Aku bermain dengan dua nama. Haha... Satu untuk menguji kemampuan sekali jalan, yang satu lagi untuk selalu mencetak angka "Ahli" alias "Expert" dalam setiap fase. Rupanya susah juga. Haha..

Ada lagi permainan yang membuatku ingin mencetak rekor baru, yaitu permainan mahjong di handphone suamiku. Aduh kesel banget rasanya. Tadi gara-gara telat sepersekian detik saja langsung game over. Sebel deh... Kan jadi harus ngulang lagi. Pfuih..

Untungnya sih nggak sampai keterlaluan sukanya sama main game. Masih bisa ngerem lah.. Nggak sampai lupa makan (wah ini sih nggak mungkin lupa :D), lupa pekerjaan rumah, lupa diri. Nggak lah alhamdulillaah... Jadi boleh dibilang nggak sampai addict. Toh seminggu nggak main game itu pun nggak masalah asalkan ada game yang lain. Haha..

Cuma satu nih yang belum kucoba, main game online. Bakalan ketagihan nggak ya? ;)

Sabtu, 20 Juni 2009

Minggu Ke-5

Ini adalah pekan kelima kehamilanku. Alhamdulillah masih kurasakan mual, pusing, dan lemas. Beberapa kali makanan yang kumakan ke luar lagi.

Yang aku rasakan, nafsu makanku begitu hebat. Tapi begitu membuka rice cooker, langsung susut. Baunya bikin mual. Akhirnya aku hanya mengambil nasi tiga perempat dari porsi normalku. Memakannya pun rasanya penuh perjuangan karena harus berkutat dengan rasa mual yang melanda saat makan. Setelah makan rasanya kenyang sekali sampai-sampai perut serasa penuh. Tapi sekitar dua jam kemudian, rasa lapar yang hebat melanda lagi.:D

Pusing juga kualami sejak dua pekan lalu. Setiap siang hari aku merasa pusing dan badanku lemas sekali. Inginnya cuma rebahan. Badan juga berasa gerah terus jadinya aku seperti Puteri Jepang. Berkipas melulu. Jantungku juga serasa berdegup lebih kencang daripada biasanya. Apalagi siang hari. Wuih jadinya cape.

Sekarang baru merasakan tepatnya menentukan berhenti bekerja. Dalam keadaan seperti ini, tak sanggup aku bekerja. Terlalu lelah. Tadi saja untuk menyetrika pakaian aku harus berhenti dulu sekitar 30 menit untuk kemudian melanjutkannya kembali. Alhamdulillah Mba tukang gosok yang kemarin sakit sudah sembuh jadinya bisa meneruskan pekerjaanku. :)

Tuh pusingnya sudah kembali menyerang. Jadinya sempoyongan nulisnya nih. Hehe..
Istirahat dulu ah..

Perfume, The Story of A Murderer


Itu adalah judul novel yang pernah kubaca beberapa waktu yang lalu. Iseng, sebenarnya. Nggak niat baca tapi disodorin buku itu dan saat itu belum punya buku bacaan yang sangat ingin dibaca, ya akhirnya dibaca juga novel karya Patrick Sueskind, penulis asal Jerman.

Menarik. Memang buat saya rasanya sulit membayangkan seseorang memiliki kemampuan penciuman sedemiakian hebat seperti yang dimiliki Jean-Baptiste Grenouille. Tapi lepas dari itu, saya rasa dia harus diacungi jempol. Dia orang yang tahu kemampuannya dan gigih berupaya agar bau yang selama ini begitu menggetarkan jwanya bisa ia dapatkan lagi. Walaupun caranya tidak terpuji. Nah kalau soal ini, nggak setuju lah.

Nah tadi saya menyaksikan visualisasinya lewat film. Jalan ceritanya sedikit banyak sama dengan novelnya. Tidak mengecewakan. Hanya saja rasa yang saya dapatkan saat membaca novelnya dengan menonton filmnya sangat berbeda.

Sewaktu membaca novelnya, saya seperti mengikuti alur pikir si Grenouille sang pembunuh. Seolah-olah saya menjadi dia (aduh serem amat ya..). Tapi begitu melihat filmnya, sangat berbeda. Saya hanya menjadi orang luar yang tidak ikut serta di dalamnya. Bukan berarti buruk sebenarnya. Hanya saja kebengisan, dinginnya darah Grenouille yang saya dapatkan saat membaca novel malah jadi rasa kasihan begitu melihat filmnya. Jauh berbeda. Adakah yang salah di sini?

Jumat, 19 Juni 2009

Mari Menulis!!

Aku membaca sebuah milis tentang pengumuman pemenang lomba menulis artikel. Bukan ingin tahu siapa pemenangnya, tapi takjub saja karena milis yang selama in adem ayem dengan informasi yang itu-itu saja (pernikahan, kelahiran anak, forward-an milis tetangga dll) dengan tokoh yang berganti-ganti atau malah bisa muncul dua sampai tiga kali (hehe anaknya lahir melulu), tiba-tiba jadi agak seru. Beberapa orang yang semula tidak peduli dengan tulis-menulis di blog, jadi peduli. Lumayan juga kan reaksinya...

Menulis seperti hal yang mudah, tapi begitu dicoba, wah putar-putar Jakarta, Ancol, Monas tuh otak kita (maksudku, bagi yang tidak terbiasa menuangkan isi kepalanya dengan cara menulis). Sampai sekarang juga aku masih seperti itu. Rasanya menuangkan isi kepala dalam bentuk tulisan seperti membuat peta ke rumah semut lalu menggambarkan isi di dalam rumah itu. (Lebay pisan nya?)

Tapi itulah yang aku rasakan saat ini. Isi kepala tidak melulu berakhir dengan artikel, cerpen, puisi. Bisa saja berupa ocehan seperti yang aku lakukan saat ini. Seandainya ada pakar bahasa yang mengatakan, ocehan ini bukan karya, ya jangan marah. Ini memang ngoceh dibantu jari. Hihi...
Tapi memang, menulis akan jauh lebih baik jika penulis kaya kosa kata. Tidak monoton. Tentunya, resep utama rajin membaca. Dua hal: baca tulis. Kegiatan utama yang diperkenalkan semasa TK atau SD kelas 1 dulu rupanya memang berdampak luas sampai tua. Dua keterampilan dasar yang bisa melahirkan orang-orang luar biasa. Sebagian besar dari mereka karena senang membaca dan atau rajin menuangkan isi kepalanya lewat tulisan, entah itu untuk dikonsumsi sendiri ataupun untuk dipublikasikan.

Kalau boleh berpendapat bebas (boleh dong ya...) sekarang ini orang jadi lebih mudah mengaktualisasikan diri lewat karya tulisnya, apapun bentuknya. Berbagai blog adalah sarana yang baik untuk itu. Guru bahasa di sekolah-sekolah harusnya bisa menjadikan perkembangan teknologi dan kemasyarakatan ini untuk menilai anak didiknya. Ya biarkan mereka berkembang sesuai zamannya. (Walah gaya pisan...). Biarkan mereka menulis apa pun diblog dan guru menilainya. Jadi nggak melulu di kelas membuat kerangka karangan dengan suatu tema lalu mengarang indah dengan panjang karangan maksimal dua halaman folio. Hehe…pengalaman masa lalu banget ya?

Sayangnya belum ada penelitian yang mengemukakan tentang hal ini: sejauh mana peranan situs-situs pertemanan dan blog meningkatkan minat baca/kemampuan menulis/menambah kosa kata/atau yang lainnnya. Mungkin para peneliti bisa terilhami setelah membaca ocehan saya ini (idih PD banget ya bakalan ada yang baca? =p)

Sebagai orang awam, menurut saya hal ini patut dicoba. Anak-anak di Indonesia memang belum gila computer apalagi gila internet. Padahal kemajuan zaman tak terlepas dari teknologi dan merekalah yang akan menjadi penerus pembangun negeri ini.
Coba saja kita tengok Pulau Jawa. Silakan hitung lebih banyak mana anak-anak usia sekolah yang melek komputer dan internet dengan yang buta komputer dan internet. Saya bukan peneliti jadinya tidak pernah tahu angkanya. Tapi dari beberapa obrolan yang saya comot sana sini, cukup memprihatinkan.
Salah satu keponakan dari seorang kawan saya salah satunya. Ia mengunjungi kawan saya yang dipanggilnya ”om” itu. Ia sangat takut sewaktu diminta duduk di depan komputer. Saat itu kawan saya sengaja mengajaknya duduk bersama di depan komputer dan bermaksud mengajarinya. Tak disangka, ia takut mengetikkan jari-jarinya di tuts keyboard ataupun memegang mouse. Tentu saja, ia juga segan terhadap omnya. Mungkin ia merasa malu karena di usianya yang ke 14 tahun ia belum akrab dengan komputer.

Kawanku meminta anaknya yang baru berusia lima tahun untuk mengajak kakaknya bermain game di komputer. Menurutnya, bermain game menyenangkan dan memudahkannya mengenal komputer. Dan tentu saja, kalau dengan anak kecil, dia tidak canggung. Kawanku meminta keponakannya untuk sering bertanya pada anaknya. “De, kakak mau ngetes ade maen game nih” tujuannya biar keponakannya tidak tengsin dengan adik sepupunya sendiri. Meski awalnya lambat tapi cara seperti ini lumayan efektif untuk memperkenalkan anak dengan komputer.
Miris mendengarnya. Keponakan kawanku itu bukan datang dari pulau kecil di tengah samudera yang sulit dijangkau alat transportasi. Ia berada hanya puluhan kilometer saja dari pusat ibu kota.

Sewaktu masih aktif mewawancarai orang dahulu, saya sempat ngobrol (bukan berarti mereka boleh mengambil Ambalat lo.. enak aja!!) dengan Ibu Sumarlin. Ia bercerita tentang negara tetangga, Malaysia . Ia mengacungkan jempol untuk Mahatir Muhammad yang semasa pemerintahannya berhasil mengomputerkan masyarakat Malaysia dari yang kaya sampai yang miskin. Caranya mudah. Ia mengeluarkan kebijakan untuk mencairkan dana asuransi warga negara yang ingin membeli komputer. Kebijakan ini hanya berlaku satu tahun. Berbondong-bondonglah orang membeli komputer. Daripada uang asuransi tidak cair, mendingan dibelikan komputer, iya kan? Hasilnya, warga Malaysia belajar mengoperasikan komputer dan berkenalan dengan internet. Mereka tidak canggung lagi saat di level dunia komputer dan internet sudah bukan merupakan barang mewah melainkan barang wajib bagi mereka yang tak ingin tergerus zaman.

Menurut saya, kebijakan praktis seperti ini perlu dilakukan juga di Indonesia. Mungkin caranya tidak sama, tapi setidaknya langsung menuju sasaran. Mungkin bisa melalui subsidi. Jadi masyarakat berdaya beli rendah bisa membeli komputer dengan harga murah. Pemerintah juga sepantasnya memberikan tarif murah berinternet. Ini juga salah satu upaya mencerdaskan bangsa, saya rasa.

Senin, 15 Juni 2009

Baru Sekarang Aku Rasakan

Selama ini hanya mendengar cerita orang.
"Rasanya nggak enak," begitu yang sering kudengar.

Sejak pekan lalu aku merasakannya. Mual, kepala pusing, mules tapi nggak bisa ke luar alias sembelit, lapar tapi susah buat memasukkan makanan ke mulut, everytime everywhere.

Hamil, ya itu sebabnya aku merasa seperti itu. Alhamdulillah keinginan kami, aku dan suamiku, memiliki momongan sudah memperlihatkan gejalanya. Mudah-mudahan ini adalah rizqi kami yang Allah ridhoi.

Mual, pusing, sembelit kurasakan nyaris setiap waktu. Banyak ingin makan segala sesuatu tapi sulit perut ini menerima. Kupaksakan saja tapi beberapa kali ke luar lagi. Terus terang aku bingung karena merasa tidak memberikan nutrisi yang baik untuk calon anakku tapi makanan yang kulahap keluar lagi.

Duh Gusti, kuatkan diri ini...

Eh tapi aku nggak setuju kalau dibilang hamil itu nggak enak. Walaupun demikian kondisi fisikku ditempa, aku ingin menikmatinya... Bukan masalah enak atau tidak enak. Kini aku rasa saatnya aku mensyukuri... Aamiin...

Hehe..kalimatnya aneh ya kali ini. Nggak apa-apa deh masih bisa bikin kalimat juga bagus di tengah menikmati nyut-nyut di kepala... :)

Kamis, 11 Juni 2009

buat ibu hamil

Hanya ingin bagi-bagi aja. Ada situs bagus buat lihat perkembangan bayi dari minggu ke minggu di www.i-am-pregnant.com ada foto bayi-bayi kembar di dalam kandungan juga lo...
Untuk ibu-ibu yang tengah hamil dan merasa mual, ada cara alami untuk menguranginya. Anda bisa memakan ubi atau singkong. Boleh dikukus atau digoreng, sesuai selera. Hanya saja lebih baik dikukus karena tidak mengandung lemak dari minyak goreng. Tapi untuk yang tidak selera, boleh saja digoreng asalkan minyaknya masih baru, bukan bekas pakai.
Silakan mencobadan selamat menjadi ibu!! :)

Rabu, 10 Juni 2009

Menakar Diri


Buku ini aku tunggu, Maryamah Karpov, buku terakhri dari tetralogi Laskar Pelangi. Cukup cepat aku membacanya, sekitar dua hari beberapa bulan lalu. Sudah dewasa rupanya Andrea Hirata dalam menulis novel. Kalimat-kaimatnya bersahaja, ringan, tapi menohok. Dan satu hal yang menonjol di paruh pertama novel keempatnya itu: kocak, jenaka.


Di tengah keasikan dan haha hihi membaca novel itu, aku menemukan sebuah penyadaran diri yang sebenarnya umum, hanya lebih sering terlupakan. Atau kalau boleh jujur, sengaja melupakan.


Menakar diri kelewat tinggi. Aku lupa di mozaik keberapa Andrea membahasnya. Yang kuingat, pesan tak bersuara itu hadir ketika di dalam cerita, Ikal pulang kampung mengendarai mobil bekas PN Timah yang sudah reot. Bang Zaitun, musisi kampung dengan dandanan hebohlah yang menjadi nahkodanya. Dalam perjalanan itulah Ikal menyadari jika selama ini ia menakar diri terlalu tinggi. Padahal, ya kalau wajahnya sudah dangdut mah dangdut saja, tak usah diubah untuk jadi jazz, atau bahkan seriosa.


Ini pula yang kurasakan pada diri. Selama ini aku memposisikan diri kelewat tinggi padahal aku belum pantas untuk berada di kursi yang mengangkasa itu. Akibatnya, sering oleng. Atau tanpa kusadari jangan-jangan aku sudah jatuh dan malah mungkin tertimpa kursi yang kududuki itu. Waduh!


Usiaku sudah 28 tahun. Bisa jadi selama itu pula aku menakar diri terlalu tinggi. Terkadang barangkali malah merendahkan diri sendiri. Entahlah. Eh, ngaku aja deh memang aku begitu. Cuma ga mau cerita rinci ah, malu..


Tanpa disadari atau mungkin saja disadari, kita memposisikan diri dengan melihat orang lain. Kebanyakan sih, melihat strata sosial. Coba saja tanya pada diri sendiri apakah kita akan bersikap sama saat bertemu dengan Andrea Hirata dulu dan sekarang? Jika kita bertemu dengannya ketika ia masih berkutat dengan kehidupannya di Belitong, apakah kita akan mengelu-elukannya, atau minimal mengajaknya ngobrol seperti harapan kita (para penggemar Laskar Pelangi) saat ini ketika bertemu Andrea Hirata, si Ikal yang membukukan memori masa kecilnya itu? Jujur sajalah, tanya diri sendiri.


Usai membaca buku itu, aku bersyukur dengan kondisiku saat ini, apapun itu. Aku punya yang aku butuhkan. Aku tak perlu berpusing ria dengan apa yang aku inginkan. Pagi tadi aku merenung sebentar. Hasilnya, aku sudah mendapatkan kebutuhanku. Tinggal dirawat, dijaga, dipelihara, dipercantik, sehingga tidak menjadi kekurangan. Soal apa mauku, ya belum tentu kubutuhkan.


Jika ditanya apa mauku, wah daftar panjang yang sepertinya tak pernah berujung akan menjadi jawabnya. Sementara semuanya itu belum tentu kubutuhkan. Misalnya saja home theater lengkap dengan sound system dan karpet kedap suara untuk dipasang di kamarku. Tapi apakah itu kebutuhanku? Rupanya bukan (atau kalau masih boleh berkeinginan sih, jawabannya belum. Hehe..) Kebutuhanku saat ini adalah bercengkrama dengan anggota keluarga. Di depan televisi adalah salah satu arenanya. Bertumpuk tumpah ruah dalam satu ruangan menyaksikan tayangan di layar kaca. Tontonannya hasil kompromi bukan sekehendak sang penguasa remote control, diselingi komentar sana-sini yang menyemarakkan acara dari sisi luar, bagi-bagi cemilan. Ya, itu yang masih menjadi kebutuhanku barangkali (deuh…berlagak jadi pemikir positif nih ceritanya).


Atau jangan-jangan Cuma buat menyenangkan diri sendiri saja? Hehe…Apapun itu, sedikit pengalaman Ikal itu membantuku menyadari diri. Kesadaran bisa datang kapan saja, di mana saja, dari siapa saja, kan? Tidak melulu harus datang dari mulut orang pintar, di tempat ibadah, atau apalah. Jika kita justru terbuka matanya ketika membaca novel seorang penulis pemula, that’s ok I think.

Selasa, 09 Juni 2009

Kangen Bacaan SMP


Hari ini buka-buka blog beberapa orang, mulai dari yang dikenal sampai yang tidak. Ada satu orang yang menawarkan buku gratis dengan mengadakan kuis. Pertanyaannya adalah "Buku apa yang mengubah hidupmu?"

Terus terang, aku mengikuti kuis ini. Penasaran aja. Hehe.. Tapi bener-bener deh, susah jawabnya. Pasalnya, smpai saat ini, belum ada buku yang sebegitu mendalam berarti untukku. Mungkin terdengar sombong tapi begitulah kenyataannya. Segala jenis buku kulahap meski tidak sesering ibu pembuat kuis. Makna buku tersampaikan, sudah itu saja. pakah membuatku mengubah hidup? Rasanya itu membutuhkan banyak faktor, bukan hanya sekadar setelah membaca satu buku langsung hidupku berubah.

Kalau ditanya kapan mulai menyukai membaca buku, nah mungkin jawabannya waktu SMP. Waktu SD, iya juga sih, tapi bukunya yang masih banyak gambarnya ketimbang tulisannya. Plus pembaca setia majalah Bobo. Hehe..

Waktu SMP, entah kenapa (aku lupa kenapa aku sampai ke sana) aku mengunjungi perpustakaan sekolah. Seperti kebanyakan perpustakaan sekolah di Indonesia (saya kira begitu), kondisinya memprihatinkan. Ruangannya gelap, berdebu, bau buku lama karena memang jarang ditambah koleksinya, dan yang pasti sepi.

Aku yang memang menyukai suasana sepi, malah jatuh cinta dengan tempat itu. Aku malah mendaftar sebagai pustakawan dari kelasku. Di SMP-ku, setiap kelas diminta dua orang menjadi pustakawan untuk menjadi pengurus perpustakaan. Lebih tepatnya sih mengurus teman-teman sekelas yang hendak meminjam atau mengembalikan buku perpustakaan. Sudah pasti, pekerjaanku hanya diam di perpustakaan tanpa harus melayani siapapun. Toh jarang sekali ada yang berminat mengunjungi perpustakaan.

Sebagai pustakawan, aku mendapat kesempatan meminjam buku perpustakaan lebih banyak. Jika yang lain hanya boleh meminjam dua buku per peminjaman, aku empat buku. Semangatlah aku membaca buku. Herannya, buku-buku yang kubaca di sana adalah karya sastra Indonesia era pujangga lama dan baru. buku-buku seperti Salah Asuhan, Layar Terkembang, Belenggu, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Tak Putus Dirundung Malang, Bagai Pungguk Merindukan Bulan, dan lainnya, aku habiskan kala SMP. Sementara temanku yang lain lebih memilih berlangganan majalah Gadis, Aneka Yess, Kawanku, dan lainnya. Bukannya aku tak membaca majalah itu, tapi tidak menjadi prioritas utama.

Bagiku, senang saja membaca buku-buku itu. Bahasanya tidak biasa. Jadul, kalau kata anak-anak jaman sekarang. Dari tuturan penulis, imajinasiku terbawa ke era jaman penjajahan dan bagaimana perlakuan yang pribumi terima saat itu, baik mereka yang priyayi maupun jelata.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk adalah salah satunya. Buku tebal pertama yang kulahap habis dan membuatku tersenyum sekaligus sedih. Buya HAMKA menuliskannya dengan indah. Tokoh yang berada dalam novel itu tidaklah banyak namun penggambaran kesedihan, keceriaan, semangat, cinta pada Tuhan begitu indah. Saat itu saya tidak tahu siapa HAMKA. Namun seiring berjalannya waktu, saya kagum dengannya. Ulama yang sempat dipenjara namun di dalam keterpasungannya ia melahirkan tafsir Al Quran. Ulama yang tutur bahasanya baik (saya percaya itu karena sudah melihatnya dari novel yang saya baca). Tapi ya itu, seperti yang saya bilang di atas, buku ini tidak mengubah hidup saya tapi membuat saya senang.

Terus terang, sampai saat ini saya merindukan saat di mana saya begitu bersemangat membaca seperti halnya ketika SMP. Saya rindu bacaan-bacaan masa itu yang saya lupa judulnya. Beberapa sempat saya beli saat pameran tapi entah di mana saya menyimpannya. Mungkin di rumah ibu di Bandung. :D

Bagaimana saya bisa kembali menemuka semangat saya seperti halnya ketika SMP dulu?

Sabtu, 06 Juni 2009

Jiplak

“Lirik Rolling Stones aja bisa dijiplak apalagi punya kamu!” kata seorang lelaki pada kawannya. Kawannya itu hanya mengangguk-angguk. “Bener juga ya. Siapa gue?” sahutnya sambil tertawa.

Percakapan itu tentang niatan si kawan untuk mempublikasikan karya-karyanya. Entah itu puisi, cerpen, artikel, atau apa saja. Dia memang tengah giat menulis. Katanya, luapan ide di kepalanya sedang deras mengalir. Hanya saja dia khawatir publikasi yang diniatkan itu justru malah jadi malapetaka. Ia cemas jika karyanya akan dijiplak. Dia memang berniat mempublikasikannya di dalam blog.

Si lelaki ini memberikan usulannya untuk menyimpannya dalam bentuk yang lain dan mempublikasikannya dengan cara yang lain pula. Sayangnya saya tidak mendengarkan dengan jelas usulan yang dimaksud. Maklum, saya nguping. Hehe.

Memang, wadah seperti blog gratisan menjadi sarana yang baik para penulis pemula. Apapun yang ditulisnya pasti ada yang baca. Minimal teman-temannya sendiri. Ketika tulisan itu tentang ocehan atau kegiatan yang dilalui seseorang dalam perjalanan hidupnya, barangkali tidak menjadi masalah. Namun ketika yang ditulis berupa karya tulis, ini bisa jadi masalah.

Bisa saja karya berupa puisi milik seseorang dijiplak lalu dijadikan lagu oleh orang yang berkunjung ke blog si penulis. Lirik diklaim sebagai milik pencipta lagu. Penulis puisi hanya gigit jari ketika tahu puisinya dijiplak. Makna puisi dan lirik tak berbeda hanya diberi tambahan ini dan itu dan dihilangkan di bagian ini dan itu. Serupa tapi tak sama. Seperti nama kuis di koran edisi Hari Minggu ya? Hehe.

Atau bentuk lain lagi. Membuat karya tulis berupa cerpen dan dipublikasikan di blog tiba-tiba muncul karya serupa di sebuah majalah terbitan ibu kota dengan judul, nama tokoh, nama tempat, dan gaya penulisan yang berbeda. Dongkol bukan?

Hal-hal seperti ini sepertinya bukan hal yang baru satu atau dua kali terjadi. Hanya saja yang menjadi korban tidak merasa bisa berbuat apa-apa. Atau parahnya lagi tidak tahu jika karyanya dijiplak. Malah mungkin orang-orang yang berkunjung ke blog-nya menilai si penulis aslilah yang menjadi penjiplak. Berputar 180 derajat rupanya.

Kamis, 04 Juni 2009

Yuk Senyum!!


Pernah mencoba menghitung sudah berapa kali Anda tersenyum sejak lahir? Mungkin kejauhan ya? Hari ini saja, coba hitung berapa kali Anda tersenyum?

Kalau belum tersenyum, coba deh tersenyum. Ini saya kutip dari blog-nya Mr Inner Smile (izin ya mister)
Banyak ahli yang menyarankan untuk tersenyum karena:

1. Senyum dan tawa akan mengurangi rasa nyeri dan sakit bahkan meningkatkan kekebalan tubuh (dr. Rosemary Cogan dari Texas Tech University).

2. Jika manusia berada dalam kondisi cemberut atau jarang tersenyum dan tertawa (stres) maka hormon adrenalinlah yang dilepaskan tubuh. Hormon tersebut justru merusak daya tahan dan kinerja organ tubuh hingga menyebabkan beberapa penyakit. Hidup penuh dengan senyum dan tawa akan terasa lebih segar serta bermanfaat dalam menekan stres. Meskipun berlangsung hanya sesaat, ternyata asenyum dan tawa memiliki pengaruh yang dapat bertahan cukup lama (Dra Tieneke Syaraswati ,S.Psi,S.Ed,M.Fil,A.Andr, psikolog dan dosen pengajar FKUI).

3. Senyum dan tawa juga menyehatkan jantung. Budhi Setianto, ahli penyakit jantung Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta mengatakan, dengan tawa, jantung jadi tidak berdebar terlalu kencang. Tertawa bisa membuat saraf simpatis (saraf yang membuat jantung berdenyut) akan bekerja. Pada awalnya, kerja jantung bertambah keras. Tapi, ketika tawa terus berlanjut, pikiran orang jadi rileks. Saraf parasimpatis ikut bekerja. Kerja jantung pun kembali normal. Saraf parasimpastis berfungsi melambankan denyut jantung.

4. Membuat kita awet muda. Prof. Dr. Lucille Namehow, seorang pakar yang menangani proses penuaan dari Connecticut, AS mengungkapkan fakta bahwa tertawa bisa membantu mereka yang sudah tua renta untuk tetap awet tua, sementara yang muda tetap awet muda, serta mempererat hubungan antara anggota keluarga.

5. Senyum dan tawa juga sangat baik untuk mereka yang sehat. Dr William Foy dari Universitas Stanford menyatakan, tertawa terpingkal-pingkal akan menggoyang-goyangkan otot perut, dada, bahu, serta pernapasan, sehingga membuat tubuh seakan-akan sedang joging di tempat. Sesudah tertawa, tubuh terasa rileks dan tenang, sama seperti orang habis berolahraga. Tertawa juga akan melatih diafragma torak, jantung, paru-paru, perut, dan membantu mengusir zat-zat asing dari saluran pernapasan. Di samping itu tertawa sangat ampuh untuk meringankan sakit kepala, sakit pinggang, dan depresi.

Jadi, kenapa masih enggan tersenyum? Senyumlah ke semua orang yang Anda temui. Selain senang, Anda juga sehat dan disenangi orang lain. Lagipula senyum kan ibadah.
Let's smile!!!

Rabu, 03 Juni 2009

Pelangi di Mata Orang Tua


Kalimat yang kujadikan judul kali bukan kata-kataku. Itu kukutip dari sambutan wakil wisudawan saat pengambilan sumpah dokter gigi di Savoy Homann, Bandung, Selasa lalu.

Ya, hari itu aku lihat pelangi di mata kedua orang tuaku. Bahkan bapak yang memang perasa, lebih dulu menitikkan air mata jauh sebelum acara pengambilan sumpah dilaksanakan. Aku yang duduk di sebelahnya jadi terhanyut dan tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya menggenggam tangannya yang kurasa sudah mulai kurus karena usia. Begitu sumpah diucapkan, terasa sekali kegagahan dalam diri ini muncul. Padahal bukan aku yang mengucap sumpah :)

Ketika masing-masing wisudawan dipersilakan menemui keluarga, kulihat pelangi di mata kedua orang tuaku kian bersinar. Tak ada kalimat apa pun yang ke luar daru mulut keduanya. Mata mereka sudah mengatakan semuanya.

Lega, itulah yang dirasakan kedua orang tuaku. Mereka sudah berhasil mengiringi kami, ketiga anaknya sampai pada gerbang pendidikan tinggi. Memang, mereka pernah berkata hanya bisa membiayai kami sampai sini. Jika lebih tinggi lagi, ya harus berusaha sendiri :)

Tak apa. Itu memang tugas mereka. Kami pun sangat bersyukur bisa diberi kesempatan, dorongan, doa, kesabaran, dan keroyalan materi (ini juga kata-kata sambutan wakil wisudawan :P) dari mereka. Itu saja tak sanggup kami kembalikan. Sangat kejam jika kami meminta lebih. Justru sekarang saatnya bagi kami yang memberikan kesempatan, dorongan, doa, kesabaran, dan keroyalan materi kepada mereka.

Ibu, bapak, terima kasih sudah menjadi orang tua yang sempurna bagi kami. Meski dengan keterbatasan kalian, kami bisa sampai di sini. Kami tak akan bisa jika kami tak diberi anugerah oleh Allah Swt orang tua seperti kalian.

Senang sekali kami melihat pelangi di mata kalian, ibu bapakku. Semoga pelangi ini abadi karena terletak di mata kalian, bukan di langit biru yang segera hilang saat cuaca berganti.

Senin, 01 Juni 2009

Kalau Aa Gym Main Sulap




Sebenarnya nyadarnya sih udah lama, tapi baru berani nulis sekarang. Bagi yang mengikuti acara The Master di RCTI setiap Jumat malam, pasti tidak asing dengan nama Joe Sandy. Dia adalah pemenang The Master Session 1 dan juga menjadi kandidat The Master bersama Limbad sang pemenang The Master session 2. Pada duel The Master, Joe Sandy jadi pemenangnya. Makanya gelar Master pun kini menempel padanya.

Bukan kegemilangan permainan angkanya yang ingin saya bicarakan, tapi tampilan fisiknya. Kalau diperhatikan, dia mirip dengan Aa Gym, dai kondang asal Bandung. Bukan hanya tampilan fisiknya saja, tapi juga suaranya dan gaya bicaranya. Keduanya mirip.

Kalau melihat Joe Sandy beraksi, cobalah sesekali memejamkan mata. Bisa dirasakan kemiripan suara dan gaya bicara antara Joe Sandy dan Aa Gym. Terasa seperti Aa Gym sedang main sulap. :-)



Jadi rupanya bukan hanya Aa Jimmy saja yang mirip AaGym. Ada satu lagi pesohor negeri yang menjadi orang ketiga, Joe Sandy. Faktanya, ketiga orang ini berasal dari Bandung. Apakah mereka punya hubungan saudara? Saya tidak tahu. Tapi yang jelas, kemiripan yang nyaris sama seperti ini enak juga untuk dinikmati. Seperti berbelanja beli 2 gratis 1.