Jumat, 16 April 2010

Lahiran Pertama

Alhamdulillah aku sudah melahirkan. Kini aku benar-benar jadi Ibu Rima seperti namaku di blog ini ;). Luar biasa menakjubkan mendapati diri berubah status. Ada makhluk kecil yang keluar dari tubuh ini dan terus tumbuh berkembang.

Aku melahirkan pada 1 Februari 2010. Dokterku bilang, "Wah angka cantik nih Rim, 01022010". Saat itu aku tengah diperiksa dan pembukaannya tak bertambah setelah semalaman menginap di klinik. Aku hanya menjawab, "Wah boro-boro mikirin angka cantik, Dok. Pokoknya anak ini harus keluar hari ini". Maklum sudah 40 pekan. Aku khawatir jika terjadi apa-apa kalau tak segera dilahirkan. Apalagi hasil USG menyatakan anakku terlilit tali pusat dan lamban masuk ke jalan lahir.

Akhirnya dokter bertanya, "Kamu tetap mau caesar atau coba induksi? Kalau caesar, saya baru bisa malam nanti. Kalau induksi tunggu 8-12 jam sampai bukaannya sempurna".

Saat itu sekitar jam 11 siang. Kupikir kalaupun caesar, akan dilakukan malam hari. Ah, daripada menunggu malam tanpa melakukan aktivitas apapun, aku memilih induksi. Toh jika memang bisa melahirkan normal dengan induksi, tetap saja lahirnya malam. Paling tidak aku sudah berusaha melahirkan normal. Jika memang kelak harus caesar, setidaknya aku tidak penasaran.

Akhirnya aku disuruh makan dulu karena bidannya bilang, "Setelah induksi, ibu ga mungkin ingat makan". Saat itu aku berpikir, ah masa sih. Tapi aku menurut saja.

Sekitar pukul 12.30 aku disuntik induksi. Tabung berjalan itu kubawa ke mana pun kupergi. Aku diminta banyak berjalan. Boro-boro jalan. Setiap lima menit aku merasa mulas luar biasa. Karena itulah akupun dipakaikan pakaian pasien. Akupun harus mengosongkan usus supaya tidak ada kotoran yang keluar dari dubur saat mengedan.

Mulai pukul 14.30 rasa mulas menggila. Otakku tak bisa berpikir apapun selain meminta maaf dan ampun pada suami dan ibuku. Keduanya saat itu menemaniku di ruang bersalin. Alhamdulillah yang keluar dari mulutku kalimat-kalimat yang baik, bukan umpatan. Konon katanya ada yang suka menyebut-nyebut kata-kata tak pantas saat mulas.

Kurang lebih satu jam setengah dari mulas menggila itu, datanglah dokter anastesi. Dia datang terlambat karena macet di jalan. Dokter Panca namanya. Dia menyuntik bagian tubuh di sekitar tulang punggungku. Namanya suntik ILA atau lebih dikenal suntik anti sakit.

Benar saja. Begitu disuntik, aku langsung lemas dan tertidur. Aku baru bangun sekitar pukul 18.00. Kulihat hanya ibuku dan seorang bidan yang menemani. Suamiku rupanya tengah mencari penjual makanan dan membeli makan malam untuk ibuku yang sedari siang belum makan.

Akupun belajar mengedan. Rupanya suntik ILA tidak menyebabkan aku berhenti berkontraksi. Hanya tidak terasa. Beberapa kali aku belajar lantas bidan-bidan itu keluar ruangan. Tak lama datanglah dokter Okky, dokter kandunganku bersama dua orang bidan.

Setelah menyapa, dia berkata, "Oke, Rim. Kita lihat air ketubannya ya. Kalau keruh kita lanjut normal tapi kalau hijau, terpaksa kamu ta caesar". Terus terang aku kesal mendengarnya. Setelah melawan mulas yang tiada terkira, masa iya akhirnya aku harus caesar juga? Tapi itu semua langsung hilang saat ketubanku dipecahkan. Air ketubanku berwarna keruh, bukan hijau. Maka akupun diupayakan melahirkan normal. Alhamdulillah..

Allah memang Maha Pengasih dan Penyayang. Ia juga Maha Pengabul Doa. Tidak lama, hanya sekitar lima kali mengedan anakku lahir dari rahimku. Tali pusatnya melingkari leher dua kali. Anakku normal, laki-laki dengan berat 3,23 kg dan panjang 48 cm. Bayi terindah yang pernah aku lihat. Namanya Malik Muhammad Faiz, pemimpin terpuji nan beruntung. Kami memanggilnya Faiz, manusia beruntung.

Aku tak diperkenankan menemui bayiku. Sementara bayi dibersihkan, aku mendapatkan jahitan. Aku juga tak boleh bangun dari tempat tidur lantaran ILA. Larangan ini berlaku sampai keesokan pagi.

Apa daya diri ini tak boleh bertemu anak tercinta. Padahal memegangnya pun aku belum sempat. Aku tak bisa tidur semalaman. Anakku malam-malam menangis. Aku yakin sekali itu suara anakku karena hanya ada dua bayi ketika itu, bayiku dan seorang bayi perempuan. Tangisannya terdengar lebih kelaki-lakian. Sok tahu yak hehe...

Begitu pagi menjelang dan diperbolehkan bangun, buru-buru aku mandi dan menemui puteraku. Ya Allah betapa lucunya anakku. Cakep dan menggemaskan.

Anakku saat itu sedang dimandikan. Setelah selesai, bidan memberikannya padaku dan diminta untuk disusukan. Kami berdua mencobanya di kamar. ASI-ku belum juga keluar. Anakku menangis. Aku kesakitan. Bidan mengatakan, tidak apa-apa. Aku diminta terus melakukannya setiap kali dia menangis. Katanya sama-sama belajar. Dia belajar menghisap, aku belajar menyusui. Lama-kelamaan akan keluar dengan sendirinya. Bayi pun tak sedang kekurangan nutrisi karena masih ada sisa dari dalam kandungan. Jadinya tidak perlu khawatir. Kata bidan, biasanya kondisi ini berlangsung sampai empat hari.

Hari itu sampai malam hari bayiku di kamar bersamaku. Aku tak menyerahkannya ke ruang bayi. Aku memang lelah dan butuh istirahat tapi rasanya enggan jauh dari anakku. Dia kami tunggu sejak menikah 31 Maret 2007.

Semalaman bayiku menangis karena ASI-ku tak kunjung keluar. Akupun kesakitan karena belum pernah mengalami hal ini. Payudaraku serasa mau copot saking kerasnya anakku berupaya. Sampai-sampai bidan mendatangi kamarku dan menawarkan agar bayi kami beristirahat di kamar bayi sehingga aku juga bisa beristirahat. Aku menolaknya. Aku masih mau berusaha dan kuyakin bayiku juga. Kami sebelumnya sudah sama-sama berup

Lahiran Pertama

Alhamdulillah aku sudah melahirkan. Kini aku benar-benar jadi Ibu Rima seperti namaku di blog ini ;). Luar biasa menakjubkan mendapati diri berubah status. Ada makhluk kecil yang keluar dari tubuh ini dan terus tumbuh berkembang.

Aku melahirkan pada 1 Februari 2010. Dokterku bilang, "Wah angka cantik nih Rim, 01022010". Saat itu aku tengah diperiksa dan pembukaannya tak bertambah setelah semalaman menginap di klinik. Aku hanya menjawab, "Wah boro-boro mikirin angka cantik, Dok. Pokoknya anak ini harus keluar hari ini". Maklum sudah 40 pekan. Aku khawatir jika terjadi apa-apa kalau tak segera dilahirkan. Apalagi hasil USG menyatakan anakku terlilit tali pusat dan lamban masuk ke jalan lahir.

Akhirnya dokter bertanya, "Kamu tetap mau caesar atau coba induksi? Kalau caesar, saya baru bisa malam nanti. Kalau induksi tunggu 8-12 jam sampai bukaannya sempurna".

Saat itu sekitar jam 11 siang. Kupikir kalaupun caesar, akan dilakukan malam hari. Ah, daripada menunggu malam tanpa melakukan aktivitas apapun, aku memilih induksi. Toh jika memang bisa melahirkan normal dengan induksi, tetap saja lahirnya malam. Paling tidak aku sudah berusaha melahirkan normal. Jika memang kelak harus caesar, setidaknya aku tidak penasaran.

Akhirnya aku disuruh makan dulu karena bidannya bilang, "Setelah induksi, ibu ga mungkin ingat makan". Saat itu aku berpikir, ah masa sih. Tapi aku menurut saja.

Sekitar pukul 12.30 aku disuntik induksi. Tabung berjalan itu kubawa ke mana pun kupergi. Aku diminta banyak berjalan. Boro-boro jalan. Setiap lima menit aku merasa mulas luar biasa. Karena itulah akupun dipakaikan pakaian pasien. Akupun harus mengosongkan usus supaya tidak ada kotoran yang keluar dari dubur saat mengedan.

Mulai pukul 14.30 rasa mulas menggila. Otakku tak bisa berpikir apapun selain meminta maaf dan ampun pada suami dan ibuku. Keduanya saat itu menemaniku di ruang bersalin. Alhamdulillah yang keluar dari mulutku kalimat-kalimat yang baik, bukan umpatan. Konon katanya ada yang suka menyebut-nyebut kata-kata tak pantas saat mulas.

Kurang lebih satu jam setengah dari mulas menggila itu, datanglah dokter anastesi. Dia datang terlambat karena macet di jalan. Dokter Panca namanya. Dia menyuntik bagian tubuh di sekitar tulang punggungku. Namanya suntik ILA atau lebih dikenal suntik anti sakit.

Benar saja. Begitu disuntik, aku langsung lemas dan tertidur. Aku baru bangun sekitar pukul 18.00. Kulihat hanya ibuku dan seorang bidan yang menemani. Suamiku rupanya tengah mencari penjual makanan dan membeli makan malam untuk ibuku yang sedari siang belum makan.

Akupun belajar mengedan. Rupanya suntik ILA tidak menyebabkan aku berhenti berkontraksi. Hanya tidak terasa. Beberapa kali aku belajar lantas bidan-bidan itu keluar ruangan. Tak lama datanglah dokter Okky, dokter kandunganku bersama dua orang bidan.

Setelah menyapa, dia berkata, "Oke, Rim. Kita lihat air ketubannya ya. Kalau keruh kita lanjut normal tapi kalau hijau, terpaksa kamu ta caesar". Terus terang aku kesal mendengarnya. Setelah melawan mulas yang tiada terkira, masa iya akhirnya aku harus caesar juga? Tapi itu semua langsung hilang saat ketubanku dipecahkan. Air ketubanku berwarna keruh, bukan hijau. Maka akupun diupayakan melahirkan normal. Alhamdulillah..

Allah memang Maha Pengasih dan Penyayang. Ia juga Maha Pengabul Doa. Tidak lama, hanya sekitar lima kali mengedan anakku lahir dari rahimku. Tali pusatnya melingkari leher dua kali. Anakku normal, laki-laki dengan berat 3,23 kg dan panjang 48 cm. Bayi terindah yang pernah aku lihat. Namanya Malik Muhammad Faiz, pemimpin terpuji nan beruntung. Kami memanggilnya Faiz, manusia beruntung.

Aku tak diperkenankan menemui bayiku. Sementara bayi dibersihkan, aku mendapatkan jahitan. Aku juga tak boleh bangun dari tempat tidur lantaran ILA. Larangan ini berlaku sampai keesokan pagi.

Apa daya diri ini tak boleh bertemu anak tercinta. Padahal memegangnya pun aku belum sempat. Aku tak bisa tidur semalaman. Anakku malam-malam menangis. Aku yakin sekali itu suara anakku karena hanya ada dua bayi ketika itu, bayiku dan seorang bayi perempuan. Tangisannya terdengar lebih kelaki-lakian. Sok tahu yak hehe...

Begitu pagi menjelang dan diperbolehkan bangun, buru-buru aku mandi dan menemui puteraku. Ya Allah betapa lucunya anakku. Cakep dan menggemaskan.

Anakku saat itu sedang dimandikan. Setelah selesai, bidan memberikannya padaku dan diminta untuk disusukan. Kami berdua mencobanya di kamar. ASI-ku belum juga keluar. Anakku menangis. Aku kesakitan. Bidan mengatakan, tidak apa-apa. Aku diminta terus melakukannya setiap kali dia menangis. Katanya sama-sama belajar. Dia belajar menghisap, aku belajar menyusui. Lama-kelamaan akan keluar dengan sendirinya. Bayi pun tak sedang kekurangan nutrisi karena masih ada sisa dari dalam kandungan. Jadinya tidak perlu khawatir. Kata bidan, biasanya kondisi ini berlangsung sampai empat hari.

Hari itu sampai malam hari bayiku di kamar bersamaku. Aku tak menyerahkannya ke ruang bayi. Aku memang lelah dan butuh istirahat tapi rasanya enggan jauh dari anakku. Dia kami tunggu sejak menikah 31 Maret 2007.

Semalaman bayiku menangis karena ASI-ku tak kunjung keluar. Akupun kesakitan karena belum pernah mengalami hal ini. Payudaraku serasa mau copot saking kerasnya anakku berupaya. Sampai-sampai bidan mendatangi kamarku dan menawarkan agar bayi kami beristirahat di kamar bayi sehingga aku juga bisa beristirahat. Aku menolaknya. Aku masih mau berusaha dan kuyakin bayiku juga. Kami sebelumnya sudah sama-sama berup