Selasa, 04 September 2012

Patah Hati, Jatuh Cinta (Karena ASI)

Teruntuk anakku, Malik Muhammad Faiz

Waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB. Kupandangi lelaki mungil lelap tidur di sebelahku. Mata beralih pada kalender di dinding. September 2012. Dua tahun tujuh bulan usianya kini. Secepat itu waktu berlari. Lelaki mungilku pun kini sedang gemar berlari.

Kugenggam lengannya. Aih… sudah jauh lebih lebar dari saat ia lahir dulu. Telapak tangannya sekarang empuk kemerahan. Jari-jarinya menggembung sehat. Kuku jarinya pun putih kemerahan, tebal, dan sudah bisa kuraba. Dua setengah tahun lalu tangan itu kisut dengan kuku yang sangat tipis. Buatku berkeringat dingin tiap kali mengguntingnya.

Eh, lelaki imutku menggeliat. Wajahnya berkerut sejenak. Kutepuk pelan dadanya lalu kucium keningnya. Kerutan itu memudar. Kuusap ubun-ubun kepalanya. Ah, tak lagi ada denyut di kepalanya. Denyut khas bayi yang baru lahir karena tempurung kepalanya belum menutup sempurna.

Masih kuingat betapa khawatirnya aku dengan lubang berbentuk elips memanjang di bagian tengah kepalanya saat itu. Dan kini ketika kuraba, mulus sudah tempurungnya. Rambutnya pun telah menebal dan hitam. Tak seperti dulu yang tipis dan kemerahan.

Kugeser pelan tubuhku merapat padanya. Hm…dulu kaulah yang merapat padaku. Membuka paksa kancing bajuku. Berucap sambil berharap “Nen, ibu!” Bahkan sebelum kau bisa bicara, tangan kecilmu memukul pelan dada ini. Pertanda kau haus dan ingin segera menyesap ASI.

Masih terekam dalam benakku bagaimana lincah bola matamu menatapku saat menyusu. Mata yang ikut tersenyum saat kutarik kedua ujung bibirku ke atas. Mata yang ikut bernyanyi ketika kusenandungkan lagu. Mata yang turut gembira kala kuajak bicara.

Sementara mulutmu sibuk menghisap nutrisi, lenganmu tak jua kunjung diam. Saat menyesap, kau memukul pelan dadaku. Kau pencet-pencet dua gentong susu ini. Kau usap pipiku. Kau jawil bibir dan hidungku. Bahkan tak segan kau tusuk mata ini dan kau jambak rambutku. Kuraih lengan aktifmu lalu pura-pura kugigit gemas. Kaupun tertawa.

Kusandarkan kepalaku pada keningmu. Ya Tuhan! Kakimu kini sudah menyentuh lututku. Padahal dua tahun lalu kakimu baru sampai di perutku. Sepanjang itukah waktu yang sudah terlampaui bersamamu?

Tak pernah kulupa, sayang, kau adalah fans berat ASI. Ketika kumulai mengumandangkan penyapihan di usiamu yang ke 22 bulan, kau tak suka. Jadwal menyusu yang sudah rapi jadi berantakan. Maafkan ibu, sayang karena tak peka dengan ketidaksiapanmu. Kitapun kembali mengaturnya bersama-sama.

Lalu sebulan kemudian kau harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama lima hari. Ajaib! Semua cairan terolak tubuhmu kecuali infus dan ASI. Terima kasih, Tuhan, Kau ciptakan ASI. Saat itu langsung terbersit dalam pikirku untuk terus memberimu ASI, sayang. Tak peduli sampai berapa usiamu kelak. Seperti Bunda Hanzky dan Jehan.

Tapi rupanya kau siap lebih cepat dari dugaanku. Di usia dua tahun sepuluh hari tanpa persiapan apapun kau tertidur di malam hari tanpa ASI. Berlanjut pada jadwal tidur siang maupun malam di hari-hari berikutnya. Tak ada pemisahan. Kita tetap tidur bersebelahan. Tak ada ramuan yang kutempelkan di dada. Tak ada ancaman bagimu untuk berhenti menyusu. Tak ada acara demam dan payudara bengkak gara-gara tidak memberikan ASI lagi.

Kau tak menangis meraung-raung seperti aku dahulu (menurut penuturan nenekmu). Kau hanya membutuhkan waktu lebih panjang untuk bisa tertidur. Satu kali kau memintaku bermain ucang angge (menempatkan anak tengkurap di kaki antara lutut dan punggung kaki sementara ibu tiduran di kasur. Berulang-ulang kaki dinaikturunkan sambil bernyanyi) selama setengah jam sampai tertidur.

Dua pekan pasca menyapih aku merindu. Terasa ada yang hilang dariku. Masa romantis berdua bersama lelaki mungilku tak lagi dapat kunikmati.
“Seperti patah hati ya, Bu?” kata dr. Oei saat kucurhat padanya via twitter. “Nggak apa-apa. Alihkan ke hal-hal positif saja,” sarannya.

Ya, sepertinya aku patah hati. Aku kehilangan masa intim berdua saja dengan anakku. Anak yang baru hadir di usia pernikahanku yang ke tiga tahun. Tapi untunglah obatnya sangat mudah kudapatkan. Si pembuat patah hati justru obat paling mujarab. Melihatnya kian tumbuh dan berkembang adalah anugerah bagiku. Ia semakin pintar, semakin cerewet, semakin banyak ingin tahu, semakin menggemaskan, semakin sering buatku mengelus dada, semakin sering buatku tertawa, semakin sering buatku memutar otak, semakin bisa menyenangkan hati.

Ia ada di sebelahku kini sedang mendengkur pelan. Hoahem..buatku ikut mengantuk. Kulingkarkan lenganku padanya. “Ibu sayang kamu, Nak,” bisikku di telinganya.
“Hm..” ujarnya sambil menggeliat dan berbalik arah padaku. Lengan kirinya kini menempel di leherku.

Ah, aku bukan patah hati. Aku jatuh cinta lagi dan lagi dan lagi…


Tulisan ini diikutsertakan pada Breastfeeding Month Blog Competition bertema Breastfeeding Worth Fighting For Periode 27 Agustus - 7 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar