Jumat, 24 Januari 2014

Di Sini Banjirnya di Lantai Atas

Ada kejadian tak lazim saat bencana banjir melanda Jakarta kemarin. Jika biasanya air banjir meluap dari bawah ke atas, maka di rumah kami justru banjir terjadi di lantai atas saja. Catat, di lantai atas!

Ceritanya, satu malam suamiku pulang kerja. Saat itu sudah empat hari kita tidak terang-terangan. PLN mematikan arus listrik karena tetangga di sekitar kami, yang tinggal di daerah yang lebih rendah, sudah kebanjiran. Bervariasi, yang tertinggi merendam satu lantai rumah. Maka kamipun ikut terkena pemadaman. Suami yang hendak berganti pakaian mendekati lemari. "Lo, kok basah?" Separuh kamar kami tergenang air. Becek. Di luar hujan terdengar agak deras.

Maka pagi hari kasur kami yang berat itu saya berdirikan ke dinding kamar. Air yang menyerap perlahan turun. Saya juga menyetrikanya untuk mempercepat pengeringan. Di luar, langit tak bercahaya dan gerimis. Pengering rambut saya sudah tak memiliki panas yang kuat. Bukan pengering jadinya malah penghangat. Di bagian luar dinding dipasangi terpal. Kebetulan, tetangga di sebelah rumah sedang membangun rumah kos dua lantai. Mereka baru saja meratakan bangunan lama dan mulai membangun yang baru. Tepat di luar dinding kamar kami tak terdapat bangunan apa-apa. Alhamdulillah saya bisa mengeringkan dua kali, pagi dan sore saat genset dinyalakan untuk kurun dua sampai tiga jam.

Malam harinya saya baru mengeloni anak. Sekitar sepuluh sampai lima belas menit terdengar suara hujan sangat deras lalu berhenti. Tiba-tiba terdengar suara kakak ipar saya memanggil kakak ipar saya lainnya (kami hidup beramai-ramai dalam satu rumah). Di lantai bawah, di tempat penyimpanan helm yang persis di bawah tangga, terdapat aliran air dari atas. Diperkirakan air datang dari kamar mandi lantai atas yang bersebelahan dengan kamar tidur saya. Ternyata tidak. Air itu datang dari kamar saya. Air sudah semata kaki. Kasur kami yang memang tanpa ranjang itu kembali menyerap air. Lebih dahsyat dari sebelumnya.

Malam-malam kami kerja bakti. Saya ungsikan anak ke kamar kakak ipar. Kasur berat terpaksa diberdirikan lagi. Barang-barang yang memang tersimpan ala kadarnya (baca: berantakan di lantai)diangkut-angkuti ke luar kamar. Saya sibuk mengungsikan buku. Sebagian disimpan di bagian bawah lemari yang terbuat dari papan kayu buatan. Jadi kemungkinan rapuh atau menyerap air sangat besar. Alhamdulillah buku-buku itu aman.

Ternyata air datang dari pojok kamar yang berbatasan dengan tetangga. Air mengalir karena ada genangan di banguan sebelah dan mengalir ke kamar kami. Pasalnya ada lubang kecil yang timbul akibat proses merubuhkan bangunan. Belum lagi hujan angin yang semakin mempercepat rembesan dan aliran air dari luar ke dalam kamar.

Alhasil kembali saya mengeringkan kasur yang berat itu. Saya setrika lagi. Untungnya, listrik sudah menyala. Jadi saya bisa leluasa menyetrika kasur. Sampai saat ini matahari masih malu-malu bersembunyi di balik awan. Awan-awan senang bergerombol menutupi birunya langit. Angin masih setia menemani hujan.

Kamar kami perbaharui dari dalam. Kami cat ulang dengan menambahkan anti air di sisi yang bersebelahan dengan tetangga. Semoga tidak banjir lagi.

Apa rasanya enam hari tanpa listrik? Hm...silakan saja dibayangkan. Kami mengandalkan listrik untuk air bersih. Di rumah ini ada 15 jiwa. Sebesar apa kebutuhan kami akan listrik? Dan jika listrik tidak menyala maka... :)

1 komentar:

  1. Mbk rima. Ya Allah. Sedih campur2 mbk bacanya. Saat ini alhamdulillah depok lagi benderang. Semiga demikian oula di tenabang. Jd bisa jemur kasur

    BalasHapus