Rabu, 14 Oktober 2009

Fahrenheit di Film dan di Duniaku


Fahrenheit 9/11, film dokumenter karya sutradara Michael Moore memang sudah lama dibuat. Hanya saja aku baru menontonnya tadi. Itupun bukan beli filmnya tapi kutonton melalui Star Movie :D.

Aku tak ingin membicarakan tentang isi film tesebut. Pastinya sudah banyak yang meresensi, membahas, membicarakannya, mengkritiknya, memujinya, mendiskusikannya atau apalah. Film itu adalah buah kecintaan seorang Michael Moore dengan negaranya.

Aku hanya akan mengambil sedikit saja bagian dari film tersebut. Tepatnya menjelang film berakhir. Ketika itu Michael Moore dan empat orang relawan penyelamat korban Tragedi 9/11 berada di Kuba. Tak perlu lah aku bahas pelayanan kesehatan di Inggris, Perancis dan Kanada yang juga dikupas Michael Moore dalam film ini. Mereka negara kaya yang sudah sepantasnya memanjakan warganya. Tapi lain halnya dengan Kuba. Sebuah negara kecil yang menjadi musuh abadi Amerika Serikat.

Benar sekali ilustrasi Michael Moore dalam film tersebut. Masyarakat AS (tentunya Indonesia juga dan sebagian besar negara lainnya dunia yang punya ketergantungan sama AS) selama ini dijejali dengan “fakta” bahwa Kuba dalah negara komunis, sadis, tak berprikemanusiaan, jahat, dan propaganda negatif lainnya. Tapi Michael Moore dan empat kawannya mendapatkan “fakta” lainnya.

Aku lupa nama-nama empat kawan Michael Moore. Sebut saja A, wanita keturunan Amerika Latin yang menderita saluran pernafasan. Dia selalu batuk berkepanjangan semenjak menyelamatkan korban Tragedi 9/11. Dokter menyebutkan ia harus selalu menggunakan inhaler yang ia beli dua botol dalam sebulan.

Ada pula B, seorang wanita paruh baya yang harus mengonsumsi sembilan jenis obat untuk penyakit yang dideritanya semenjak tragedi 9/11. Saking merasa menderita, ia ”bersembunyi” di ruang bawah tanah rumah anaknya.

Kemudian C, pria muda nan gempal yang tak pernah tahu dirinya mengidap apa. Ia merasa sakit di seluruh badan, terutama pernafasan. Lalu D, pria paruh baya yang bagian belakang giginya hancur akibat seringnya ia menggemeretakkan giginya. Ini terjadi lantaran trauma tragedi 9/11. Ia juga punya masalah pernafasan. Dokter giginya menyebutkan angka fantastis untuk perawatan giginya tersebut. Ia tak sanggup membayarnya.

Ya, para relawan ini sebagian besar mengalami gangguan pernafasan. Mereka tersiksa dengan gangguan tersebut. Belum lagi jika harus memikirkan pengobatannya. Selain harus mondar-mandir ke rumah sakit, mereka juga harus membayar biaya perawatan. Si C saja sudah tak pernah lagi memeriksakan diri. Limit asuransi kesehatannya sudah habis. Jadinya, ia hanya mendapatkan perawatan selama dua tahun semenjak tragedi 9/11. Setelah itu, ya harus bayar sendiri. Angkanya bisa ribuan dolar AS.

Betapa empat relawan tersebut terharu dengan apa yang mereka peroleh di Kuba. Awalnya mereka ke Kuba untuk mendatangi Penjara Guantanamo yang disebut-sebut sebagai lahan AS. Namun lantaran tidak mendapat tanggapan, mereka mencoba memeriksakan diri di RS di Kuba.
Menakjubkan. Pertama Michael Moore memperlihatkan betapa mudahnya masyarakat Kuba mengakses apotek. Setiap blok perumahan memiliki satu apotek. Di dekat mereka tersedia klinik atau rumah sakit. Sehingga, masyarakat Kuba memiliki akses yang sangat mudah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Si A mencoba mendatangi salah satu apotek untuk membeli inhaler. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati harga satu botol berukuran sama dengan merek obat yang sama, ia hanya perlu mengeluarkan kocek 3,2 peso atau setara dengan 5 sen dolar AS. Sementara di negerinya sendiri, ia harus merogoh kantong hingga 120 dolar AS untuk satu botol.

Michael Moore tidak menyewa penerjemah karena si A bisa berkomunikasi dengan masyarakat Kuba. Begitu mengetahui harganya, si A langsung berlari ke lar apotek dan menangis. Ia berkata, “Suatu penghinaan jika kami harus membayar 120 dolar As untuk satu botol sementara di sini hanya 5 sen. Anda tahu, 120 dolar AS itu jumlah yang besar. Ingin rasanya membeli satu kopor untuk saya bawa pulang”.

Kemudian Michael Moore membawa mereka ke Havana Hospital. Ia meminta paramedik memberikan perawatan yang sama terhadap empat kawannya seperti halnya warga Kuba lainnya.

Keterkejutan dirasakan sejak awal masuk RS. Mereka hanya diminta menyebutkan nama dan tanggal lahir sebagai data pasien. Tak dilihat warga manakah mereka. Tak juga ditanya apakah akan membayar tunai atau melalui asuransi, atau kartu jaminan social.

Dokternya pun langsung memeriksa mereka tanpa pandang apapun. Bahkan si C harus melalui tahap pemeriksaan dengan menggunakan peralatan yang rumit. Ia diperiksa paru-paru, darah, urine, kepala, dan entah apalagi. Begitu juga si D. Giginya diperiksa menyeluruh. Ia juga diharuskan roentgen. Dan semuanya GRATIS, dibayarkan oleh pemerintah Kuba. Bahkan mereka diberi resep dan pengobatan rawat jalan.

Dua relawan wanita hampir tak percaya. Mereka menangis dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Paramedik yang merawat mereka justru merasa aneh. Katanya, ”Tidak perlu berterima kasih. Hanya itu yang bisa kami lakukan”.

Menakjubkan. Hubungan buruk AS-Kuba yang sudah bertahun-tahun berlangsung tak menyebabkan warga Kuba, terutama tenaga medisnya menyimpan dendam yang sama. Mereka sudah bersumpah untuk merawat siapapun atas dasar prikemanusiaan. Dan itu dipraktekkan di negara yang katanya dikenal bengis dan sadis, bukan negara demokratis seperti AS.

Salah satu dokter Kuba tersebut mengatakan, ”Kuba adalah negara kecil dan miskin tapi kami mampu merawat warga. Seharusnya negara besar yang memiliki kekayaan melimpah bisa berbuat lebih. Kami bisa, kenapa kalian tidak?”

Betul juga. Mereka bisa, kenapa kita tidak? Aku merujuk kata ”kita” bukan pada AS tapi kita, Indonesia. Komitmen dan hati yang berprikemanusiaan adalah kunci untuk mampu melaksanakannya.

Merujuk sebuah tontonan ficer tentang penyelam di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu di televisi lokal membuatku miris. Sangat bertolak belakang dengan apa yang diperoleh warga Kuba dalam hal pelayanan kesehatan.

Penyelam Kepulauan Seribu melakukan aktivitasnya setiap hari tanpa perlengkapan menyelam standar. Mereka hanya mengenakan kaus lengan panjang, celana training, sepatu karet, dan kaca mata renang sebagai perlengkapan kerja. Terkadang mereka menggunakan kompresor jika hendak menyelam ke perairan yang lebih dalam.

Seorang ahli kesehatan menyebutkan, para penyelam ini menghadapi masa depan yang suram. Mereka dihantui dengan kelumpuhan tubuh jika kegiatannya dilakukan terus-menerus. Pasalnya mereka menderita waduh lupa apa namanya tapi yang jelas itu diakibatkan perubahan tekanan yang ekstrim dialami tubuh sejak di dalam air menuju daratan. Tentunya dikarenakan peralatan yang apa adanya.

Benar saja. Dalam tontonan tersebut diperlihatkan seorang lelaki yang sudah 12 tahun menjadi penyelam. Kini ia tak lagi dapat berjalan secara normal. Salah satu kakinya lumpuh. Ia pun sudah tak bisa menjadi penyelam dalam kondisi seperti itu. Padahal usianya baru di awal 30-an. Usia produktif manusia.

Mirisnya, mereka tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai. Boro-boro memeriksakan diri secara keseluruhan alias check-up, untuk mengatasi sesak nafas yang sudah mulai menjangkiti mereka pun pengobatan dilakukan secara tradisional. Menggunakan resep orang tua saja agar hidung berasa lancar menghirup oksigen tanpa hambatan.

Satu-satunya lembaga layanan kesehatan yang adalah adalah Puskesmas. Anda yang berasal dari Jakarta, jangan samakan Puskesmas mereka dengan Puskesmas kecamatan yang ada di daerah Anda. Puskesmas tersebut benar-benar seadanya. Salah satu tenaga medisnya bahkan mengatakan, ”Kami tidak mungkin meminta mereka berhenti menyelam karena itu adalah mata pencaharian mereka. Kami hanya bisa meminta mereka menggunakan teknik menyelam yang lebih aman”.

Ya, itulah faktanya. Layanan kesehatan masih harus bergulat dengan urusan perut, sekolah anak, kontrakan rumah. Otomatis layanan kesehatan tidak berada dalam kolom ”prioritas” dalam pos pengeluaran keluarga. Jangankan kontrol kesehatan, sudah sakit pun kalau masih bisa disembuhkan dengan mengoleskan balsam dan minum teh hangat, tak perlu lah ke Puskesmas, apalagi rumah sakit. Tidak ada dana alokasi khusus untuk itu. Tidak pernah masuk dalam rencana keuangan.

Dengan jumlah 250 juta jiwa warga Indonesia, masa iya sih kita tidak bisa sebaik Kuba dalam melayani warga? Negara kita lebih besar, jumlah orang kaya pun tidak sedikit. Pajak dari mereka kan memang seharusnya diputar Dan benar saja jarang sekali golongan orang miskin mendapatkan layanan yang baik, yang mereka butuhkan.dan dinikmati seluruh masyarakat? Mengapa tidak masuk alokasi layanan kesehatan?

Yang ada masyarakat malah dibuat susah. Kasarnya, kalau ada uang dilayani, kalau tidak ada silakan antre menunggu kapan bisa dilayani. Benar saja, orang miskin semakin sakit saja. Untuk mendapatkan layanan kesehatan yang baik mereka harus memiliki kartu gakin. Pengurusannya tidak bisa segera. Antreannya panjang karena hanya disediakan satu loket. Pengobatannya gratis tapi obatnya tidak selalu gratis. Jadinya tidak pernah tuntas. Itupun hanya untuk golongan penyakit umum seperti diare, pilek, batuk, demam, dll. Kalau masuknya golongan penyakit berat, layaknya HIV, kanker, tumor, wah jangan harap bisa gratis deh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar