Pekan lalu aku kepentok. Bukan di dahi, tangan, ataupun kaki. Perutku yang kepentok alias terbentur. Ya, perut gendutku ini yang di dalamnya berisi calon anakku.
Ceritanya aku sedang mencuci pakaian. Tempatku mencuci pakaian dan menjemurnya ya satu tempat, di situ saja. Di atas mesin cuci tergantung dua bilah bambu untuk menggantungkan pakaian yang menggunakan hanger alias gantungan baju. Sementara di seberang mesin cuci terletak sebuah jemuran pakaian yang terbuat dari aluminium. Biasanya digunakan untuk menggantung celana panjang, daster, seprai, dll.
Karena di rumah ini personelnya cukup banyak, maka tidak setiap hari aku mencuci. Gantian lah. Toh aku hanya mencuci untuk dua orang saja, aku dan suami. Jadinya kalau setiap hari mencuci rasanya sayang listrik dan air. Maka kukumpulkan saja cucian kami. Aku mencuci dua kali dalam sepekan. Biasanya setelah tiga sampai empat hari baru aku mencuci.
Senin itu aku mencuci. Setelah mengeringkan pakaian, seperti biasa aku menggantungkannya dengan hanger. Kemudian menggantungkannya di bilah bambu. Karena jarak yang cukup tinggi, aku berjinjit. Ketika itulah perutku kepentok.
Perasaanku sih hanya kepentok sedikit dan sebentar. Tapi memang saat itu aku merasa deg-degan dengan kandunganku. Pasalnya perutku jadi agak sedikit mencong. Tapi kucoba menepis bayangan buruk dalam benakku. Kuelus-elus saja perutku sambil kuajak bicara anakku.
Malamnya kuceritakan pada suami. Tapi emamg tak kuceritakan bentuk perut yang agak berubah dan rasa yang kuderita. Aku agak sesak nafas dan pusing. Sengaja aku hanya memberitahu sedikit saja pada suami. Tak tega rasanya jika ia harus pula memikirkan kepalaku, perutku, dan nafasku saat ia baru pulang kerja. Ia berkata, ”Benar nggak apa-apa? Hati-hati ya”. Aku hanya mengangguk.
Hari Rabu merupakan waktu kontrol aku ke terapis. Biasanya aku bersama kakak iparku siang hari. Tapi karena suamiku merasa tak enak badan, maka kami berdua berangkat pagi. Di sana kuceritakan kalau dua hari sebelumnya aku kepentok mesin cuci.
Terapisku memeriksa. Ia bilang, rahimku turun gara-gara kepentok. Ia pun membenarkan posisi rahim melalui pijatan di kaki. Masya Allah sakitnya luar biasa. Pijatan diulang sampai tiga kali. Ketika itu aku tak lagi merasakan sakit. Posisinya alhamdulillah sudah membaik. Kulihat perutku kembali membulat.
Terapisku juga mengatakan, ”Keleyengan ya Rim dua hari ini?” Kupikir bayiku yang keleyengan maka aku merasa bersalah. ”Bayinya ya Pak?” tanyaku. ”Bukan, Rimanya keleyengan ya?” Aku pun mengiyakan. ”Sesak nafas juga kan?” tanyanya lagi. ”Kok Bapak tahu saya sesak nafas?” tanyaku yang juga jawabku. ”Iya kalau kepentok begitu pasti sesak nafas. Dijaga ya, Rim. Kan sayang. Jangan melakukan pekerjaan yang berat”.
Di situlah suamiku baru tahu jika selama dua hari istrinya sesak nafas dan pusing kepala. Dia pun protes padaku. Aku bilang, ”Abis kalau bilang nanti Aa ribut, ngomel”. Eh ternyata dia justru kesal karena tidak diberi tahu.
Sesampainya di rumah, kembali ia menguliahi aku. Kupikir benar juga ya. Ini kan anak kami berdua. Suamiku berhak tahu apa yang terjadi padanya. Apalagi saat ini ia ada dalam rahimku. Tentunya hanya aku yang bisa memberi tahunya apa saja yang terjadi pada anak kami.
Suamiku memperhatikan perutku. Ia bilang ”Benar ya kemarin itu perut Neng nggak kayak gini deh. Ini udah bagus lagi, membulat. Kemarin agak mencong”. Ya Allah aku merasa bersalah. Suamiku ternyata juga memperhatikan bentuk perutku. Jadi malu karena sudah menyimpan ”kecelakaan” mencuci kemarin.
Ada hikmahnya. Aku tidak mau sok jagoan. Kami berprinsip, ini adalah anak kami. Terserah orang mau megatakan apa. Apakah kami terlalu memanjakan kehamilan ini, terlalu khawatir, terlalu berlebihan menjaganya, atau apalah. Ini adalah anak kami. Kami sayang padanya. Kami berupaya menjaganya dengan baik semenjak masih dalam kandungan. Hak kami memanjakannya. Ia belum lahir ke dunia ini. Ia masih perlu dijaga.
Maka omongan orang yang menyatakan aku terlalu malas karena tidak pernah melakukan pekerjaan apapun, tidak pernah pergi ke manapun kecuali kontrol rutin kehamilan, dll. Ini yang kami lakukan dan menurut kami baik. Kami tak mau gegabah. Tapi tentu saja nanti aku juga jalan-jalan untuk membeli perlengkapan bayi. Aku juga akan melakukan apa yang dianjurkan untuk ibu hamil saat menjelang kelahiran, jalan kaki dan menungging. Sebenarnya sudah mulai kulakukan. Ibuku kemarin berpesan untuk melamakan diri saat rukuk dan sujud ketika salat. Itu sebagai langkah awal mempersiapkan kelahiran secara normal. Insyaallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar