Jumat, 19 Juni 2009

Mari Menulis!!

Aku membaca sebuah milis tentang pengumuman pemenang lomba menulis artikel. Bukan ingin tahu siapa pemenangnya, tapi takjub saja karena milis yang selama in adem ayem dengan informasi yang itu-itu saja (pernikahan, kelahiran anak, forward-an milis tetangga dll) dengan tokoh yang berganti-ganti atau malah bisa muncul dua sampai tiga kali (hehe anaknya lahir melulu), tiba-tiba jadi agak seru. Beberapa orang yang semula tidak peduli dengan tulis-menulis di blog, jadi peduli. Lumayan juga kan reaksinya...

Menulis seperti hal yang mudah, tapi begitu dicoba, wah putar-putar Jakarta, Ancol, Monas tuh otak kita (maksudku, bagi yang tidak terbiasa menuangkan isi kepalanya dengan cara menulis). Sampai sekarang juga aku masih seperti itu. Rasanya menuangkan isi kepala dalam bentuk tulisan seperti membuat peta ke rumah semut lalu menggambarkan isi di dalam rumah itu. (Lebay pisan nya?)

Tapi itulah yang aku rasakan saat ini. Isi kepala tidak melulu berakhir dengan artikel, cerpen, puisi. Bisa saja berupa ocehan seperti yang aku lakukan saat ini. Seandainya ada pakar bahasa yang mengatakan, ocehan ini bukan karya, ya jangan marah. Ini memang ngoceh dibantu jari. Hihi...
Tapi memang, menulis akan jauh lebih baik jika penulis kaya kosa kata. Tidak monoton. Tentunya, resep utama rajin membaca. Dua hal: baca tulis. Kegiatan utama yang diperkenalkan semasa TK atau SD kelas 1 dulu rupanya memang berdampak luas sampai tua. Dua keterampilan dasar yang bisa melahirkan orang-orang luar biasa. Sebagian besar dari mereka karena senang membaca dan atau rajin menuangkan isi kepalanya lewat tulisan, entah itu untuk dikonsumsi sendiri ataupun untuk dipublikasikan.

Kalau boleh berpendapat bebas (boleh dong ya...) sekarang ini orang jadi lebih mudah mengaktualisasikan diri lewat karya tulisnya, apapun bentuknya. Berbagai blog adalah sarana yang baik untuk itu. Guru bahasa di sekolah-sekolah harusnya bisa menjadikan perkembangan teknologi dan kemasyarakatan ini untuk menilai anak didiknya. Ya biarkan mereka berkembang sesuai zamannya. (Walah gaya pisan...). Biarkan mereka menulis apa pun diblog dan guru menilainya. Jadi nggak melulu di kelas membuat kerangka karangan dengan suatu tema lalu mengarang indah dengan panjang karangan maksimal dua halaman folio. Hehe…pengalaman masa lalu banget ya?

Sayangnya belum ada penelitian yang mengemukakan tentang hal ini: sejauh mana peranan situs-situs pertemanan dan blog meningkatkan minat baca/kemampuan menulis/menambah kosa kata/atau yang lainnnya. Mungkin para peneliti bisa terilhami setelah membaca ocehan saya ini (idih PD banget ya bakalan ada yang baca? =p)

Sebagai orang awam, menurut saya hal ini patut dicoba. Anak-anak di Indonesia memang belum gila computer apalagi gila internet. Padahal kemajuan zaman tak terlepas dari teknologi dan merekalah yang akan menjadi penerus pembangun negeri ini.
Coba saja kita tengok Pulau Jawa. Silakan hitung lebih banyak mana anak-anak usia sekolah yang melek komputer dan internet dengan yang buta komputer dan internet. Saya bukan peneliti jadinya tidak pernah tahu angkanya. Tapi dari beberapa obrolan yang saya comot sana sini, cukup memprihatinkan.
Salah satu keponakan dari seorang kawan saya salah satunya. Ia mengunjungi kawan saya yang dipanggilnya ”om” itu. Ia sangat takut sewaktu diminta duduk di depan komputer. Saat itu kawan saya sengaja mengajaknya duduk bersama di depan komputer dan bermaksud mengajarinya. Tak disangka, ia takut mengetikkan jari-jarinya di tuts keyboard ataupun memegang mouse. Tentu saja, ia juga segan terhadap omnya. Mungkin ia merasa malu karena di usianya yang ke 14 tahun ia belum akrab dengan komputer.

Kawanku meminta anaknya yang baru berusia lima tahun untuk mengajak kakaknya bermain game di komputer. Menurutnya, bermain game menyenangkan dan memudahkannya mengenal komputer. Dan tentu saja, kalau dengan anak kecil, dia tidak canggung. Kawanku meminta keponakannya untuk sering bertanya pada anaknya. “De, kakak mau ngetes ade maen game nih” tujuannya biar keponakannya tidak tengsin dengan adik sepupunya sendiri. Meski awalnya lambat tapi cara seperti ini lumayan efektif untuk memperkenalkan anak dengan komputer.
Miris mendengarnya. Keponakan kawanku itu bukan datang dari pulau kecil di tengah samudera yang sulit dijangkau alat transportasi. Ia berada hanya puluhan kilometer saja dari pusat ibu kota.

Sewaktu masih aktif mewawancarai orang dahulu, saya sempat ngobrol (bukan berarti mereka boleh mengambil Ambalat lo.. enak aja!!) dengan Ibu Sumarlin. Ia bercerita tentang negara tetangga, Malaysia . Ia mengacungkan jempol untuk Mahatir Muhammad yang semasa pemerintahannya berhasil mengomputerkan masyarakat Malaysia dari yang kaya sampai yang miskin. Caranya mudah. Ia mengeluarkan kebijakan untuk mencairkan dana asuransi warga negara yang ingin membeli komputer. Kebijakan ini hanya berlaku satu tahun. Berbondong-bondonglah orang membeli komputer. Daripada uang asuransi tidak cair, mendingan dibelikan komputer, iya kan? Hasilnya, warga Malaysia belajar mengoperasikan komputer dan berkenalan dengan internet. Mereka tidak canggung lagi saat di level dunia komputer dan internet sudah bukan merupakan barang mewah melainkan barang wajib bagi mereka yang tak ingin tergerus zaman.

Menurut saya, kebijakan praktis seperti ini perlu dilakukan juga di Indonesia. Mungkin caranya tidak sama, tapi setidaknya langsung menuju sasaran. Mungkin bisa melalui subsidi. Jadi masyarakat berdaya beli rendah bisa membeli komputer dengan harga murah. Pemerintah juga sepantasnya memberikan tarif murah berinternet. Ini juga salah satu upaya mencerdaskan bangsa, saya rasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar