Rabu, 10 Juni 2009

Menakar Diri


Buku ini aku tunggu, Maryamah Karpov, buku terakhri dari tetralogi Laskar Pelangi. Cukup cepat aku membacanya, sekitar dua hari beberapa bulan lalu. Sudah dewasa rupanya Andrea Hirata dalam menulis novel. Kalimat-kaimatnya bersahaja, ringan, tapi menohok. Dan satu hal yang menonjol di paruh pertama novel keempatnya itu: kocak, jenaka.


Di tengah keasikan dan haha hihi membaca novel itu, aku menemukan sebuah penyadaran diri yang sebenarnya umum, hanya lebih sering terlupakan. Atau kalau boleh jujur, sengaja melupakan.


Menakar diri kelewat tinggi. Aku lupa di mozaik keberapa Andrea membahasnya. Yang kuingat, pesan tak bersuara itu hadir ketika di dalam cerita, Ikal pulang kampung mengendarai mobil bekas PN Timah yang sudah reot. Bang Zaitun, musisi kampung dengan dandanan hebohlah yang menjadi nahkodanya. Dalam perjalanan itulah Ikal menyadari jika selama ini ia menakar diri terlalu tinggi. Padahal, ya kalau wajahnya sudah dangdut mah dangdut saja, tak usah diubah untuk jadi jazz, atau bahkan seriosa.


Ini pula yang kurasakan pada diri. Selama ini aku memposisikan diri kelewat tinggi padahal aku belum pantas untuk berada di kursi yang mengangkasa itu. Akibatnya, sering oleng. Atau tanpa kusadari jangan-jangan aku sudah jatuh dan malah mungkin tertimpa kursi yang kududuki itu. Waduh!


Usiaku sudah 28 tahun. Bisa jadi selama itu pula aku menakar diri terlalu tinggi. Terkadang barangkali malah merendahkan diri sendiri. Entahlah. Eh, ngaku aja deh memang aku begitu. Cuma ga mau cerita rinci ah, malu..


Tanpa disadari atau mungkin saja disadari, kita memposisikan diri dengan melihat orang lain. Kebanyakan sih, melihat strata sosial. Coba saja tanya pada diri sendiri apakah kita akan bersikap sama saat bertemu dengan Andrea Hirata dulu dan sekarang? Jika kita bertemu dengannya ketika ia masih berkutat dengan kehidupannya di Belitong, apakah kita akan mengelu-elukannya, atau minimal mengajaknya ngobrol seperti harapan kita (para penggemar Laskar Pelangi) saat ini ketika bertemu Andrea Hirata, si Ikal yang membukukan memori masa kecilnya itu? Jujur sajalah, tanya diri sendiri.


Usai membaca buku itu, aku bersyukur dengan kondisiku saat ini, apapun itu. Aku punya yang aku butuhkan. Aku tak perlu berpusing ria dengan apa yang aku inginkan. Pagi tadi aku merenung sebentar. Hasilnya, aku sudah mendapatkan kebutuhanku. Tinggal dirawat, dijaga, dipelihara, dipercantik, sehingga tidak menjadi kekurangan. Soal apa mauku, ya belum tentu kubutuhkan.


Jika ditanya apa mauku, wah daftar panjang yang sepertinya tak pernah berujung akan menjadi jawabnya. Sementara semuanya itu belum tentu kubutuhkan. Misalnya saja home theater lengkap dengan sound system dan karpet kedap suara untuk dipasang di kamarku. Tapi apakah itu kebutuhanku? Rupanya bukan (atau kalau masih boleh berkeinginan sih, jawabannya belum. Hehe..) Kebutuhanku saat ini adalah bercengkrama dengan anggota keluarga. Di depan televisi adalah salah satu arenanya. Bertumpuk tumpah ruah dalam satu ruangan menyaksikan tayangan di layar kaca. Tontonannya hasil kompromi bukan sekehendak sang penguasa remote control, diselingi komentar sana-sini yang menyemarakkan acara dari sisi luar, bagi-bagi cemilan. Ya, itu yang masih menjadi kebutuhanku barangkali (deuh…berlagak jadi pemikir positif nih ceritanya).


Atau jangan-jangan Cuma buat menyenangkan diri sendiri saja? Hehe…Apapun itu, sedikit pengalaman Ikal itu membantuku menyadari diri. Kesadaran bisa datang kapan saja, di mana saja, dari siapa saja, kan? Tidak melulu harus datang dari mulut orang pintar, di tempat ibadah, atau apalah. Jika kita justru terbuka matanya ketika membaca novel seorang penulis pemula, that’s ok I think.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar